Opini Pos Kupang
Dilema PPKM dan Resiliensi Masyarakat
Sudah beberapa pekan ini pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM)
Oleh : Rully Raki, Akademisi Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat (STPM) St. Ursula-Ende
POS-KUPANG.COM - Sudah beberapa pekan ini pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM). Kebijakan ini terus diperpanjang sejak pertama kali dibuat bulan Juli lalu.
Intensi di balik kebijakan itu ialah menekan laju peningkatan angka positif Covid-19. Lebih jauh lagi bisa membantu memperpanjang harapan hidup bangsa yang sedang gegana (gelisah, galau, merana) di tengah situasi sulit dan intaian maut akibat pandemi Covid ini.
Di tengah eksekusi kebijakan yang sudah hampir 4 pekan ini, muncul tanggapan pro dan kontra. Mereka yang pro kebijakan kebanyakan berpatok pada alasan kesehatan dan keselamatan manusia.
Sementara mereka yang kontra dengan kebijakan ini berargumen bahwa PPKM bisa secara perlahan mematikan sektor ekonomi dan usaha warga. Ini akan berdampak pada turunnya bugdet makan-minum dan kebutuhan rumah tangga.
Baca juga: Kota Kupang Kembali Perpanjang PPKM Level IV
Alasan ini muncul terutama dari mereka yang tidak punya pekerjaan tetap atau pekerja harian yang mengandalkan sumber nafkah dari aktivitas berdagang harian. Peristiwa pelemparan air panas pada petugas oleh pemilik warung di Medan pada pertengahan Juli lalu bisa jadi contoh penolakan frontal dan ekstrim atas kibjakan PPKM (kompas.com, 16 Juli 2021).
Dilema PPKM
Bercermin dari fakta di atas, penerapan PPKM mempunyai tujuan yang baik yakni mencegah penyebaran sekaligus mengendalikan laju pertambahan angka positif Covid 19 pada manusia.
Namun di sini lain, penerapan kebijakan itu secara tidak langsung menghambat para pekerja yang mengandalkan nafkahnya dari kerja harian. Atau di bidang pendidikan, kebijakan ini pun turut menghambat proses pendidikan, sebab tidak semua hal di sektor pendidikan bisa dibuat secara daring atau online.
Sampai titik ini, bukan hanya pemerintah, kita semua sebenarnya dihadapkan pada dilema. Entah taat aturan maupun tidak taat aturan PPKM, tetap ada risiko yang mesti ditanggung.
Baca juga: Krisdayanti Bicara Perpanjang PPKM Level 4, Istri Raul Lemos Soroti Ini, Mantan Istri Anang Dukung?
Jika tidak taat, maka risikonya terpapar Covid dan nyawa terancam. Mengikuti PPKM pun mepunyai risiko. Usaha tidak berjalan, tidak ada pendapatan, lalu bagaimana mau makan?
Ini lalu membuat program PPKM selalu tidak berjalan mulus. Di mana-mana sering muncul berita tentang masyarakat yang membandel atas program ini. Bahkan di tengah situasi seperti ini, masih saja ada pihak-pihak yang tetap menyelenggarakan hajatan tertentu. Banyak orang menunjukan sikap "kepala batu" atau tidak taat atas program ini.
Berbicara soal sikap "kepala batu" ini, seorang teman yang tinggal di Portugal mengatakan bahwa laju pertambahan angka positif Covid di Indonesia sulit terkontrol karena banyak orang Indonesia yang menunjukan sikap kepala batu ini. Di Eropa, kebijakan seperti PPKM cukup berhasil karena hampir semua orang paham dan mengikuti imbauan pemerintah.
Di satu sisi, pendapat ini ada benarnya. Namun, jika dibandingkan situasi Eropa, maka sulit bagi bangsa Indonesia. Apalagi masyarakat dengan aktivitas sosial seperti NTT ini.