Corruptio Optima Pessima

Pemberantasan korupsi bersifat komprehensif dan karenanya dibutuhkan sinergitas di antara semua komponen tersebut.

Editor: Agustinus Sape
Foto pribadi
Yosef Sudarso, S. Fil, penyuluh Agama Katolik Kemenag Kota Kupang. 

Namun justru yang dia tidak akan lupa ialah pertanyaan yang anaknya tidak sempat ajukan. “Tetapi saya tahu ada pertanyaan itu dalam hatinya. Mengapa saya tidak hadir saat ia diwisuda. Sebenarnya tiket pesawat sudah saya beli. Tetapi sebelum hari keberangkatan, saya sudah lebih dahulu ditahan oleh jaksa.”

Bapak itu kemudian bersaksi bahwa ia merasa sangat bersalah pada keluarga dan teristimewa anak sulungnya tersebut. Hatinya hancur.

Pada penghujung sharing, dengan berlinang air mata, dia berkata, “Saya sangat menyesal dengan apa yang sudah saya lakukan. Kalau tahu begini, saya pasti tidak korupsi. Nanti sesudah keluar dari sini, saya akan sampaikan anak saya bahwa bapak sudah jawab pertanyaannya dalam doa kepada Tuhan.”

Pengalaman bimbingan dan penyuluhan agama di atas sejatinya menegaskan bahwa bahasa agama sesungguhnya punya daya magis. Bahasa agama dapat mengantar para pelaku pada pertobatan. Dan, pertobatan yang sejati pada gilirannya menjadi pesan yang sangat efektif bahwa kejahatan termasuk korupsi hanya bisa merusak dan tidak akan pernah membawa kebahagiaan.

Uang negara yang dicuri, jabatan yang disalahgunakan, suap, gratifikasi dan pelbagai jenis tindakan korupsi lainnya selalu bermuara pada rasa malu yang berkepanjangan. Korupsi itu aib tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga keluarga: istri, suami dan anak-anak bahkan juga keluarga besar.

Belajar dari Si Bungsu dalam Kisah Anak yang Hilang

Dalam pelbagai kesempatan konseling dengan para terdakwa dan terpidana tipikor, salah satu dilema dalam hati mereka adalah kerinduan untuk bebas dan bisa pulang rumah di satu sisi, namun di sisi lain memikul beban mau pulang rumah dengan wajah seperti apa.

Pertentangan batin itu mirip dengan pengalaman Si Bungsu dalam perumpamaan Anak yang Hilang (Lukas 15:11-32).

Setelah meminta harta warisan, Si Bungsu menjual semua warisan itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya sampai akhirnya menjadi sangat miskin dan telantar.

Si Bungsu bahkan bersedia bekerja di kandang babi yang dalam tafsiran Dr. Leo Kleden, SVD, imam dan dosen pada STFK Ledalero, anak bungsu itu bersedia bekerja di tempat yang haram karena babi adalah hewan yang haram dalam budaya Ibrani.

Menurut Leo Kleden, akibat paling fatal dari rangkaian kejahatan Si Bungsu adalah pelecehan martabatnya sampai ke titik yang paling rendah. Si Bungsu lebih hina dari babi karena supaya bisa makan, ia terpaksa meminta ampas makanan babi, tetapi itu pun tidak ia peroleh.

Maka Leo Kleden menyimpulkan seluruh kejatuhan Si Bungsu itu dalam ungkapan: corruptio optima pessima, yang berarti merusak apa yang terbaik itulah yang terburuk.

Pada hemat penulis, ungkapan itu kiranya juga tepat digunakan bagi para pelaku tindakan pidana korupsi. Korupsi mencabut seluruh harta terbaik dari pelakunya, yakni integritas, harga diri dan kebahagiaan keluarga.

(selesai)

Halaman 3 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved