Ahok
Dugaan Kasus Korupsi Pembelian LNG, Ahok Sebut Ada Kontrak Pembelian LNG Bermasalah
Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Pembelian LNG, Ahok Sebut Ada Kontrak Pembelian LNG Bermasalah
POS-KUPANG.COM - Kejaksaan Agung melakukan supervisi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan penyidikan kasus dugaan korupsi pembelian liquefied natural gas atau gas alam cair (LNG) di PT Pertamina (Persero).
KPK pun saat ini mulai melakukan penyelidikan dan berkoordinasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) guna mengusut kasus korupsi yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp2 triliun.
Ternyata dugaan korupsi LNG di Pertamina ini mulai terungkap di awal tahun 2021 saat adanya audit internal yang salah satunya mengkaji ulang seluruh kontrak pembelian LNG, termasuk dengan Mozambique LNG1 Company Pte Ltd.
Kala itu, Komisaris Utama Pertamina Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyatakan ada kontrak pembelian LNG yang bermasalah.
Baca juga: Proyek Pembangunan Kilang RDMP Pertamina Belum Rampung, Ahok Beri Peringatan Keras Kontraktor
Bahkan sejak 2020 dewan komisaris sudah mempersoalkan dan meminta direksi Pertamina menyelesaikan kontrak jangka panjang pembelian LGN.
Permasalahannya dikarenakan kontrak jangka panjang pembelian LNG tidak melalui persetujuan dewan komisaris.
Ahok menyebut ada dua kontrak yang diperiksa dalam audit internal. Buntut dari pernyataan tersebut Pertamina membatalkan kontrak jual beli LNG dengan Anadarko Petroleum Corporation yang diteken pada 13 Februari 2019.
Dalam kesepakatan tersebut, Pertamina berencana mengimpor LNG milik Mozambik LNG1 Company Pte Ltd meliputi 1 juta ton LNG per tahun berdurasi 20 tahun yang akan dimulai pada 2024 mendatang.
Perjanjian itu berlaku untuk 1 juta ton LNG per tahun (MTPA) dengan jangka waktu 20 tahun dan direncanakan mulai dipasok pada 2024 atau awal 2025 mendatang.
Baca juga: Kasus Penganiayaan oleh Anak Ahok, Ayu Thalia Ada Bukti Baru, Pengacara Sean Sebut Fitnah Belaka
Awal Kesepakatan
Dikutip dari Kontan, pada 9 Februari 2021, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan kronologi kesepakatan pembelian LNG Mozambique yang dilakukan Pertamina dalam agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI.
Menurut Nicke, pproses negosiasi kedua belah pihak dilakukan sejak tahun 2013 merujuk pada proyeksi Neraca Gas Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.
Dalam proyeksi tersebut pada tahun 2025 Indonesia diprediksi bakal mengalami defisit suplai gas.
Selain itu, sejumlah sumur gas dalam negeri diprediksi bakal mengalami decline. Hal ini jadi penyebab impor LNG dinilai perlu dilakukan.
Pada tahun 2017, kedua belah pihak mulai melakukan pembicaraan untuk melakukan addendum Sale Purchase Agreement (SPA) karena perubahan kondisi pasar.
Selanjutnya di 2018 dilakukan finalisasi HoA LNG Pertamina-Mozambique dengan jangka waktu 6 Juli hingga 31 Desember 2018.
Kemudian pada 13 Februari 2019 Pertamina dan Mozambique melakukan penandatanganan kontrak jual beli atau SPA. Nicke mengungkapkan pengiriman akan dimulai pada akhir 2024 atau awal 2025.
Pada 8 Agustus 2014, Pertamina melakukan penandatanganan Head of Agreement (HoA) dengan volume 1 juta ton per tahun (MTPA) selama 20 tahun dengan harga pasar.
Nicke menjelaskan, ada sejumlah alasan mengapa Pertamina memilih LNG Mozambique sebagai supplier untuk pemenuhan LNG.
Baca juga: Sosok Anak Bungsu Ahok dan Veronica Tan Tuai Perhatian, Foto Baru Daud Purnama Disorot
Di sisi harga, harga LNG Mozambique dinilai kompetitif untuk kontrak jangka panjang dibanding kontrak lain yang sudah berjalan selama ini.
Selain itu, periode pengiriman dan volume dalam kontrak dinilai memiliki fleksibilitas.
Terakhir keamanan pasokan, Nicke mengungkapkan Mozambik memiliki banyak sumber gas dan fasilitas khusus yang dibangun. Hal ini menjadi nilai plus dalam hal keamanan suplai LNG Mozambique.
Namun Nicke tak membantah Pertamina tengah mengkaji ulang kontrak yang ada.
"Namun mengingat situasi pandemi Covid-19 yang kita belum tahu sampai kapan, kita melihat ada penurunan demand. jadi hari ini sebagai langkah prudent dan sesuai prinsip Good Corporate Governance (GCG) Pertamina melakukan review kembali agar tidak terjadi impact ke korporasi," ujar Nicke saat RDP bersama Komisi VII DPR RI,
Ia menambahkan, Pertamina juga masih menanti proyeksi supply dan demand gas dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang akan difinalisasi pemerintah.
Baca juga: Jarang Tersorot, Penampilan Putra Bungsu Ahok, Daud Purnama Kini Curi Perhatian
Berujung penyelidikan
Pada 22 Maret 2021, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung memulai penyelidikan dugaan korupsi pembelian LNG, di PT Pertamina.
Kapuspenkum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak menjelaskan dugaan korupsi pembelian LNG, di PT Pertamina yakni indikasi fraud dan penyalahgunaan kewenangan dalam kebijakan pengelolaan LNG portofolio di PT Pertamina (Persero).
Menurut Leonard tim penyelidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus telah selesai melakukan penyelidikan untuk selanjutnya dinaikkan ke tahap penyidikan
Belakangan Kejagung mempersilakan KPK mengambil alih atau supervisi kasus dugaan korupsi kontrak LNG Mozambik antara PT Pertamina dengan Mozambique LNG-1 Company.
BERITA LAINNYA:
Masalah dalam pembangunan kilang RDMP Pertamina Balikpapan dibongkar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melalui media sosialnya, Senin (27/9/2021).
Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini mengingatkan supaya kontraktor menyelesaikan proyek dengan kualitas terbaik.
"Diingatkan agar kontraktor segera menyelesaikan proyek dengan kualitas terbaik serta tanpa tambahan biaya yang bisa merugikan Pertamina, maupun nilai keekonomian proyek ke depannya. Kita mau proyek ini selesai dengan segala konsekuensinya, tetapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan," tulis Ahok.
Pernyataan keras Ahok ini mendapat tanggapan dari Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman. Ia menilai bahwa komentar Ahok tersebut mengindikasikan terdapat masalah dalam pelaksanaan pembangunan Kilang RDMP Pertamina Balikpapan.
Pesan Ahok itu menurut Yusri sangat tegas. Pertama, agar konsorsium kontraktor EPC menyelesaikan pembangunan dengan kualitas yang ditentukan.
Kedua, harus sesuai target. Proyek kilang RDMP harus selesai pada tahun 2024, meskipun perencanaan awal akan beroperasi pada tahun 2023. Ahok ingin proyek ini selesai dengan segala konsekuensinya, tapi harus tetap sesuai aturan dan asas keadilan.
"Pesan ketiga Ahok secara tegas melarang adanya biaya yang bisa merugikan Pertamina dan nilai keekonomian proyek ke depannya. Kekhawatiran ini didasari fakta dimana saat ini telah terjadi peningkatan nilai capital expenditure (capex) cukup signifikan," bebernya, Senin (4/10/2021)
Dirinya menduga, pernyataan keras Ahok itu dilandasi temuan terbaru dari lembaga pemeriksa BPKP yang baru selesai melakukan audit terhadap proyek RDMP Balikpapan.
Proses audit BPKP dimulai sekitar awal Maret 2021, pada pertengahan Juni 2021 ada tiga konsorsium yang pernah ikut tender kilang RDMP Balikapapan diundang resmi oleh pemeriksa BPKP untuk klarifikasi, kata Yusri berdasarkan informasi pejabat kilang Pertamina.
"Konon kabarnya hasil audit telah dipresentasikan kepada Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina beberapa hari sebelum Ahok berkunjung ke kilang Balikpapan," ungkap Yusri.
Lanjut Yusri, dari desas-desus di kalangan internal Pertamina, telah ditemukan tiga hal penting dari hasil audit yang bisa berujung ke proses pelanggaran hukum. Lebih jauh, bila cukup bukti hal ini dapat menjadi pertimbangan rekomendasi penghentian pekerjaan.
"Hal itu ditengarai lantaran telah terjadi advanced payment dan peningkatan nilai kontrak akibat banyak perubahan perintah kerja atau Change Order yang melebihi nilai yang diperbolehkan menurut Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Fakta ini telah membuktikan adanya dugaan pelanggaran yang nyata dan sulit dibantah," ulas Yusri.
Selain itu, kata Yusri lagi, hal krusial lain yang telah terjadi ketika proyek akan berjalan, pimpinan konsorsium SK Energi mengundurkan diri.
"Tetapi anehnya Pertamina saat itu menyetujui pergantian Hyundai EC sebagai pimpinan konsorsium. Padahal menurut aturan jika pimpinan konsorsium mundur, seharusnya Pertamina melakukan tender ulang," terangnya lagi.
Informasinya, kata Yusri, berdasarkan pengalaman yang ada, Hyundai E&C secara administrasi saat itu belum memenuhi syarat sebagai pimpinan konsorsium untuk proyek sejenis itu.
"Hingga saat ini, akhir September 2021, kemajauan kerja proyek kilang RDMP Balikpapan baru sekitar 42 persen, jauh dari target semula yakni 84 persen, meskipun pandemi Covid 19 dipakai sebagai alasan pembenar," tegasnya.
Pembiayaan untuk pembangunan kilang RDMP, menurut keterangan Yusri, sejak awal direncanakan dan dijalankan dengan Trustee Borrowing Scheme. Namun, karena peningkatan Capex yang di luar kewajaran telah mengakibatkan proyek hingga saat ini belum mendapatkan investor yang mau berinvestasi untuk proyek kilang ini.
"Mungkin para investor meyakini tingginya resiko proyek, sehingga terpaksa Pertamina membiayai sendiri, dan konon kabarnya Pertamina hanya sanggup membiayai hingga akhir 2021," katanya.
Sehingga, kata Yusri lagi, wajar saja jika Ahok baru-baru ini mengeluarkan peringatan keras.
Proyek tidak boleh molor penyelesaiannya dan nilai proyek serta kinerja kilang yang dibangun harus menghasilkan nilai produk berkualitas dengan kapasitas sesuai perencanaan awal, sehingga efisiensi kilang dapat diperoleh.
"Ahok sebagai komisaris utama tentu mempunyai beban tanggungjawab yang besar agar proyek strategis nasional yang merupakan kebijakan Presiden Jokowi untuk menjaga ketahanan dan kemandirian energi nasional dapat direalisasikan segera," ulas Yusri.
"Tampaknya Dewan Direksi Pertamina Holding dan Subholding PT Pertamina Kilang Internasional saat ini lagi pusing tujuh keliling mencari solusi dari temuan BPKP terbaru ini," tutup Yusri.
Artikel ini telah tayang di Kompas TV dengan judul Perjalanan Kasus Dugaan Korupsi Pembelian LNG, dari Indikasi Ahok hingga Jatuh ke Tangan KPK