Opini Pos Kupang
Paradoks Kebijakan di Tengah Kedaruratan Pandemi
Penciptaan instrumen untuk melestarikan kemapanan (establishment) ialah basis dari arogansi kekuasaan
Oleh : Emanuel Kosat, Mahasiswa Magister Kebijakan Publik, Universitas Airlangga, Surabaya)
POS-KUPANG.COM- Penciptaan instrumen untuk melestarikan kemapanan (establishment) ialah basis dari arogansi kekuasaan. Tendensinya melalui kontrol yang pada gilirannya memposisikan penguasa pada perasaan senang, langgeng, dan bahkan candu. Penguasa menjadi terobsesi dalam kenyamanannya.
Tetapi sewaktu-waktu rentan merasa cemas pada potensi oposan yang dianggap mengganggunya, kendati oleh rakyat sekalipun.
Kecemasan itu meniscayakan tindakan sewenang-wenang untuk menaklukan rakyat yang lemah sebagaimana maxim dari seorang Filsuf Politik berkebangsaan Inggris, Thomas Hobbes (1588-1679) yang berbunyi: "homo homini lupus" (manusia adalah serigala bagi manusia).
Karenanya untuk mencegah situasi predatoris itu terjadi maka diadakanlah perjanjian. Dalam konteks Indonesia, konstitusi telah menandaskan bahwasanya negara Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan.
Sebagai negara hukum, Indonesia dapatlah terhindar dari dominasi penguasa. Rakyat dan penguasa dengan begitu sama-sama takluk pada satu kewibawaan yaitu konstitusi. Hak untuk menyuarakan aspirasi dalam rezim demokrasipun menjadi terjamin dan dilindungi.
Kendati demikian nyatanya usaha menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum toh masih saja terjadi. Bahkan beberapa hari lalu ada sekelompok orang yang coba menghentikan aksi unjuk rasa para mahasiswa yang tergabung dalam Cipayung Plus Kota Kupang.
Peristiwa itu seyogianya dapat diintrepretasikan publik sebagai wujud superioritas penguasa dalam rangka menyangkal dugaan pelanggaran protokol kesehatan (prokes) pada acara Pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) NTT di Pantai Otan, Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang tanggal 27Agustus lalu.
Protes yang diinisiasi oleh mahasiswa itu lebih jauh dapat dimaknai sebagai dobel kritisisme. Pada satu sisi, mahasiswa mendesak agar sanksi hukum itu harus berlaku adil terhadap pelanggar prokes entah itu pelakunya adalah para pejabat sekalipun.
Tidak tangung-tanggung Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Polda NTT) langsung menjawab tuntutan masa aksi dengan menerbitkan Surat Tanda Terima Laporan Polisi, Nomor: STTL/267/IX/1.24/2021/SPKT POLDA NTT.
Sementara di sisi lain, mahasiswa dengan satire menyindir bahwasanya kegiatan para elite di Pantai Otan, Semau merupakan sinyal bahwa kerumunan dan pesta telah diperbolehkan kendati di tengah situasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Karenanya, mahasiswa menggerakan masa aksi untuk berkerumun dan berpesta orasi di jalan. Kerumunan mahasiswa itu sebetulnya sebagai konsekuensi (consequence) dari kerumunan yang telah didahului (antecedence) oleh para pejabat sendiri.
Hari-hari ini situasi paradoksal justru kian direproduksi oleh para elite.
Ketidakberdayaan rakyat ternyata tidak saja dieksploitasi oleh kepongahan kelakuan penguasa tetapi ternyata sekaligus dengan memaksimalkan kebijakan yang tidak beretika.
Sebab bagaimana mungkin rakyat yang sedang dikalutkan oleh pandemi justru malah kena "prank" dari pemerintah. Dalam ketahanan ekonomi dan kesehatan yang sedang labil, kebijakan malah tidak menunjukan semangat guna memformulasikan suatu kebijakan publik ekstra (extra public policy).
Kita tahu bahwa pandemi adalah bencana non alam yang luar biasa maka penanganannya pun semestinya sanggup melampaui seluruh batasan-batasan administratif. Rupa-rupanya pemerintah kita rela mengingkari substansi kesejahteraan rakyat dengan berjalan mundur pada aspek normatif prosedural.
Inilah yang terjadi pada polemik penutupan Laboratorum Biomolekuler Kesehatan Masyarakat (Lab Biokesmas) NTT oleh Pemerintah Kota Kupang. Kini janji gubernur untuk menggratiskan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pun dipertanyakan masyarakat.
Pertanyaan itu nampaknya masal diucapkan oleh mayoritas pencari kerja khusunya para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebab seturut aturan pemerintah yang mewajibkan swab RT-PCR atau rapid test antigen pada waktu pelaksanaan SKD (Seleksi Komptensi Dasar).
Logika ringkas bisa kita utarakan bahwasanya para pencari kerja itukan sudah pasti sedang mencari penghasilan. Namun malah dibebankan dengan pengeluaran biaya tes Covid-19 sebagai prasyarat SKD. Inilah fenomena yang belakangan miris terjadi tetapi kenyataannya hati nurani pemeritah tidak peka pada situasi kedaruratan.
Hati nurani yang dimaksud adalah keberpihakan pada rakyat, sebab itulah mata uang penting di tangan pasar kedaruratan pandemi ini. Para CPNS sudah saatnya menyiapkan mental serius guna menghadapi realitas ini dengan menyisihkan modal lebih sebagai biaya tes PCR karena janji indah sebelumnya ternyata cuma"prank" belaka.
Alhasil sudah saatnya pemerintah untuk tidak boleh tidak (sine qua non) mengkompromikan antara kebijakan dan kelakuannya. Apalagi dalam situasi saat ini maka terobosan penanganan pandemi harus ditempuh melalui cara-cara progresif. Perlu kesadaran etis yang inklusif untuk meninggalkan paradigma lama dan dengan sadar menempuh paradigma baru.
Kebijakan jangan lagi diarahkan sebatas pada entitas normatif melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas substantif dengan tujuan pokok yaitu berempati langsung pada ketidakberdayaan masyarakat. Kesejahteraan harus menjadi tujuan utama meskipun cara yang digunakan tak selalu takluk pada teks regulatif, melainkan berorientasi pada konteks substantif.
Kebijakan publik sepelik apapun itu harus dibimbimbing oleh kriteriumetika yang mendasarinya. Hanya melalui itu, bagi Jürgen Habermas (1929-sekarang) yang adalah filsuf kritis kebijakan dari Mazhab Frankfurt, maka situasi ideal pun dapat tercapai.
Habermas berpendapat bahwa kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang terindividualisasikan dalam teks dogmatis ke konsep nalar yang ada dalam konteks masyarakat (lebenswelt).
Titik terang suatu kebijakan terletak ketika ia telah mampu melakukan proyek pembebasan dari dogma-dogma teknis pragmatis untuk menghasilkan epistemologi kebijakan publik pada dataran praksis esensial masyarakat. Kita tentu tidak menginginkan kegagalan kebijakan karena terlalu mementingkan paradigma teknis dan mengabaikan paradigma substantif.
Inilah yang dimaksudkan sebagai jalan keluar dari kedaruratan melalui kebijakan yang berbasis keperpihakan pada rakyat demi terwujudnya, salus populi suprema lex esto! (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi!).
Baca Opini Pos Kupang Lainnya