Laut China Selatan

Jelang Latihan Malabar 2021, India dan Vietnam Gelar Latihan Bersama di Laut China Selatan

Menjelang Latihan Malabar 2021, Angkatan Laut India menggelar latihan bersama dengan Angkatan Laut Vietnam di Laut China Selatan, Rabu 18 Agustus 2021

Editor: Agustinus Sape
indiatimes.com
Angkatan Laut India dan Angkatan Laut Vietnam menggelar latihan bersama di Laut China Selatan, Rabu 18 Agustus 2021. 

Jelang Latihan Bersama Malabar 2021, India dan Vietnam Gelar Latihan Bersama di Laut China Selatan

POS-KUPANG.COM,  NEW DELHI – Menjelang latihan angkatan laut bersama, Malabar 2021 tanggal 21-29 Agustus 2021, Angkatan Laut India menggelar latihan bersama dengan Angkatan Laut Vietnam di Laut China Selatan, Rabu 18 Agustus 2021.

Sebelumnya diberitakan navalpost.com, Pemerintah India telah mengumumkan bahwa latihan angkatan laut bersama, Malabar 2021, yang melibatkan India, Amerika Serikat, Jepang, dan Australia akan diadakan lagi tahun ini.

Sebagai bagian dari latihan Malabar 2021, Angkatan Laut Quad akan melakukan operasi amfibi yang melibatkan pasukan khusus, penembakan langsung, dan operasi perang anti-kapal selam di lepas pantai Guam di Indo-Pasifik.

Fase pelabuhan latihan angkatan laut Malabar dijadwalkan pada 21-24 Agustus, dengan fase laut berlangsung pada 25-29 Agustus.

Baca juga: Kapal Fregat Jerman ke Laut Cina Selatan, Ingin Berlabuh di Shanghai, Begini Reaksi Beijing

Angkatan Laut AS mengirimkan tiga kapal perang, termasuk kapal perusak, pesawat pengintai maritim P 8, helikopter perang anti-kapal selam, dan pasukan khusus.

Angkatan Laut India akan diwakili oleh dua kombatan permukaan, INS Ranvijay dan Frigate INS Shivalik, serta pesawat pengintai maritim P8I, helikopter ASW, dan pasukan khusus.

Angkatan Laut Jepang mengirim tiga kombatan permukaan, kapal selam lapis ranjau, pesawat pengintai maritim, helikopter ASW, dan pasukan khusus. Angkatan Laut Australia akan mengirimkan satu kapal, sebuah helikopter ASW, dan pasukan khusus ke Malabar.

Tahun lalu, Latihan Angkatan Laut Malabar edisi ke-24 dilakukan di Visakhapatnam, Teluk Benggala pada November 2020.

Latihan Bersama India dan Vietnam

Sebagai pemanasan sebelum mengikuti Malabar 2021, Angkatan Laut India dan Angkatan Laut Vietnam melakukan latihan bersama di Laut China Selatan.

Latihan tersebut melibatkan dua kapal tempur India dan satu kapal Vietnam.

Baca juga: China Akhiri Moratorium Penangkapan ikan di Laut China Selatan, Spekulasi Media Asing Ditolak

Dua kapal India masing-masing adalah kapal perusak berpeluru kendali INS Ranvijay dan dan korvet INS Kora. Sedangkan Vietnam menerjunkan kapal fregat VPNS Ly Thai To.

Juru Bicara Angkatan Laut India Vivek Madhwal mengatakan, kedua kapal tempur milik India tersebut telah tiba di Cam Ranh, Vietnam, pada Minggu 15 Agustus 2021.

Latihan tersebut digelar menjelang latihan gabungan berskala besar yang melibatkan India, AS, Jepang, dan Australia yang dinamakan Malabar 2021 pada 26 hingga 29 Agustus.

Dua kapal India lain, fregat siluman INS Shivalik dan korvet anti-kapal selam INS Kadmatt, juga dikerahkan untuk mengikuti latihan yang digelar di lepas pantai Guam tersebut.

Malabar 2021 bertujuan untuk memperkuat keselarasan strategis guna memastikan kawasan Indo-Pasifik yang bebas, terbuka, aman, dan stabil.

Gugus tugas angkatan laut India juga dijadwalkan untuk melakukan latihan bilateral dengan Filipina, Singapura, dan Indonesia di hari-hari mendatang.

"Sebagai bagian dari hubungan pertahanan India-Vietnam yang kuat, latihan reguler dan pertukaran telah meningkatkan interoperabilitas antara kedua angkatan laut," kata seorang perwira angkatan laut India.

Baca juga: Pemerintah China Galau, Susah Payah Menjaga Laut China Selatan Malah Sekarang Diserang Seluruh Dunia

Sebelumnya, India juga dilaporkan menawarkan rudal jelajah supersonik BrahMos serta sistem pertahanan rudal permukaan-ke-udara Akash ke Vietnam.

Tawaran tersebut dilatarbelakangi kerja sama pertahanan yang menjadi komponen vital dari kemitraan strategis komprehensif antara kedua negara.

Tawaran tersebut juga merupakan kewaspadaan antara India dan Vietnam atas aktivitas China di Indo-Pasifik.

Riwayat Konflik Laut China Selatan

Buku berjudul Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan, yang disunting Prof. Dr. phil. Poltak Partogi Nainggolan, M.A, yang diterbitkan P3DI Setjen DPR Republik Indonesia
dan Azza Grafika 2013 menjelaskan riwayat Laut China Selatan di bagian prolognya.

Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough yang terbentang luas dari negara Singapura yang dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan.

Karena bentangan wilayah yang luas ini, dan sejarah penguasaan silih berganti oleh penguasa tradisional negara-negara terdekat, dewasa ini, beberapa negara, seperti Republik Rakyat China (RRC), Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Brunei Darussalam, terlibat dalam upaya konfrontatif saling klaim, atas sebagian
ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Indonesia, yang bukan negara pengklaim, menjadi terlibat setelah klaim mutlak RRC atas perairan Laut China Selatan muncul pada tahun 2012.

Karena sejarah navigasi dan perniagaan yang panjang di sana, yang diikuti penguasaan silih berganti atas wilayah, negara-negara di kawasan, dan bahkan, luar kawasan, telah memberi nama yang berlainan untuk wilayah yang diperebutkan itu. Dalam kebanyakan bahasa yang digunakan para pelaut Eropa, laut tersebut disebut sebagai South China Sea, atau Laut China Selatan. Pelaut Portugis, orang Eropa pertama melayari wilayah perairan itu dan sekaligus memberikan nama, mengatakannya sebagai Mar da China, atau Laut China.

Mereka kemudian mengubahnya menjadi Laut China Selatan. Demikian pula, Organisasi Hidrografik Internasional menyebutnya sebagai Laut China Selatan, atau Nan Hai (Laut Selatan) dalam Bahasa China.

Yang lebih penting lagi, Laut China Selatan adalah kawasan perairan yang strategis, yang kaya sumber daya alam (SDA). Konflik antarnegara yang terlibat saling klaim kepemilikan atas pulau-pulau (kepulauan) di sana (claimant states) baru muncul di dasawarsa 1970, dan berulang kembali di dasawarsa 80, 90 hingga 2010 ini.

Namun, tidak dapat disangkal di masa lalu, penguasapenguasa tradisional dari Tiongkok (China) dan Vietnam, dan negara-negara baik yang terlibat saling klaim sekarang maupun tidak itu, pernah terlibat
memperebutkan kontrol atas wilayah perairan di sana.

Potensi kekayaan Laut China Selatan yang semakin dapat dieksplorasi belakangan ini mengungkapkan kepada dunia bahwa Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar Sumber Daya Alam (SDA), terutama mineral, minyak bumi dan gas alam.

Pemerintah RRC sendiri sangat optimistik dengan potensi SDA yang ada di sana melalui riset-riset yang terus dilaksanakannya.

Berdasarkan laporan lembaga Informasi Energi Amerika (Energy Information Administration --EIA), RRC memperkirakan terdapatnya cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel, atau sekitar 10 kali lipat cadangan nasional Amerika Serikat (AS).

Sedangkan para ilmuwan AS memperkirakan terdapat sekitar 28 miliar barel minyak di kawasan Laut China Selatan.

Adapun EIA menginformasikan, cadangan terbesar SDA di sana kemungkinan berasal dari gas alam, yang diperhitungkan sekitar 900 triliun kaki kubik, atau sama dengan cadangan minyak yang dimiliki Qatar.

Di samping itu, perairan kawasan Laut China Selatan merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan banyak orang dari berbagai negeri yang terletak di sekitarnya.

Sengketa kepemilikan atau kedaulatan teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk pada kawasan laut dan daratan di dua gugusan Kepulauan Paracel dan Spratly. Dalam kedua gugusan kepulauan tersebut terdapat pulau yang tidak berpenghuni, atol, atau karang.

Wilayah yang menjadi ajang perebutan klaim kedaulatan wilayah ini terbentang ratusan mil dari Selatan hingga Timur di Provinsi Hainan. Republik Rakyat China (RRC) menyatakan klaim mereka berasal dari 2000 tahun lalu, saat kawasan Paracel dan Spratly telah menjadi bagian dari bangsa China. Menurut Pemerintah RRC, pada tahun 1947, Pemerintah RRC mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan.

Keterangan Pemerintah RRC itu dibantah Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut, dengan mengatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly sampai dasawarsa 1940.

Pemerintah Vietnam kemudian menyatakan bahwa dua kepulauan itu masuk wilayah mereka, bukan wilayah RRC, sejak abad ke -17, dan mereka memiliki dokumen sebagai bukti.

Filipina juga memiliki klaim kedaulatan yang sama, dengan mengangkat kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim terhadap sebagian wilayah kepulauan tersebut.

Juga, Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian kawasan di Laut China Selatan. Menurut kedua negara bertetangga dekat itu, perairan Laut China Selatan masih dalam kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, seperti yang ditetapkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.

Memang Brunei tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas dua kepulauan itu, sementara Malaysia, menyatakan bahwa sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah kepunyaan mereka.

Show of force dan manuver agresif dan provokatif, dan bahkan, konflik terbuka di kawasan Laut China Selatan telah terjadi berulang sejak dasawarsa 1970, selain telah berlangsung di masa lalu dalam sejarahnya.

Hal ini diperlihatkan dengan silih bergantinya kontrol atau penguasa di wilayah itu, yang berdampak pada perubahan nama kawasan perairan tersebut.

Bentrokan yang parah tercatat dalam tahun 1974, yang telah menewaskan tentara Vietnam. Pada tahun 1988 Angkatan Laut RRC dan Vietnam kembali terlibat konfrontasi di Spratly, dengan Vietnam kehilangan 70 personil militernya.

Angkatan Laut Filipina juga pernah terlibat dalam ketegangan kecil dengan angkatan laut RRC, Vietnam, dan Malaysia. Konflik antara Angkatan Laut Filipina dan RRC pernah terjadi di Dangkalan Karang Scarborough.

Begitu pula, antara Angkatan Laut Filipina dan Vietnam, yang sempat memanas setelah kapal dari kedua negara terlibat dalam provokasi yang saling memicu ketegangan.

Belakangan, Pemerintah RRC mengeluarkan pernyataan keras kepada negara-negara pengklaim kedaulatan atas Laut China Selatan untuk menghentikan kegiatan eksplorasi minyak dan mineral di kawasan perairan tersebut.

Sebaliknya, Filipina menuduh Angkatan Laut RRC tengah membangun kekuatan militer di Spratly. Sementara, menurut sumber Vietnam yang tidak dapat dipastikan, Angkatan Laut RRC telah sengaja melakukan sabotase atas dua kegiatan eksplorasi Vietnam di Laut China Selatan, yang kemudian menimbulkan protes massal anti-RRC terbesar di Hanoi dan ibukota Ho Chi Minh.

Pemerintah Vietnam pun tidak luput dari tudingan telah melakukan provokasi oleh RRC, karena telah mengadakan latihan militer dengan menggunakan peluru tajam di lepas pantai negaranya.
Klaim mutlak atas seluruh wilayah perairan Laut China Selatan, yang dilancarkan pemerintah China secara tiba-tiba pada tahun 2012, telah memunculkan kekuatiran negara pengklaim dan non-pengklaim di sekitarnya, serta negara luar kawasan atas masa depan kontrol, stabilitas, dan keamanan wilayah perairan di sana.

Kekhawatiran yang meningkat kemudian telah memicu eskalasi ketegangan, akibat muncul manuver-manuver militer dan upaya saling unjuk kekuatan angkatan bersenjata dan upaya provokasi dan intimidasi di perairan dan arena diplomasi. Selanjutnya diperlihatkan perilaku agresif dan beberapa upaya provokasi yang dilakukan angkatan laut RRC di wilayah perairan Laut China Selatan, yang sudah mereka klaim secara mutlak, terhadap angkatan laut dan nelayan asal Filipina dan Vietnam, atau sebaliknya. Aksi saling cegah dan usir dari kawasan perairan yang dipersengketakan itu terus meningkat belakangan, dan cenderung mengarah pada terciptanya konflik berskala rendah (low intensity conflict).

Tetapi, tetap terbuka kemungkinan munculnya konflik bersenjata terbuka secara luas dengan intensitas tinggi (high intensity conflict), jika resolusi konflik permanen gagal ditemukan, mengingat besarnya kepentingan baik negara yang mengklaim maupun tidak (claimant dan non-claimant states), serta
negara luar kawasan.

Sumber: navalpost.com/indiatimes.com

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved