Berita TTS
Sanggar Suara Perempuan Apreasiasi Dilanjutkannya Pembahasan RUU TPKS
Sanggar Suara Perempuan (SSP) selaku anggota forum pengadaan layanan mengapresiasi Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR RI
Penulis: Dion Kota | Editor: Kanis Jehola
Laporan Reporter Pos-Kupang.Com, Dion Kota
POS-KUPANG.COM, SOE - Sanggar Suara Perempuan (SSP) selaku anggota forum pengadaan layanan mengapresiasi Tim Badan Legislasi (Baleg) DPR RI yang telah melakukan pembahasan RUU Tindak Pidana Kekekerasan Seksual (TPKS) yang semula RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PK-S).
SSP yang selama konsen memberikan pendampingan terhadap Perempuan Korban Kekerasan Seksual maupun KDRT, mengapresiasi langkah maju tersebut ditengah tingginya angka kekerasan seksual saat pandemic Covid-19 diIndonesia.
Namun SSP juga menyayangkan penghilangan pasal-pasal krusial yang melindungi korban.
Berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan SSP, ditemukan bahwa masih dibutuhkan enam elemen kunci yang harus dipertahankan untuk menjawab persoalan dilapangan.
Baca juga: Sanggar Suara Perempuan dan BFWD Gelar Latih Bedah Anggaran Responsif Gender
Mulai dari hukum acara yang lebih berpihak pada korban, 9 bentuk Kekerasan seksual (KS) yang masih terjadi di masyarakat; pencegahan kekerasan seksual sebagai langkah taktis penanganan kasus KS, pemulihan korban yang komprehensif, koordinasi dan pemantauan, juga adanya ketentuan pidana yang mengakomodir 9 bentuk KS.
"Kami berpandangan, Bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dirubah menjadi TPKS tetap seharusnya tetap menjadi pijakan hukum bagi hak korban KS dan keluarganya. Dimana selama ini belum diatur secara komprehensif dalam Undang-Undang. Beberapa Elemen substansi yang sangat krusial untuk menjamin terpenuhinya hak‐hak korban dan keluarganya justru hilang. Keterbatasan KUHAP dan beberapa kebijakan lainya, seharusnya menjadi titik tolak RUU TPKS untuk mengakomodir dan meperkuat hak korban. Sehingga pemanfaatn RUU ini utuh untuk menjawab kebutuhan korban," Direktur Yayasan SSP, Rambu Mella dalam rillis yang diterima POS-KUPANG.COM, Minggu 12 September 2021.
Dirinya berpandangan bahwa Pemangkasan 6 elemen kunci dalam draft awal menjadi langkah mundur.
Bagaimana DPR memahami kompleksitas persoalan kekerasan seksual dilapangan selama ini. Adanya distorsi pengurangan jenis KS dari semula Sembilan (9) jenis KS menjadi 4 (empat) jenis, menjukan bahwa ada kekurangan
referensi dan kelemahan tim Baleg DPR dalam mengelaborasikanya dengan kasus-kasus KS yang terjadi di masyarakat.
Pendekatan hukum yang digunakan untuk pemangakasan bentuk KS menjadi tidak relevan. Padahal 9 jenis KS ini bukan diambil dari ruang hampa namun didasari atas pengalaman pendampingan korban KS yang dilakukan oleh Forum Pengadaan Layanan.
Lima bentuk KS yang dihilangkan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, tidak bisa dijawab dengan bentuk lain KS, Seperti pelecehan seksual (Pasal2), Pemaksaan memakai alat kontrasepsi (Pasal 3), Pemaksaan Hubungan Seksual (Pasal 4), eksploitasi Seksual (Pasal 5) serta tindak pidana, Kekerasan seksual yang didiserta dengan perbuatan pidana lain lainya (pasal 6).
Selain itu, keterbatasan pasal yang mengatur hak korban untuk mendapatkan layanan pemulihan secara terpadu dan hak mendapatkan pendampingan dalam setiap proses peradilan juga menjadi salah satu catatan yang harus menjadi perhatian.
Bahwa tidak dijelaskanya Layanan Terpadu dan lembaga pendamping korban Terpadu baik berbasis masyarakat maupun pemerintah menjadi pertanyaan besar bagaimana negara memahami proses pendampingan korban kekerasan seksual.
"Kita mendorong agar dibukakan ruang diskusi secara terbuka yang melibatkan masyarakat terutama yang memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan dan korban yang sudah menjadi penyintas untuk perubahan naskah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Enam elemen kunci yang menjadi inti substansi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yakni Sembilan (9) jenis KS, Pemidanaan, Hukum Acara Pidana, Pencegahan, Pemulihan dan koordinasi dan pengawasan.
Mengubah definisi tindak pidana pemaksaan hubungan seksual menjadi tindak pidana perkosaan, memasukan kebutuhan khusus korban KS dengan disabilitas dalam aspek pencegahan, Penanganan dan pemulihan harus dimasukan kembali," pintanya. (*)