Opini Pos Kupang
Tanggung Jawab Mengisi Kemerdekaan
Alinea pertama pembukaan Undang Undang Dasar 1945 mengatakan kemerdekaan adalah hak segala Bangsa
Menurut Marcus Mietzner, Peneliti Politik Indonesia dari Australia National University, masyarakat sipil adalah kelompok masyarakat yang terorganisir, relatif otonom dari lembaga lembaga negara. Mereka mengartikulasikan nilai-nilai dan membangun solidaritas dalam mencapai tujuannya.(ref.Kompas,5-3-2020).
Sudah 63 tahun para pemimpin pemerintahan silih berganti melaksanakan tanggung jawabnya mengisi kemerdekaan. Sudah selama itu pula tiga komponen lainnya berperan sesuai fungsi masing masing, berpartisipasi dalam pembangunan di segala bidang.
Namun apa hendak dikata, kemiskinan masih saja setia lengket dengan Propinsi Nelayan Tani dan Ternak ini. Entah apa gerangan yang menyebabkan kemiskinan demikian setia tinggal di daerah ini, padahal sudah begitu banyak dana, pikiran, tenaga,dan waktu dicurahkan untuk mengenyahkannya. Apakah karena "salah urus" atau "kurang lurus dan tulus"?
Kemiskinan juga yang menyebabkan Pemerintahan Viktor-Yos dalam Sidang Paripurna Istimewa DPRD NTT yang dihadiri Mendagri pada tanggal 10-9-2018, bertekad menabuh perang melawan penjajah baru ini.
Amunisi yang disiapkan untuk bertempur adalah lima misi yaitu pengembangan pariwisata, pembangunan kesejahteraan rakyat, infra struktur, reformasi birokrasi dan pengembangan SDM.
Pelaksanaan perang melawan kemiskinan, dimulai dengan meluncurkan program tanam jagung panen sapi (TJPS), budidaya ikan kerapu, pengembangan tambak garam, pelaksanaan festival pariwisata dan budaya, dan pembangunan jalan dan jembatan.
Sehubungan dengan program TJPS, rupanya Gubernur bercita cita mewujudkan ketahanan pangan, menjadikan NTT lumbung jagung Nasional dan membangun industri pakan ternak.
Sejak dilantik tahun 2018, Gubernur terus menekankan agar program tanaman pangan segera dilaksanakan, tetapi sayang, program TJPS baru terlaksana pada April 2020, entah apa gerangan alasannya. Dengan dana sebesar Rp 25 miliar diluncurkan program TJPS seluas 10.000 ha tersebar di 16 kabupaten.
Ada hal yang menarik yaitu ternyata TJPS, sudah berubah dan berkembang menjadi TJPH, tanam jagung panen hewan, karena dari 18.409 ton jagung yang dihasilkan ternyata petani bisa membeli 6374 ekor ayam, kambing1168 ekor, babi 1964 ekor dan sapi 628 ekor.
Tidak ada penjelasan apakah 6374 ekor ayam dimiliki berapa petani, dan apakah benar ada 1168 petani memiliki masing masing satu ekor kambing, 1964 petani memiliki masing masing satu ekor babi, dan 628 petani memiliki masing masing satu ekor sapi.
Sungguh hebat program TJPS hanya dalam waktu begitu singkat merubah petani, dari petani subsistem menjadi petani komersial. Biasanya merubah satu budaya atau kebiasan, membutuhkan waktu lama. Perlu penyesuaian, belajar dan terus belajar sambil dibimbing oleh orang yang lebih pandai, terampil dan berpengalaman.
Lompatan budaya yang disebabkan program TJPS ini, instan dan tentu menarik untuk diteliti oleh Perguruan Tinggi. Ada banyak hal yang patut dipertanyakan sehubungan dengan data hasil TJPS.
Pengecekan langsung oleh Anggota DPRD NTT, juga sangat dibutuhkan mengetahui keadaan sebenarnya. Demi terwujudnya cita cita gubernur sekaligus mengurangi kemiskinan, jangan sampai terjadi apa yang disebut orang "laporan indah kabar dari rupa" (*)
Baca Opini Pos Kupang Lainnya