Pemilu 2024

MK Tolak Uji Materi UU Pemilu, Bagaimana Nasib Pilpres dan Pileg?

Mahkamah Konstitusi menilai, apapun pilihan model keserentakan yang dipilih akan bergantung kepada manajemen pemilu.

Editor: Alfons Nedabang
ANTARA FOTO/HAFIDZ MUBARAK A
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (tengah) menskors sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (27/6/2019). Sidang tersebut beragendakan pembacaan putusan oleh Majelis Hakim MK. 

POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Gugatan itu dilayangkan oleh empat orang mantan petugas KPPS Pemilu 2019.

MK menolak seluruh gugatan dari para pemohon. Mahkamah menyatakan pasal 167 ayat (3) dan pasal 347 ayat (1) UU Pemilu sesuai dengan amanat konstitusi. Oleh karenanya, MK menilai dalil dari pemohon tidak beralasan menurut hukum seluruhnya.

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK merangkap Ketua Majelis Hakim Anwar Usman dalam sidang yang digelar virtual, Rabu 24 November 2021.

Baca juga: Pemuda Muslim Gendong Patung Bunda Maria yang Ditemukan di Laut Ungkap Pesan Toleransi Dari Lembata

Dengan putusan itu, keserentakan pemilu tetap berjalan seperti yang pernah diterapkan pada Pemilu 2019. Pemilihan presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota digelar dalam satu waktu.

Dalam pertimbangan putusan, MK menilai terkait beban kerja yang berlebihan sebagaimana didalilkan oleh pemohon sangat berkaitan dengan manajemen pemilu yang berkaitan dengan teknis dan tata kelola pemilu.

MK menilai, apapun pilihan model keserentakan yang dipilih akan bergantung kepada manajemen pemilu. Desain pemilu tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak penyelenggara.

"Secara teknis, pembentuk UU dan penyelenggara pemilu dengan struktur yang dimiliki saat ini justru lebih memiliki kesempatan untuk melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu. Sehingga masalah-masalah teknis yang berkaitan dengan petugas penyelenggara pemilu adhoc dapat diminimalisasi dan diantisipasi," ucap MK.

Baca juga: Dua Nelayan Lembata Temukan Patung Bunda Maria di Tengah Laut, Rosario Masih Utuh

Empat orang mantan petugas KPPS Pemilu 2019 menggugat UU Pemilu. Mereka adalah Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur. Adapun putusan MK tersebut termaktub dalam nomor 16/PUU-XIX/2021.

Keempat orang itu menggugat aturan pemilu yang menyerentakkan lima pemilihan sekaligus. Mereka berkaca pada kematian 894 orang petugas pemilu karena beban kerja berat pemilu serentak.

Mereka menggugat pasal pasal 167 ayat (3) dan pasal 347 ayat (1) UU Pemilu. Keempatnya ingin MK memisahkan pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari pemilu serentak.

Selain menolak gugatan yang diajukan empat orang petugas KPPS Pemilu 2019, MK juga menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Partai Berkarya, Partai Perindo dan Partai Bulan Bintang (PBB). Permohonan berkaitan dengan ketentuan verifikasi partai politik menjadi peserta pemilu.

Baca juga: Pemuda Muslim Gendong Patung Bunda Maria yang Ditemukan di Laut Ungkap Pesan Toleransi Dari Lembata

"Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Anwar Usman.

Dalam gugatannya, PSI, Berkarya, dan Perindo, menginginkan ada perbedaan kewajiban verifikasi bagi partai politik. Menurut mereka, partai peserta Pemilu 2019 yang berhasil lolos DPR RI tidak perlu melakukan verifikasi administrasi dan faktual untuk menjadi peserta Pemilu 2024, sementara partai peserta Pemilu 2019 yang gagal lolos ke DPR RI sebaiknya hanya wajib melakukan verifikasi administrasi, sedangkan partai baru wajib menjalani kedua verifikasi tersebut.

MK menolak permohonan itu karena dinilai tidak beralasan menurut hukum. Sebab, pokok permohonan yang diajukan yakni Pasal 173 ayat (1) terkait proses verifikasi faktual pada dasarnya sama dengan perkara yang sudah diputus MK dalam Putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020.

Baca juga: INFO TERBARU Lowongan Kerja November 2021 bagi Lulusan SMA hingga S1, Ada Anak Usaha PLN dan Telkom

Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh menjelaskan, dalam putusan sebelumnya, MK memutuskan bahwa Pasal 173 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Adapun permohonan itu diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana dan Abdullah Mansuri selaku Sekretaris Jenderal.

Dalam permohonannya, mereka meminta agar MK menyatakan Pasal 173 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Kemudian, partai politik yang sudah dinyatakan lulus verifikasi pada Pemilu 2019 tak perlu diverifikasi ulang sebagai peserta pemilu selanjutnya.

Kendati demikian, MK memutuskan partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos atau memenuhi ketentuan parlimentary threshold (ambang batas parlemen) pada Pemilu 2019 tetap diverifikasi secara administrasi, namun tidak diverifikasi secara faktual.

Baca juga: 4 Fakta Penemuan Patung Bunda Maria di Perairan Teluk Lewoleba Oleh 2 Nelayan, Ada Rosario

Sedangkan, partai politik yang tidak lolos atau tidak memenuhi ketentuan ambang batas parlemen, partai politik yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi kabupaten/kota, dan partai politk yang tidak memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi kabupaten/kota harus diverifikasi kembali secara administrasi dan faktual.

Ketentuan yang sama berlaku bagi partai politik baru, yakni melakukan verifikasi secara administrasi dan faktual. Karena sudah ada putusan tersebut, maka MK menolak permohonan dari Partai Berkarya, Partai Perindo dan PBB.

"Meskipun dengan dasar pengujian yang digunakan oleh pemohon dalam perkara a quo yaitu Pasal 1 Ayat 2 Juncto Pasal 22E Ayat 1, Ayat 2 dan Ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945," ujar Daniel.

Baca juga: KSAD Dudung Abdurachman Sebut KKB Papua Saudara Kita yang Belum Paham tentang NKRI

"Namun esensi yang dimohonkan perkara a quo adalah sama dengan perkara terdahulu yakni mempersoalkan mengenai verifikasi partai politik maka pertimbangan hukum dalam perkara a quo mutatis mutandis berlaku untuk permohonan a quo," ucap dia.

Putusan Hakim MK terkait gugatan ini tidak bulat. Sama seperti pada putusan 55/PUU-XVIII/2020, terdapat alasan berbeda (concurring opinion) oleh tiga hakim konstitusi, yakni Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, dan Saldi Isra.

Menurut mereka, verifikasi partai diberlakukan sama bagi seluruh partai politik (parpol) yang ingin menjadi peserta pemilu.

"Dengan demikian kekhawatiran para pemohon mengenai adanya diskriminasi perlakuan terhadap partai politik peserta pemilu tidak akan terjadi karena semua parpol peserta pemilu diberlakukan sama yaitu harus dilakukan verifikasi administratif dan verifikasi faktual," kata Hakim MK Saldi Isra. (tribun network/den/dng/dod)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved