Idul Adha

BIkin Nangis,Contoh Materi Khutbah Idul Adha Menggetarkan Hati: Seberapa Besar Kita Sudah Berkurban?

BIkin nangis,contoh Materi Khutbah Idul Adha menggetarkan hati: Seberapa Besar Kita Sudah Berkurban?

Editor: Adiana Ahmad
POS-KUPANG.COM/LAUS MARKUS GOTI
Shalat Idul Adha di Lapangan Pancasila Kabupaten Ende, Jumat (31/7/2020). BIkin Nangis,Contoh Materi Khutbah Idul Adha Menggetarkan Hati: Seberapa Besar Kita Sudah Berkurban? 

Bagi Ibrahim, Ismail tentu adalah anugerah paling mahal. Lebih dari sekadar menghapus dugaan kemandulan istri beliau selama ini, melainkan sang putra adalah pribadi yang cerdas, sabar juga bijaksana. Ada masa depan gemilang dari dalam diri Ismail ‘alaihis salâm. Tapi, Nabi Ibrahim bukan seperti ayah-ayah kebanyakan. Kecintaannya kepada Allah subhânahu wata‘âlâ yang memuncak mengalahkan segalanya. Melalui musyawarah dan persetujuan (tanpa paksaan) putranya itu, Nabi Ibrahim melaksanakan perintah penyembelihan itu, meskipun pada akhirnya ritual itu batal ditunaikan atas kehendak Allah.

Larangan Allah terhadap penyembelihan darah manusia (Ismail) oleh Nabi Ibrahim membuktikan bahwa perintah yang didapat dari mimpin tersebut sebatas ujian dan bahwa ritual pengorbanan nyawa manusia—sebagaimana tradisi biadab sejumlah kaum terhadulu—adalah hal yang dikecam keras. Nabi Ibrahim lulus dari ujian super berat, dan objek penyembelihan pun digantikan dengan domba yang besar.

Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,

Ada pesan menarik dalam kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya ini. Cerita tersebut menunjukkan bahwa tak ada harta paling sejati dan paling mahal dibanding ketundukan secara total kepada Allah subhâahu wata‘âlâ. Nabi Ibrahim mampu meruntuhkan seluruh cara pandang hidup yang mengatakan kekayaan duniawi, termasuk anak, adalah hal yang paling utama. Dalam Al-Qur’an sendiri dikatakan:

 
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ

 
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu): di sisi Allah-lah pahala yang besar.” (QS at-Taghabun: 15)

Kurban berasal dari bahasa Arab qurbân yang artinya “pendekatan diri”. Maksudnya adalah mendekatkan diri kepada Allah. Dalam ajaran formal Islam, kurban dilaksanakan tiap tahun dengan menyembelih sejumlah hewan ternak tertentu. Oleh karenanya, kurban berhubungan erat dengan korban (pakai ‘o') dalam bahasa Indonesia. Sebab, seorang pelaksana kurban tengah mengorbankan sebagian hartanya berupa hewan ternak untuk dibagikan kepada sesama.

Nabi Ibrahim yang menjadi teladan dalam ritual tahunan tersebut mengajarkan bahwa seorang hamba janganlah tertipu daya dengan kekayaan yang sifatnya sesaat saja. Ada kehidupan yang lebih hakiki dan perlu diperjuangkan ketimbang kehidupan dunia yang fana. Karena itu, mengorbankan sebagian harta lillâhi ta‘âlâ tidak akan ada ruginya. Sikap semacam inilah yang ditunjukkan Nabi Ibrahim, yang juga diikuti putranya, Ismail, yang begitu patuh dan saleh. Dengan bahasa lain, pengorbanan adalah bentuk cara pandang manusia yang jauh ke depan menuju kehidupan bahagia di akhirat kelak secara abadi.

 
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَلَلدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

 
“Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah bermain-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS Al-An'am: 32)

Kita yang sering mengaku meneladani Nabi Ibrahim dengan berkurban, sudahkah sebanding dengan pengorbanan beliau? Sebandingkah dengan semangat pengorbanan Ismail yang masih bocah? Sebandingkah dengan semangat pengorbanan istri beliau, Siti Hajar?

Jamaah shalat Idul Adha hadâkumullâh,

Untuk membeli hewan kurban saja, kita kadang masih bersiasat untuk mendapatkan harga paling murah, jika perlu membelinya jauh pada bulan-bulan sebelumnya. Kita masih memilih uang paling kecil ketika kotak amal lewat di hadapan kita. Kita juga, misalnya, sering tak sudi berkorban sedikit tempat saat menaiki kendaaan umum, berkorban sedikit tenaga untuk membantu mereka yang membutuhkan. Di manakah semangat kurban yang mewujud dalam kehidupan sehari-hari?

Kadang pula, karena kita mendapat sedikit pengetahuan agama, kita tak mau berkorban mendengarkan pendapat kelompok lain. Karena dianugerahi sedikit kedudukan, kita ogah mendengarkan unek-unek dan aspirasi orang lain.

Berkurban adalah tentang melawan kecenderungan materialisme untuk senantiasa mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah, serta meraih kebahagiaan yang lebih hakiki. Semoga al-faqir dan jamaah sekalian dapat menghayati dan menerjemahkan pesan kurban dalam kehidupan sehari-hari secara maksimal. Wallahu a’lam bish-shawâb.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved