Opini Pos Kupang
Dua Dekade PKB di Panggung Politik Nasional (Sebuah Refleksi pada HUT ke-23 PKB)
Dan di panggung itu pula PKB melibatkan diri sebagai elemen penting untuk ikut serta menggariskan masa depan bangsa
Tantangan yang dihadapi dalam negeri sebagai sebuah bangsa, juga tidak sederhana. Korupsi, penegakan hukum, radikalisme, terorisme, masih terus menjadi pekerjaan rumah.
Merujuk pada persoalan aktual sebagai konsekuensi perubahan global, dan juga persoalan kenegaraan yang berkaitan dengan mental-kultur kita sebagai bangsa, maka PKB sebagai parpol berada dalam dua tantangan yang harus dikelola : Pertama, tantangan digitalisasi demokrasi yang menuntut respons dan perubahan komunikasi politik. Kedua, tantangan ideologis berkaitan dengan nilai-nilai dasar sebagai sendi kehidupan bernegara.
Digitalisasi Demokrasi
Desakan masyarakat akan pentingnya UU mengenai Perlindungan Data Pribadi (PDP), UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), adalah sedikit fakta yang mengonfirmasi tentang perubahan sosial mendasar dalam kehidupan masyarakat.
Pada sisi lain, di hari-hari ini, kita hadapi riuhnya ruang publik oleh kritik tanpa data, bergesernya media mainstream yang konstruktif berhadapan dengan media sosial yang minim etika.
Penghujatan bertebaran dilandasi kebencian, penyerangan terhadap pribadi tanpa landasan etis, pembohongan publik, hoaks dan provokasi, adalah pertanda kuat bahwa digitalisasi kehidupan memasuki pula ruang politik dalam praktek berdemokrasi.
Digitalisasi meniscayakan Parpol perlu mendengarkan warga lebih seksama. Digitalisasi demokrasi, dengan demikian menjadikan setiap individu menjadi subyek politik.
Subyek menjadi elemen yang hegemonik bertransformasi dalam subyektivitas untuk menghakimi, menabrak etika dan menyesaki ruang publik. Ruang sosial menjadi arena penuh polusi informasi dan keresahan. Mengobral ancaman dan dendam. Semua kontroversi ini akan terus bertahan tanpa akhir.
Dalam kondisi sosial yang bergerak acak dan saling gesek demikian, senantiasa hadir partanyaan, di manakah peran parpol dalam edukasi dan literasi publik sehingga fungsi parpol sebagai kanal aspirasi tidak tergerus arus perubahan.
Refleksi kritis PKB terhadap situasi aktual yang termanifestasi dalam Garis-Garis Besar Program Perjuangan kita harapkan dapat menjadi jawaban.
Tantangan Ideologis
Kembali ke dimensi historis. Fusi partai politik yang dilakukan rezim Orde BaruTahun 1973, melahirkan ideologi nasionalis sekuler bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan nasionalis religius dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Walaupun parpol-parpol berbasis agama itu dikelompokkan dalam nasionalis-religius dengan ikatan ideologi Pancasila sebagai satu-satunya azas kepartaian, namun pluralisme dan inklusivitas tidak berkembang di sana.
Fusi partai dengan demikian lebih bermakna penggembosan untuk membesarkan Golkar sebagai boneka pemerintah. Ideologi nasionalis dan religius tumbuh dalam tafsir tunggal kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi parpol untuk merumuskan platform perjuangan lebih eksploratif dan otonom.
Kondisi ini menempatkan parpol hanya sebagai "gerombolan" peserta pemilu dan bukan kekuatan ideologi.