Pergulatan Memeluk Islam di Kupang yang Mayoritas Warganya Protestan, Kami Bukan Teroris
Kami Bukan Teroris, Pergulatan Memeluk Islam di Kupang yang Mayoritas Warganya Protestan.
POSKUPANGWIKI.COM - Kami Bukan Teroris, Pergulatan Memeluk Islam di Kupang yang Mayoritas Warganya Protestan.
Apa tantangan menjadi muslim di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Kristen? Jalan hidup seperti apakah yang harus dilalui orang-orang Islam yang memilih tinggal di sebuah wilayah di Indonesia timur yang pernah dinobatkan sebagai kota paling toleran?
Sebagai perempuan muslim yang pernah diusir dari rumah salah seorang penduduk Kupang karena dituduh sebagai teroris, toleransi buat saya adalah mimpi manis yang tidak mungkin terjadi begitu saja tanpa diupayakan bersama-sama.
Dari pengalaman itu pula saya mencoba menguatkan diri dengan cara “memotret” dinamika atau tantangan yang dihadapi orang-orang Islam yang hidup di ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Ini ikhtiar saya, yang lahir dan besar dari sebuah kabupaten dengan mayoritas penduduk beragama Kristen, Alor, untuk tetap membuka mata dan bersama-sama dengan orang banyak meneguhkan pentingnya menghormati keberagaman di mana saja saya berada.
Malam itu saya menghampiri Erwin Oktapian, seorang Muslim yang berasal dari Banjar, Jawa Barat, yang kemudian pindah ke Kupang. Perbincangan kami mengalir dengan berbagai cerita tentang dinamika mengarungi hidup di pusat pemerintahan, perdagangan, dan perekonomian NTT yang dihuni oleh warga yang berbeda suku, etnis, bahasa, dan agama atau keyakinannya.
Sebelum pindah, Erwin sudah mempunyai kawan yang dijumpai lewat media sosial yang berasal dari Kupang, Atambua, dan daerah NTT lainnya. Erwin ke Kupang Maret 2016 untuk mengadu nasib sambil melanjutkan pendidikan. Kini lulusan Universitas Nusa Cendana Kupang (2021) ini mendapat pekerjaan mengajar di SMA Negeri 8 Kupang.
Dari toleransi ke diskriminasi
Awal kedatangan di Kupang, Erwin merasa agak aneh karena melihat banyak keberagaman suku, bahasa dan agama. Sementara sejak kecil di Banjar, Jawa Barat, ia sangat akrab dengan suara azan pada saat masuk waktu salat. Begitupun suara orang-orang mengaji sebelum masuk waktu salat karena di setiap penjuru kota banyak masjid.
“Setelah sampai Kupang, aku jarang mendengarkan azan, karena masjid juga jauh dari tempat tinggalku,” ungkap pria yang selama di ‘Kota Karang’ masih tinggal bersama kerabat dari Jawa Barat.
Karena perkenalan hanya di media sosial, sesampainya di Kupang Erwin tidak mempunyai teman dekat. Ini yang menyebabkan Erwin semakin merasakan banyak perbedaan beserta seluruh tantangannya hidup di daerah yang sekarang ditinggalinya jika dibandingkan dengan tempatnya dilahirkan.
Namun demikian, pemuda kelahiran 1996 ini bersyukur lantaran tidak pernah mendapatkan perlakuan yang yang tidak baik dari warga Kupang. Sudah 5 tahun lebih berbaur dengan masyarakat dari NTT Erwin tidak mendapati sikap dan perlakuan intoleran.
“Alhamdulillah, meskipun kita muslim, sebagai minoritas, tapi sikap toleransi di Kupang sangat tinggi,” kata pria beretnis Sunda ini.
Sebagai kawan di kampus yang sama, saya melihat interaksi Erwin dengan lingkungan sekitar cukup akrab dan hampir tidak punya masalalah dalam beradaptasi. Selama kuliah ia aktif di Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Meski begitu, ia tidak memilih-milih dengan siapa harus berteman di kalangan civitas akademika Universitas Nusa Cendana yang mayoritas mahasiswa dan dosennya beragama Kristen.
Bagi Erwin berteman dengan yang bukan sesama muslim itu hal yang biasa. “Mereka tidak memandang suku dan agama. Tidak pernah saya merasa diintimidasi sebagai seorang yang minoritas.”
Hingga detik ini tinggal di Kupang, Erwin hampirr tak pernah menerima diskriminasi dari diskriminasi dari lingkungan tempat tinggalnya sehari-hari, kampus, bahkan lingkungan pekerjaaan.
“Pernah saya salat di kos-nya teman yang berbeda keyakinan (agama) dengan saya. Dan dia baik-baik saja malah mereka menyediakan tempat. Kami sering berbuka puasa bersama. Teman-teman saya sering juga menyediakan takjil lalu kami berbuka bersama,” ujar Erwin.
Berbeda dengan Erwin yang berasal dari daerah Jawa, seorang sahabat yang sudah saya anggap sebagai adik sendiri mempuyai cerita unik. Neneng Huliah. Ia juga mahasiswa Universitas Nusa Cendana Kupang. Perempuan yang kini berusia 23 tahun ini sudah saya kenal semenjak kami masuk sebagai mahasiswa baru.
Neneng berasal dari Ende, kota kecil di NTT yang dijuluki sebagai kota Pancasila. Kota pengasingan Presiden Pertama RI Ir. Soekarno.
Di kampung halamannya, Neneng sudah terbiasa hidup berdampingan dengan teman-teman yang bukan muslim. Sebab, masyarakat Ende mayoritas Katolik.
“Kata toleransi itu saya tidak terlalu paham karena memang keseharian kami hidup damai berdampingan dengan teman-teman yang bukan muslim. Baru saya sadari ketika masuk kuliah kalau hidup kami yang berdampingan itu disebut toleransi,” kata Neneng.
Memang, secara umum kehidupan bermasyarakat dan beragama di NTT sudah terbiasa dengan hidup rukun, terlebih di Ende. Yang muslim, lanjut Neneng, dipersilakan salat; yang Kristen atau Katolik silakan ke gereja. Di kota asalnya, perbedaan agama dan ekspresi keagamaan sama sekali bukan masalah. Harmonis.
“Ada keluarga muslim yang menikah dengan orang non-muslim itu juga bukan aib bagi kami. Itu adalah hak dia dan kami biasa saja,” lanjut Neneng.
Cerita Neneng mengingatkan saya kalau di rumah saya di Alor, NTT, juga seperti itu. Kedua kakak perempuan saya memilih suami yang bukan sesama muslim. Suami kedua kakak saya Kristen dan sampai sekarang kami baik-baik saja. Kami dengan mereka biasa berkunjung satu sama lain saat Idul Fitri dan Idul Adha, begitupun ketika Natal atau Paskah.

Dituding teroris
Kembali pada kisah Neneng, saat mula tiba di Kupang, ia hidup seperti biasa. Ia berteman dengan siapa pun tanpa memilih apa agama dan sukunya. Tidak pernah dirinya merasakan perlakuan tidak menyenangkan karena menjadi minoritas.
Tetapi, Neneng mulai kurang nyaman pada suatu ketika, setelah selesai mengikuti kuliah sore, ditanya oleh teman laki-laki. Temannya bertanya, kenapa Neneng harus memakai kerudung. Padahal, lanjut laki-laki tersebut, banyak teman-teman perempuan muslim di tempat tinggal teman lelakinya, di Manggarai, yang tidak berkerudung.
Belum juga Neneng menjawab, laki-laki itu melanjutkan obrolan dan menyampaikan, “kamu kalau tidak pake kerudung lebih cantik. Rambut kamu juga panjang dan halus.”
Pertanyaan teman lelaki Neneng memang tampak sederhana. Namun Neneng justru merasa sangat tersinggung dan tidak nyaman lantaran berkaitan dengan keyakinan.
“Selama saya berteman tidak pernah ada yang membahas masalah jilbab. Malahan banyak yang dukung saya berjilbab. Kalau misalkan saya membuka jilbab, pasti mereka secara spontan langsung menegur saya,” ungkap Neneng.
Saat itu Neneng berusaha tersenyum dan hanya menjawab kalau dirinya tidak suka kepalanya terkena matahari. Neneng sengaja menghindari perbincangan tentang agama, karena dirinya merasa tidak banyak dan dalam memahami agama. Ia pun tahu betul, perdebatan tentang agama membutuhkan waktu untuk mencerna agar bisa memahami dengan baik, tidak penuh prasangka.
Padahal, selama ini Neneng terbiasa membicarakan hal-hal apa saja yang ringan, termasuk tentang agama, ketika kami pulang kampus. Kami saling bertukar pikiran membagi informasi satu sama lain.
“Saya sering nginap di kos teman, sering juga salat di kamarnya. Teman-teman kampus saya rasa semuanya tahu tentang toleransi, saling menghargai satu sama lain,” ujar mahasiswi yang sekarang duduk di semester sebelas.
Yang paling membuat Neneng sangat terkejut dan tercekat adalah stigma atau sterreotipe terhadap orang Islam seperti dirinya yang memakai jilbab sebagai teroris dilabelkan kepada dirinya. Perasaannya sangat hancur karena tudingan sebagai teroris itu sangat serius. Terorisme adalah tindakan yang teramat jahat dan keji, itu langsung diteriakkan kepadanya.
“Pernah saya jalan-jalan sore ke pantai Oesapa dan saya dikatai sebagai teroris oleh orang yang saya tidak kenal sama sekali,” ia mengisahkan pengalaman yang membuat perasaannya sangat hancur.
Celakanya lagi, pengalaman tidak mengenakkan tersebut Neneng hadapi setiap jalan ke pasar atau pertokoan. Kisah yang menyakitkannya ini ia alami pada saat di Kupang dan daerah NTT pada umumnya sedang hangat-hangatnya membela Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Gubernur DKI Jakarta, terkait masalah kriminalisasi tentang penodaan agama.

Cerita Neneng itu membuat saya kaget. Saya juga pernah dipanggil teroris oleh orang tak dikenal di jalanan umum. Dari cerita Neneng, baru saya sadari sekarang, memang benar peristiwa yang saya alami berbarengan dengan kontroversi kriminalisasi Ahok di Jakarta. Sejak itu juga kami yang berjilbab di Kupang, NTT, menjadi musuh di mata mereka yang tidak mengenal kami dengan baik.
Mengenang kembali seluruh yang kami alami, kebencian dan stereotipe terhadap umat Islam dan pemakai jilbab oleh pihak-pihak yang tidak paham persoalan dan tidak bertanggung jawab, menurut Neneng terpicu dari kriminalisasi terhadap Ahok (2017). Setelah itu, Neneng menambahkan, disusul peristiwa teror bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya saat para jemaat sedang beribadah (2018). Hal tersebut membuat beberapa masyarakat Kupang pada saat itu membenci kami yang berjilbab, karena pelaku bom bunuh diri di Surabaya mengenakan jilbab.
“Saya tidak tahu teman-teman muslim lainnya di Kupang pada saat itu seperti apa. Tetapi, itu yang kemudian saya rasakan,” sambung Neneng.
Hal yang dialami Neneng, sebenarnya terjadi kepada saya juga. Sampai ada bemo-bemo (angkutan umum) yang tidak mau menumpangi kami, meskipun bemo mereka penumpangnya belum penuh.
Sambil Neneng bercerita, saya mengigat salah satu perlakuan yang membuat saya sangat sedih. Saat itu saya mengikuti survei di salah satu lembaga penelitian nasional yang berbasis di Jakarta, Charta Politika. Kebetulan saya ditugaskan survei dengan mewawancarai langsung responden-responden di dalam Kota Kupang, daerah BTN Kolhua. Pada saat itu saya meminta izin dari kelurahan, RT/RW, lalu turun ke masyarakat.
Salah satu responden, dari sepuluh responden yang saya wawancarai, membuat hati saya sangat hancur. Saya mengunjunginya untuk menyampaikan maksud dan tujuan menujukkan surat tugas dan lain sebagainya. Kami pun berbincang dengan wajar, meskipun dari raut wajah responden ini menunjukkan ketidaksenangannya. Saya tetap berusaha untuk santai dan sopan.
Setelah selesai wawancara saya meminta untuk foto bersama, sebagai dokumentasi dan bukti bahwa saya telah selesai melakukan survei dengan narasumber yang satu ini. Tanpa disadari ternyata responden laki-laki ini langsung mengusir saya dan dari mulutnya keluar kalimat, “Kamu teroris! Kamu ingin mengambil gambar saya untuk melakukan pengeboman.”
Tanpa disadari air mata saya mengalir begitu deras. Jantung saya berdetak begitu kencang. Kaki dan tangan saya gemetaran. Saya diusir dari rumahnya. Sambil gemetaran saya keluar dan berjalan sampai didepan jalan raya. Hati saya hancur. Saya menangis sejadi-jadinya sampai hati saya agak lega. Barulah saya bisa pulang ke rumah.
Kejadian itu justru membuat saya semakin berani berhadapan dengan masyarakat bahwa Islam bukan teroris. Islam tidak seburuk yang orang-orang pikirkan.
Berpijak dari cerita Neneng, saya berpikir mungkin hanya kami yang berjilbab yang diperlakukan demikian. Berbeda dengan Erwin dan orang-orang Islam lainnya yang laki-laki, mungkin karena tidak diketahui secara persis agamanya apa, Islam, Kristen atau agama lainnya.
Selepas kontroversi Ahok lewat bertahun-tahun dan tidak lagi banyak dibicarakan, sambung Neneng, sekarang pelan-pelan situasinya membaik. Dia menyampaikan kalau dirinya maupun kawan-kawan perempuan sesama muslim tidak lagi mendapati ejekan dari orang-orang yang tidak dikenalnya.

“Banyak masyarakat Kota Kupang yang menghargai kami. Teman-teman perkuliahan yang non-muslim sangat baik dan toleran,” kata Neneng.
Saat ini situasi keberagaman di Kupang baik-baik saja. Kendati masih trauma, Neneng meyakinkan dirinya bahwa ketika kita menghargai orang lain maka orang akan menghargai kita juga. Adalah wajar, paparnya, di dunia ini pasti saja ada orang yang suka dan tidak suka kepada kita. Prinsip yang dia pegang: kita lakukan apa saja yang kita sukai dan jangan pernah mengganggu kenyamanan orang lain, jika demikian semunaya akan bak-baik saja.
Hentikan intoleransi terhadap Muslim Ahmadiyah Alor
Salah seorang mahasiswi Sekolah Tinggi Manajemen Informasi Komputer (STIKOM) Uyelindo Kupang, Aisyah, merasakan kehidupan harmonis selama tinggal di dua wilayah NTT, Alor dan Kupang.
Sebagaimana yang saya rasakan sebagai ‘muslimah’ yang hidup di Alor dengan sangat damai, relasi lintas agama yang saling menghargai dan bekerja sama dirasakan pula oleh Aisyah, jemaat Ahmadiyah yang tumbuh dan besar di Alor.
Sayangnya, sejak tahun ini (2021), tantangan keberagaman tengah dihadapi oleh jemaat Ahmadiyah di Alor. Kehidupan lintas iman yang harmonis di Alor sedang diuji oleh prasangka dan kebencian terhadap kelompok minoritas, komunitas Muslim Ahmadiyah yang berbeda dari mayoritas penduduk Alor yang beragama Kristen dan mempunyai tafsir kenabian yang tidak sama dengan Islam mainstream.
Awal Maret 2021, jemaat Ahmadiyah di Alor mendapat resistensi dari warga Islam mainstream dan yang beragama Kristen. Mubalignya diusir dan diancam dibunuh, begitupun istri dan keluarganya. Kasusnya bermula dari salah satu liputan TV swasta nasional tentang kerja bakti yang melibatkan jemaat Ahmadiyah di akhir tahun 2020 yang membuat penganut Islam mainstream di Desa Wolwal Tengah tersinggung. Namun terhadap berita yang sama yang diliput Seputar-ntt.com dan Tribatanewsalor.com, tak ada pihak yang merasa keberatan.
Kini kondisi Ahmadiyah Alor perlahan kembali kondusif. Aisyah yang saat ketegangan sudah berada di Kupang berharap sekali masyarakat Alor yang dia tahu begitu toleran dan dapat hidup berdampingan dengan yang berbeda agama atau keyakinan, kembali dapat menerima Ahmadiyah layaknya sesama saudara.
“Kalau di Kupang, kami sebagai jemaat Ahmadiyah nyaman sekali karena penduduk di kota ini sangat ramah dan saling menghormati perbedaan. Demikianpun di Alor ketika saya masih tinggal di sana, perbedaan agama atau keyakinan tidak menjadi persoalan. Hal inilah yang kami doakan agar situasi di Alor kembali damai,” harap Aisyah yang tahun ini menginjak semester tiga.
Selama tinggal di Kupang bersama orang tuanya, Aisyah melihat toleransi demikian hidup, baik di lingkungan tempat tinggalnya maupun di kampusnya. Perempuan yang aktif di lembaga sayap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Lajnah Imaillah Kupang ini menginginkan pihak-pihak terkait di Alor, baik tokoh-tokoh masyarakat Islam dan Kristen maupun pemerintah di tingkat lokal mengembalikan citra Alor yang damai dan toleran terhadap perbedaan, menghargai keyakinan masing-masing warganya, termasuk Ahmadiyah.
Toleransi yang saat ini Aisyah rasakan di Kupang ingin sekali dapat kembali tumbuh dengan subur di Alor.
“Warga NTT sejak dulu ramah terhadap kami. Ahmadiyah Alor sebelumnya juga hidup dengan damai, karena Islam yang kami yakini mengajarkan perdamaian. Orang-orang Kristen di Alor juga toleran terhadap kami. Situasi harmonis inilah yang saya harapkan kembali hadir di Alor,” pungkas Aisyah. (*)
Liputan/produksi ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant: Anak Muda Suarakan Keberagaman yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
(Penulis: Atia Kurniawati Jamal, Mahasiswa Universitas Cendana Kupang)