Opini Pos Kupang

Solidaritas Moral: Upaya Merawat Kemanusiaan di Tengah Pandemi Covid-19

Barangkali sudah dianggap tua dan tak asing lagi, adagium "No man is an island" bagi kebanyakan masyarakat

Editor: Kanis Jehola
Dok Pos-Kupang.Com
Logo Pos Kupang 

Catatan lain dari solidaritas moral yang erat kaitannya dengan etika kepedulian tersebut, dalam pengejawantahannya haruslah melibatsertakan sebuah spirit kepekaan rasa, spirit untuk berbelas kasih.

Spirit yang tidak sekadar emosi cengeng dan melankolis semata, melainkan sebuah gerakan aktif yang mendesak orang untuk segera mengambil bagian, menanggapi keadaan "gawat darurat" orang lain.

Apa yang mendasari gebrakan solidaritas moral? Ada tiga pemikiran yang boleh ditilik dalam melihat titik tolak tindak solidaritas moral. Pertama, dari sisi pemikiran Imannuel Kant. Bahwasannya, alasan terdalam yang meniscayakan seseorang untuk bertindak baik dan merasa iba pada sesama adalah karena perintah akal, yang menghasilkan imperatif kategoris.

Imperatif kategoris ini tidak semata mendesak orang untuk melakukan yang baik, tetapi serentak mewajibkannya. Kebaikan yang timbul adalah sebuah kewajiban etis yang melekat di dalam akal seseorang, yang semakin diperkuat lagi dengan adanya desakan realitas sosial.

Kedua, dari pendapat Arthur Schopenhauer, bahwa yang mendesak seseorang untuk berbuat baik pertama-tama bukanlah kewajiban rasional yang sebagaimana dalam pandangan Kant.

Pendapat Schopenhauer, bahwa kehendak adalah elemen utama yang meniscayakan seluruh realitas bergerak, termasuk rasa peduli. Kehendak, baginya adalah semacam prinsip haikiki di dalam diri seseorang, yang membuatnya mampu peka terhadap kebahagiaan maupun penderitaan orang lain.

Ketiga, dari pemikiran Adam Smith. Menurut Smith yang meniscayakan orang untuk bertindak baik ialah suara hati, yang selain dalam tugasnya untuk menentukan kriteria baik-buruknya sebuah tindakan. Suara hati ini diperkuat dengan semacam perasaan alamiah tentang orang lain, yakni compassio atau simpati.

Butuh Akal dan Ketidakberpihakan

Di tengah kecamuk situasi pandemi, pengejawantahan gagasan solidaritas moral tersebut, mesti dibangun dalam tindak moralitas yang pertama, haruslah didukung akal yang baik; serta kedua menuntut pertimbangan tak berpihak dari setiap kepentingan individual (Rachels, 2004: 34-40).

Pertama, dari segi pertimbangan akal, tindak moralitas dalam perwujudan solidaritas moral, haruslah mampu melepaskan emosi, perasaan, dugaan-dugaan yang sifatnya irasional belaka.

Jika setiap orang mengandalkan perasaan, emosi, atau pun dugaannya dalam tindak moralitas: perwujudan solidaritas moral-nya; maka tentu akan menimbulkan sebuah kecenderungan yang sama kuat.

Setiap orang pasti merasa bahwa apa yang diperbuatnya adalah bagian dari moralitas, tindak solidaritas moral-nya.

Kasus-kasus kriminalitas, korupsi, atau pun problem stigmatisasi di tengah situasi pandemi, boleh jadi terjadi akibat pandangan moralitas yang melibatkan perasaan, dugaan-dugaan yang keliru.

Orang merasa bahwa apa yang diperbuatnya barangkali benar secara moral. Atau pun dalam konteks tindak solidaritas dapat dibenarkan secara moral, karena barangkali ia merasa apa yang diperbuatnya adalah bagian dari sikap solidernya untuk kenyamanan dan keselamatan kelompoknya.

Perwujudan solidaritas moral dalam konteks Covid-19 harus mampu didasarkan pada pertimbangan akal dan argumentasi-argumentasi yang baik. Dalam artian bahwa orang harus mampu menanggalkan emosi, perasaan, dugaan-dugaan-nya, dan membiarkan semuanya itu dibimbing akal budi yang baik.

Halaman 3 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved