Berita Pendidikan

Prof Yohanes Servatius Lon Dikukuhkan Menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Religi dan Budaya

Rektor Universitas Katolik (Unika) St Paulus Ruteng, Prof Yohanes Servatius Lon, MA, resmi dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Religi dan Budaya

Editor: Ferry Ndoen
zoom-inlihat foto Prof Yohanes Servatius Lon Dikukuhkan Menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Religi dan Budaya
POS-KUPANG.COM/ISTIMEWA
Prof Dr Yohanes Servatius Lon, MA.

"Kita seharusnya sepakat bahwa budaya lokal dari komunitas kecil sekalipun, tidaklah boleh dipandang sebelah mata. Setiap usaha untuk menyingkirkannya tidak dibenarkan. Sebaliknya, saya juga melihat aspek lain dari peristiwa sewaktu saya SD. Saya belajar dari pengalaman masa kecil itu, bahwa jika seseorang  hanya mengenal budayanya sendiri dan hidup di ruang sempitnya tanpa perjumpaan dialektis dengan unsur lain (nasional, global, grand narration), ia juga akan menjadi katak di dalam tempurung,"ujarnya.

Menurut Prof John, lingkungan kultural yang memberi rasa nyaman bisa saja justru akan membatasi, menghambat, dan memenjarakan seseorang, sejauh dia tidak membuka diri bagi dunia, pemikiran, dan praktis yang lebih terbuka. Ia dapat menjadi penghalang bagi seseorang untuk maju ke dunia yang lebih luas di luar lingkungan budayanya.

"Realitas ini membawa saya pada suatu argumentasi dasar bahwa berbagai hukum, pengetahuan, keyakinan dan filosofi yang ada di kehidupan kita harus diperjumpakan secara kritis, dialektis, dialogis sekaligus mutualis satu sama lain demi membangun kehidupan yang lebih baik. Tesis dasar inilah yang menjadi spirit pengembangan kajian akademis saya selama berkarir sebagai dosen hingga meraih gelar Guru Besar. Secara khusus, saya memberi perhatian pada tema perkawinan yang menjadi isu krusial dan problematis dalam perjumpaan antara hukum agama (Katolik), hukum adat (Manggarai) dan hukum negara (Indonesia),"jelas Prof John.

Prof John juga menjelaskan terkait Perkawinan dalam Hukum Adat, Agama dan Negara

"Berbeda dengan hukum Adat Manggarai, Gereja Katolik lebih menekankan peran individu atau personel yang menikah. Persetujuan perkawinan tidak dilakukan oleh keluarga besar tetapi oleh seorang pria dan seorang wanita. “Persetujuan perkawinan adalah suatu tindakan kehendak dengan mana seorang pria dan seorang wanita, melalui suatu perjanjian yang tidak dapat ditarik kembali, saling memberi dan menerima satu sama lain untuk melangsungkan perkawinan” (KHK 1057 paragraf 2),"ungkapnya.

"Harus ada tindakan persetujuan yang nyata oleh kedua mempelai. Ini diperlukan dan tidak ada kekuatan manusia lain, orang tua, keluarga, negara atau gereja yang dapat menggantikan persetujuan ini,"tambahnya.

Prof John juga menyampaikan terkait Perjumpaan yang Problematis dan Konfliktual

Menurut Prof John, Hukum Negara, hukum agama dan Hukum Adat tentunya memiliki spirit yang sama yaitu berusaha menempatkan perkawinan sebagai yang fundamental bagi manusia dan menjamin hak, kenyamanan, dan kemudahan para pihak mencapai tujuan perkawinan itu sendiri. Perjumpaan ketiganya dapat saling memperkaya spirit tersebut. 

Namun, idealisme itu tidak selalu terjadi, khususnya karena ketiga hukum tersebut memiliki perbedaan. Perbedaan sebenarnya wajar saja, karena tidak mungkin dan juga ganjil kalau segala hukum, aturan dan tradisi sama dan seragam dimana-mana. Hanya saja, ketika semua hukum ini bertemu dan berlaku pada pribadi yang sama, perjumpaan hukum ini menjadi hal yang problematis, kontoversial dan bahkan konfliktual manakala perbedaan tidak bisa diharmonisasi. https://mail.google.com/mail/u/0/#inbox/FMfcgzGllChzMRrZTNQmpBLKhdJHgXNt

Dikatakan Prof John, ada beberapa masalah yang sadar atau tidak sadar terjadi di dalam perjumpaan hukum negara, agama dan adat di Manggarai.

Pertama, sejauh ini hukum perkawinan negara sama sekali tidak mengakomodir legalitas perkawinan adat, melainkan hukum agama saja. Akibatnya mereka yang sudah melakukan perkawinan adat namun tidak atau belum bisa mendapatkan legalitas agama akan mengalami kesulitan sebagai warga negara. 

Kedua, hukum perkawinan Katolik juga tidak mengakui legalitas perkawinan adat. Orang yang sudah menikah adat dan sifatnya legal, mengikat dan sakral belum cukup jika ia tidak menikah seturut Hukum agama Katolik. 

Ketiga, tata cara atau upacara untuk legalitas perkawinan Katolik sangat berpusat pada tata cara barat yang menekankan pertukaran perjanjian antar pasangan, antar pria dan perempuan yang menikah. Di sini Gereja ditantang untuk masuk di dalam inti budaya dan keyakinan lokal, yang menonjolkan komitmen kedua keluarga besar dalam menjaga kelanggengan perkawinan tersebut. 

Keempat, hukum perkawinan negara dan adat memberi ruang bagi perceraian, namun hukum perkawinan agama tidak memberi celah bagi hal tersebut. Baik negara, agama dan budaya menginginkan agar keluarga menjadi rumah cinta yang aman, bahagia, sejahtera dan adil. 

Kelima, baik hukum negara dan hukum agama, tidak mengijinkan perkawinan tungku cu-cross cousin marriage, salah satu jenis perkawinan yang didukung dalam budaya Manggarai. Bagi gereja dan negara, aspek kualitas kesehatan dari keturunan yang dihasilkan dari jenis perkawinan ini menjadi dasar pelarangan atau pencegahannya. Bagi orang Manggarai, ikatan keluarga yang semakin diperkokoh dan implikasinya pada akses sosial budaya menjadi pertimbangan dukungan terhadap model perkawinan ini.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved