Sifon Dalam Budaya TTS: Ritual Menyembuhkan Luka Sunatan
Sunat tradisional di Kabupaten TTS merupakan salah satu tradisi yang diwariskan secara turun temurun
Jika luka sudah sembuh, akan dilakukan Sifon, yakni mencari perempuan untuk "membuang panas" dari proses tersebut.
Yermias mengatakan, sebelumnya, proses buang panas ini dilakukan sebelum luka benar-benar sembuh namun sekarang proses tersebut akan dilakukan ketika luka sudah sembuh.
Perempuan yang dijadikan Sifon ini adalah mereka yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pasien, bahkan lebih sering diambil dari luar desa tersebut.
Proses Sifon juga dilakukan minimal dua kali dengan perempuan yang berbeda dengan ketentuan sudah pernah melahirkan.
Sifon yang pertama kali biasanya ditargetkan perempuan yang sudah punya anak di atas dua orang dan yang kedua kali sudah memiliki satu anak.
Para wanita yang sudah biasa melakukan Sifon bahkan sudah bisa langsung mengetahui jika ada tamu yang datang dengan tujuan tersebut.
Setelah luka pasien sembuh, dengan sendirinya para pasien akan mencari perempuan dan dirayu dengan segala cara hingga bisa melakukan Sifon karena ada semacam desakan dalam diri untuk melakukan Sifon. Sejauh ini, tidak ada pasien yang tidak melakukan Sifon setelah sunat.
"Semua dapat (Sifon) karena mereka pasti akan cari (perempuan) dan rayu bagaimanapun caranya supaya dapat," jelasnya.
Warga yang pernah sunat tradisional, Marten Banfatin mengatakan, dia melakukan proses sunat ini sebelum menikah. Kini Marten sudah menikah dan empat anaknya sudah beranjak dewasa.
"Saya waktu dulu disunat oleh bapak ini juga (Yermias) dan prosesnya itu sifon saya dua kali," ungkap Marten.
Setelah itu, Marten meminta orangtuanya meminang kekasihnya yang menjadi istrinya saat ini. "Sekarang kalau pas datang ke sini, ada yang lagi sunat kita bantu," tuturnya.
Staf Dinas Kesehatan Kabupaten TTS, Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM), Stef R Tupen menjelaskan, dari aspek kesehatan, praktek Sifon adalah sesuatu yang sangat beresiko untuk penularan penyakit menular seksual dan juga menjadi jembatan untuk penularan HIV.
Praktek Sifon, kata Stef, dulunya, dilakukan pada saat luka bekas insisi masih berupa luka terbuka yang oleh pengetahuan awam masyarakat setempat, punya keyakinan bahwa luka tersebut akan cepat sembuh kalau dilakukan Sifon.
"Karena hasil jepitan dan juga alat yang dipakai itu tidak steril maka kecenderungan akan terjadi infeksi," jelasnya.
Setelah disunat, lanjut Stef, akan muncul infeksi yang dalam bahasa daerah disebut Kaulili. Kaulili dalam bahasa dawan berarti tomat. "Kaulili itu sebenarnya gambaran dari infeksi luka itu sendiri. Makanya diibaratkan seperti itu," ujarnya.