Opini Pos Kupang

Paradoks Kebijakan di Tengah Kedaruratan Pandemi

Penciptaan instrumen untuk melestarikan kemapanan (establishment) ialah basis dari arogansi kekuasaan

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Inilah yang terjadi pada polemik penutupan Laboratorum Biomolekuler Kesehatan Masyarakat (Lab Biokesmas) NTT oleh Pemerintah Kota Kupang. Kini janji gubernur untuk menggratiskan tes Polymerase Chain Reaction (PCR) pun dipertanyakan masyarakat.

Pertanyaan itu nampaknya masal diucapkan oleh mayoritas pencari kerja khusunya para Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Sebab seturut aturan pemerintah yang mewajibkan swab RT-PCR atau rapid test antigen pada waktu pelaksanaan SKD (Seleksi Komptensi Dasar).

Logika ringkas bisa kita utarakan bahwasanya para pencari kerja itukan sudah pasti sedang mencari penghasilan. Namun malah dibebankan dengan pengeluaran biaya tes Covid-19 sebagai prasyarat SKD. Inilah fenomena yang belakangan miris terjadi tetapi kenyataannya hati nurani pemeritah tidak peka pada situasi kedaruratan.

Hati nurani yang dimaksud adalah keberpihakan pada rakyat, sebab itulah mata uang penting di tangan pasar kedaruratan pandemi ini. Para CPNS sudah saatnya menyiapkan mental serius guna menghadapi realitas ini dengan menyisihkan modal lebih sebagai biaya tes PCR karena janji indah sebelumnya ternyata cuma"prank" belaka.

Alhasil sudah saatnya pemerintah untuk tidak boleh tidak (sine qua non) mengkompromikan antara kebijakan dan kelakuannya. Apalagi dalam situasi saat ini maka terobosan penanganan pandemi harus ditempuh melalui cara-cara progresif. Perlu kesadaran etis yang inklusif untuk meninggalkan paradigma lama dan dengan sadar menempuh paradigma baru.

Kebijakan jangan lagi diarahkan sebatas pada entitas normatif melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas substantif dengan tujuan pokok yaitu berempati langsung pada ketidakberdayaan masyarakat. Kesejahteraan harus menjadi tujuan utama meskipun cara yang digunakan tak selalu takluk pada teks regulatif, melainkan berorientasi pada konteks substantif.

Kebijakan publik sepelik apapun itu harus dibimbimbing oleh kriteriumetika yang mendasarinya. Hanya melalui itu, bagi Jürgen Habermas (1929-sekarang) yang adalah filsuf kritis kebijakan dari Mazhab Frankfurt, maka situasi ideal pun dapat tercapai.

Habermas berpendapat bahwa kita sebaiknya menggeser perspektif dari konsep nalar yang terindividualisasikan dalam teks dogmatis ke konsep nalar yang ada dalam konteks masyarakat (lebenswelt).

Titik terang suatu kebijakan terletak ketika ia telah mampu melakukan proyek pembebasan dari dogma-dogma teknis pragmatis untuk menghasilkan epistemologi kebijakan publik pada dataran praksis esensial masyarakat. Kita tentu tidak menginginkan kegagalan kebijakan karena terlalu mementingkan paradigma teknis dan mengabaikan paradigma substantif.

Inilah yang dimaksudkan sebagai jalan keluar dari kedaruratan melalui kebijakan yang berbasis keperpihakan pada rakyat demi terwujudnya, salus populi suprema lex esto! (kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi!).

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved