Berita Nasional

Akan Ada Lagi Program Tax Amnesty, Jokowi Sudah Teken UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

Pemerintah Indonesia bakal kembali menerapkan program Tax Amnesty atau pengampunan pajak mulai tahun depan.

Editor: Agustinus Sape
Youtube Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo 

Akan Ada Lagi Program Tax Amnesty, Jokowi Sudah Teken UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia bakal kembali menerapkan program Tax Amnesty atau pengampunan pajak mulai tahun depan.

Sinyal itu dimungkinkan setelah Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 Oktober 2021.

Ada banyak hal yang diatur terkait perpajakan dalam UU tersebut, termasuk program pengampunan pajak yang akan dimulai pada awal tahun depan.

Selain itu akan ada sejumlah objek pajak baru yang harus ditanggung oleh para wajib pajak.

Program pengampunan pajak jilid 2 ini akan mewajibkan setiap wajib pajak untuk mengungkapkan harta bersih yang belum atau kurang diungkapkan dalam surat pernyataan kepada negara, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP).

Harta bersih yang dilaporkan dalam program ini akan dianggap sebagai tambahan penghasilan dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) final.

Baca juga: Jokowi Pidato di KTT Perubahan Iklim, Optimistis Indonesia Capai Net Carbon Sink pada 2030

PPh final akan dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak.

Tarif tersebut terdiri atas 6 persen dari harta bersih yang berada di dalam negeri dan diinvestasikan untuk kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam (SDA), Energi Baru Terbarukan (EBT), atau Surat Berharga Negara (SBN).

Jika harta bersih berada di dalam negeri namun tidak diinvestasikan pada sektor SDA, EBT, dan SBN, maka pajak dikenakan sebesar 8 persen.

Kemudian, harta di luar Indonesia dari 3 sektor tersebut dan akan dialihkan ke dalam negeri, maka dikenakan pajak sebesar 6 persen.

Namun, harta bersih di luar Indonesia dan akan dialihkan ke dalam negeri, namun tidak berasal dari sektor SDA, EBT, dan SBN, maka dikenakan pajak 8 persen.

Apabila harta bersih di luar Indonesia dan tidak akan dialihkan ke dalam negeri, maka pajak yang dikenakan sebesar 11 persen.

Selain program pengampunan pajak, UU HPP juga mengatur penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan langkah ini diambil untuk melakukan efisiensi terhadap sistem administrasi perpajakan.

Baca juga: Respons Jokowi atas Kanker Prostat yang Diidap SBY

Kemudian, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan ikut terkerek naik dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022. Kemudian akan kembali dinaikkan menjadi 15 persen pada 1 Januari 2025.

PPN akan dikenakan untuk sejumlah barang pokok, salah satunya sembako premium. Sri Mulyani menilai sembako premium dikenakan pajak sebab masyarakat kelas atas memiliki daya beli dan selera konsumsi yang tinggi. Sehingga pajak dikenakan untuk menghadirkan asas keadilan.

Sektor jasa pendidikan, kesehatan, dan sosial untuk kelas menengah akan dikenakan PPN serupa. Namun ia menegaskan masyarakat menengah ke bawah akan dibebaskan dari PPN tersebut.

Objek Pajak Baru

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai beberapa objek pajak baru. Di antaranya adalah pajak karbon dan fasilitas natura atau kenikmatan hingga objek pertambangan.

Penambahan objek baru yang akan ditarik pajaknya ini tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Untuk fasilitas natura atau kenikmatan, yang selama ini didapatkan pegawai seperti rumah, mobil hingga laptop tidak dihitung sebagai penghasilan, sehingga tak dilaporkan dalam SPT dan tidak dipotong pajak.

Namun, dalam UU pajak baru ini akan diubah. Fasilitas kenikmatan yang diterima pegawai akan dihitung sebagai penghasilan dan dipotong pajak.

"Selama ini bagian yang tidak dibayar dalam bentuk uang disebut dengan aturan natura, yang pemajakannya bagi yang menerima bukan objek penghasilan. Jadi sekarang, itu dijadikan penghasilan," ujar Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal, Kamis 4 November 2021.

Begitu juga dengan pajak karbon yang ditetapkan sebesar Rp 30 per CO2e. Padahal sebelumnya, karbon tidak masuk dalam barang kena pajak.

Baca juga: Jokowi Hadiri Pertemuan G20 di Roma dan Serangkaian Kunjungan Lainnya Hingga 5 November 2021

Hal ini memunculkan pertanyaan kenapa makin banyak barang dan jasa yang dipajaki oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Yon pun membantah bahwa pemajakan dilakukan tanpa pandang bulu dan perhitungan.

Menurutnya, kebijakan pemajakan yang dilakukan oleh pemerintah mempertimbangkan keadaan masyarakat terutama yang kelompok kecil. Sehingga pemajakan tidak dilakukan merata ke semua kelompok masyarakat.

Ia mencontohkan, seperti fasilitas natura atau kenikmatan hanya diberikan kepada pegawai dengan nilai fasilitas besar. Sehingga masyarakat kecil tidak akan dipajaki.

"Makanya kan kita kasih batasan tertentu kan. Tidak semua kan dipajaki, sepanjang dinikmati oleh seluruh karyawan, di daerah terpencil, kebutuhan kerja tidak jadi masalah. Jadi akan ada batasan-batasan tertentu yang nanti kita akan atur. Jadi kita nanti akan atur jenis dan batasan nilainya," tegasnya.

Sumber: cnnindonesia.com/cnbcindonesia.com

Berita nasional lainnya

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved