Opini Pos Kupang

Apa Musuh Terbesar Sang Abdi Negara?

Pandemi Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Banyak nyawa telah melayang akibat ketidaktaatan dan ketidakpatuhan manusia

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Padahal justru merekalah yang menentukan arah, serta maju atau mundurnya sebuah institusi pemerintah. Akibatnya, tidak jarang terjadi konflik dan benturan kepentingan dalam suatu instansi pemerintah sebagai luapan rasa ketidak-puasan atas tindakan ketidak-adilan yang terjadi.

Perlakuan yang tidak adil tersebut nyaris juga terjadi di semua organisasi modern, termasuk di lingkungan birokrasi pemerintahan. Dalam wadah-wadah tersebut, tidak jarang kita dengar adanya virus dominasi, hegemoni dan determinasi secara beragam sesuai kepentingan organisasi.

Misalnya, dengan alasan 'tugas terbagai habis" maka kebanyakan birokrat pada level pimpinan tidak kebagian tugas, kecuali di bidang pengawasan dan tanggung jawab ke luar atau ke atasan yang lebih tinggi.

Ironisnya, dalam hal kesejahteraan, seorang pimpinan sudah pasti lebih banyak menikmati keberuntungan dari pada seorang bawahan.

Tradisi seperti inilah yang pada akhirnya mempengaruhi spiritualitas kerja bawahan, sekaligus menjadi motivasi negatif bagi pihak tertentu untuk berjuang dengan segala cara demi memperoleh jabatan, tanpa banyak berusaha untuk meningkatkan kualitas diri dan keteladanan yang bisa dianut oleh bawahan.

Banyak pejabat yang 'bertitel M.Si" yang tidak lain adalah akronim dari 'masih seperti itu." Artinya, mindset, mental dan cara-cara dia bekerja belum berubah.

Perubahan atau transformasi menurut pejabat itu hanyalah isu murahan yang sekadar didengungkan untuk menarik dan menyenangkan hati publik atau masyarakat.

Distorsi lain yang terjadi disebabkan oleh kebijakan promosi jabatan yang didasarkan atas hukum kedekatan serta hubungan geneologis. Praktik nepotisme dan koncoisme seperti ini menimbulkan kecemburuan di kalangan staf, terlebih jika ada pihak yang merasa lebih senior (terutama dari aspek masa kerja dan kepangkatan) dan jauh lebih cakap dari pada pejabat yang dipromosikan itu.

Dengan demikian, semangat kerja dari staf yang merasa dikorbankan cenderung menurun seiring dengan pengalaman perlakuan yang seman-mena dan tidak adil tersebut.

Di titik ini tentunya kita semua sependapat bahwa pemimpin ada untuk melayani bukan dilayani, mendorong pengikutinya untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya bukan menghambat potensi sumber daya aparatur yang potensial dengan gaya dan narasi yang bernada ancaman.

Stop cara-cara kerja yang manipulatif-fiktif, senang untuk dilayani dan lain sebagainya; agar performance sang ASN dan pejabat yang ada di daerah ini tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang dilayaninya.

Kita semua tentu berharap di masa kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A. Nae Soi, tidak ada lagi ASN atau pejabat yang dengan bangganya sambil tepuk dada dan berkata : "anjing menggonggong kafila tetap berlalu."

Kita semua membutuhkan dan mendambakan spiritualitas kerja ASN termasuk sang pejabat yang tulus dan ikhlas dalam melayani masyarakat. Konsisten antara apa yang dipikirkan, diucapkan dan dipraktikkan.

Kita tidak butuh ASN dan pejabat yang pagi bicara lain dan sore lain bicaranya. Karena integritas kita diukur dari kinerja, komitmen dan kosistensi dalam berpikir, bertutur, dan bersikap.

Jika tidak maka visi NTT Bangkit dalam mewujudkan masyarakat sejahtera hanyalah slogan indah yang menghiasi ruang-ruang hampa memori publik di ini daerah. (*)

Baca Opini Pos Kupang Lainnya

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved