Opini Pos Kupang
63 Tahun Usia Puisi
Puisi seorang guru dari Bima, NTB, dimuat di Majalah Budaya, pada Oktober 1958. Puisi tersebut ia tulis sebulan sebelumnya
Oleh : Mario F. Lawi, Editor Penerbit Dusun Flobamora
POS-KUPANG.COM- Puisi seorang guru dari Bima, NTB, dimuat di Majalah Budaya, pada Oktober 1958. Puisi tersebut ia tulis sebulan sebelumnya, sebagaimana diterangkan titimangsa di akhir puisi. Guru tersebut kemudian lebih dikenal sebagai seorang sastrawan produktif. Namanya Gerson Gubertus Poyk.
Judul puisinya, "Tiga Resita Kecil". Puisi tersebut dimuat di Majalah Budaya dalam ejaan Suwandi, lalu terbit kembali dalam buku puisi Gerson berjudul Anak Karang: Kumpulan Sajak Gerson Poyk 1955-1958 (1985: 26-28), dan Dari Rote ke Iowa (2014: 28-32).
Penyesuaian ejaan dilakukan pada penerbitan ulang di kedua buku tersebut. Dengan demikian, pada September 2021, puisi "Tiga Resita Kecil" telah berusia 63 tahun.
"Tiga Resita Kecil", sebagaimana judulnya, dibagi ke dalam tiga bagian. Masing-masing bagian diberi sub-judul. Bagian pertama bersub-judul "Resita Pertualangan Jiwa" (dalam terbitan Dari Rote ke Iowa, sub-judul ini berubah (kemungkinan besar karena salah ketik) menjadi "Resita Petualangan Cinta".
Bagian kedua bersub-judul "Resita Perbukitan Ranggas". Bagian ketiga bersub-judul "Resita Perairan Biru".
Bagian pertama, "Resita Pertualangan Jiwa", bercerita tentang pengalaman seorang aku lirik, kesombongan sebagai simbol keterbatasan manusiawi, yang berusaha diatasi dengan iman, penyesalan, dan rahmat Ilahi.
Bait kedua puisi tersebut berisi alusi terhadap kisah alkitabiah, terutama tentang penyaliban Kristus di salib. "Batu sanggup yang dihancurkan" di bait pertama terlontar ke arah "resia yang terpaku mati", "pada yang bimbang mengejek di mana tangan luka sanggupnya, "pada haru perempuan dengan harum rempah dan tangis manisnya", "pada fananya nafas hiba tentang angkara murka orang-orang tertumpas dalam kepayahan dunia khayal dan raihan semoga tak kekal".
"Batu sanggup" adalah metafora keangkuhan manusia yang merasa cukup dengan kemampuannya sendiri. Ketika batu tersebut hancur, si aku lirik kembali. Peristiwa tersebut membuatnya sadar bahwa "yakin jadi pelabuhan mula dan jalan kembali kepada batin".
Itulah keyakinan kepada Kristus, Sang "resia yang terpaku mati". Iman membuat si aku lirik mampu bertempur, melepaskan segalanya yang sebelumnya dibelenggu oleh "batu sanggupnya", "raihan yang menyebabkan tumbuhnya musuh".
Singkatnya, "Resita Pertualangan Jiwa" adalah kisah tentang transformasi iman si aku lirik, jiwa yang bergerak dari keangkuhan duniawi mencari keselamatan penebusan dalam terang iman.
Transformasi jiwa tersebut kian jelas pada bagian kedua, "Resita Perbukitan Ranggas". "Hati yang sengsai", yang bergerak dari bagian pertama setelah melalui pertempuran demi pertempuran, memohon kedatangan Roh Kudus di bagian kedua.
Jika nada utama bagian pertama adalah pertanyaan-pertanyaan, bagian kedua adalah sepenuhnya permohonan. Setelah melewati pertempuran demi pertempuran, si aku lirik sadar "usia adalah karunia" dan "hati adalah ahli waris".
Allah adalah pemberi dan pemilik usia yang dimiliki si aku lirik. Meski lebih sedikit dari bagian pertama, alusi alkitabiah dalam bagian "Resita Perbukitan Ranggas" dapat kita temukan dalam baris "datanglah ya kau yang menyatukan insan dengan ilahiatmu memendar", mengacu kepada peristiwa turunnya Roh Kudus dalam bentuk lidah-lidah api.
Si aku lirik yang berubah di bagian pertama adalah tokoh yang begitu sering memohon di bagian kedua. Karena itulah, permohonan yang dilakukan di bagian kedua dijawab pada bagian ketiga, ketika perbukitan ranggas berubah menjadi perairan biru.
Sebagaimana sub-judulnya, "Resita Perairan Biru", keadaan si aku lirik dalam bagian tersebut adalah keadaan yang sama sekali berbeda dari kondisinya di dua bagian sebelumnya.
Si aku lirik bukan lagi ia yang batu sanggupnya dihancurkan, bukan lagi ia yang pasrah memohon kehadiran Roh Kudus, melainkan ia yang telah "kembali ke negeri lahir yang benar", "kembali dengan tak gentar".
Dalam perjalanannya kembali, di atas aliran air melimpah yang telah mengubah perbukitan ranggas menjadi lautan biru, Roh Kudus adalah penjaga yang "beterbangan di perairan biru hadirku".
Bagian ketiga juga berfungsi memberikan rangkuman kedua kisah dalam kedua bagian sebelumnya sebelum melanjutkan kisah perjalanan si aku lirik. Baris "gemetarlah batin manakala ia ranggas" di bait keempat bagian ketiga membuat kita mesti mengingat kembali situasi di bagian kedua, sebuah situasi "dukacita" yang berubah menjadi "yakin" yang membuat "batin berbahagia".
Kembali ke negeri lahir yang benar adalah situasi pulang, sebuah nostos dan odysseia. Si pahlawan yang bertempur sepanjang hidupnya pulang setelah menemukan kemenangannya.
Itulah jalan pulang yang juga ditempuh si pengembara dalam Komedi Ilahi, berjalan pulang ke rumah surgawi dalam tuntunan ilahi. Kepulangan tersebut membuat si aku lirik mengingat kembali "selat sempit" di bagian ketiga, yang mudah dilewati "si bocah kecil yang bening bermain", gambaran masa kecil tanpa cela, juga tanpa pengalaman pertarungan.
Sebagai sebuah odysseia, pulang bukan hanya soal kemampuan kembali, melainkan juga soal kemampuan untuk merebut kembali rumah. Karena itulah, si aku lirik, dengan begitu yakin, berujar di bait penutup bagian ketiga:
berlayarlah dalam kesementaraan ini hatiku yang sengsai
sering benar kau terengah sering benar kau mabuk diri
sungai deras maha bebas akhirnya takkan lepas sendiri
dan buatlah cadar di seputar medan sengsai hatimu
agar sekitar tak terimbas oleh terik duniamu keras
berbungalah engkau kesementaraan
berbuahlah engkau kesementaraan
terkubur dan tumbuh
Itulah solusi yang diberikan si aku lirik kepada dirinya sendiri, sebuah solilokui untuk terus-menerus mengingatkan dirinya akan situasi rumahnya. Itulah perjuangan "batin yang terculik dan mencari penebusnya", sebuah perjalanan terus-menerus seorang peziarah di dunia untuk mencapai rumah abadinya.
"Tiga Resita Kecil" adalah puisi tentang perjalanan, terutama perjalanan spiritual, yang merupakan pokok utama yang dibicarakan puisi-puisi lain dalam buku Anak Karang, dan pola-pola di dalam puisi "Tiga Resita Kecil" kita temukan diulangi, dalam kadar yang berbeda, dalam puisi-puisi yang lain. Simak, misalnya, bait pertama puisi "Rendezvous", "begini gaerah hidupku mengalir/sedianya dari pasir kemarau ke perairan biru", sebuah situasi yang secara ringkas mengingatkan kita pada dua bagian "Tiga Resita Kecil".
Contoh lainnya adalah puisi "Ketika Kristus Mati". Kisah kematian Kristus direfleksikan Gerson untuk menghasilkan aku lirik yang turut diubah, tokoh yang menggambarkan dirinya di akhir puisi sebagai berikut:
bukan aku tak menentu setelah bersatu dalam cawannya berdarah
yang kuminum dan kagum
tetapi cintaku telah memilih jalan sendiri
dan rindunya meneduhkan hati yang dihiba cinta penebus.
Jalan yang dipilih cinta adalah selat sempit yang penuh gelombang besar, seperti jalan yang mesti dilalui si aku lirik dalam puisi "Tiga Resita Kecil", tokoh yang terkubur bersama Yesus yang mati, dan lahir kembali sebagai manusia baru. (*)