Opini Pos Kupang
Urgensi Manajemen Informasi Bencana
Badai seroja baru saja menghancurkan NTT pada tanggal 5 April 2021. Sebanyak 16 kabupaten/kota terkena dampak seroja
Oleh : Lasarus Jehamat, Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Badai seroja baru saja menghancurkan NTT pada tanggal 5 April 2021. Sebanyak 16 kabupaten/kota terkena dampak seroja. Sebanyak 181 jiwa meninggal dunia dan 45 orang dinyatakan hilang.
Banyak orang kehilangan tempat tinggal baik karena banjir bandang maupun karena tiupan angin kencang. Ratusan gedung dan kantor pemerintahan mengalami kerusakan ringan sampai berat.
Fasilitas umum sempat lumpuh. Jaringan listrik dan komunikasi babak belur. Menurut informasi beberapa orang, inilah bencana badai terbesar di NTT selama kurun waktu 70 tahun terakhir.
Bencana alam memang sulit ditolak tetapi dapat diprediksi. Dalam kasus Seroja baru-baru ini, Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah memberikan peringatan beberapa jam sebelum kejadian.
Baca juga: Memerangi Hoaks Bencana
Baca juga: Bella Shapira Bisa Pikat Hati Jenderal, Kecantikan Istri Agus Surya Bakti Disebut Mirip Nike Ardila
Empat lima hari sebelum Seroja datang, sebagian besar wilayah NTT memang diterpa hujan dan angin kencang. Awasan mewanti dari BMKG beberapa hari itu selalu diinformasikan ke publik. Kita perlu mengangkat topi untuk BMKG. BMKG telah melakukan tindakan yang sungguh tepat.
Tulisan ini tidak akan membahas ketepatan prediksi BMKG. Yang ingin disampaikan di sini ialah soal kemacetan informasi bencana. Dengan demikian, yang dibahas ialah dampak bencana yang dialami setiap warga dalam lingkup wilayah tertentu karena mandeknya suplai informasi dua arah; dari masyarakat ke otoritas terkait maupun dari otoritas terkait (otoritas pemerintahan) kepada masyarakat.
NTT, sebagai provinsi kelautan (provinsi yang lebih banyak laut daripada daratan), sulit nian rasanya memberikan informasi secara cepat jika manajemen informasinya gagap. Dalam logika yang sama, bisa dibayangkan bagaimana bencana di suatu wilayah tertentu sulit dipantau publik karena kemandekan informasi itu.
Baca juga: Undana Tetapkan Daya Tampung 6.520 Mahasiswa/Mahasiswi Baru Tahun 2021
Baca juga: Kecewa, Pemkab Kupang Bantu Warga Korban Seroja Dengan 1 Mie, 1 Butir Telur dan Beras 1,5 Kg
Kasus bencana Seroja dua minggu lalu membuktikan hal itu. Saat itu, di satu dua jam pertama pascabencana, orang hanya mendengar dan membaca berita dampak bencana terjadi di Flores Timur dan Lembata. Informasi dari daerah dan wilayah lain nihil. Orang kemudian beranggapan, daerah lainnya aman terkendali.
Lima sampai tujuh jam setelah bencana, muncul lagi informasi dari Malaka, Alor, dan Rote lalu diikuti informasi bencana di Sabu dan beberapa daerah lain di NTT. Secara fisik, Lembata dan Alor itu dekat, Kota Kupang dan Kabupaten Kupang itu sehalaman. Tetapi, soal informasi bencana Seroja, keempat daerah itu dikabarkan dalam waktu berlainan dan dengan rentang waktu yang cukup lama.
Maka, mudah dimengerti mengapa ada teman yang dari Alor, Rote, Sabu, dan Kabupaten Kupang melakukan protes di sebuah group whatsapp terkait misi kemanusiaan yang akan dilakukan terhadap korban bencana.
Sesungguhnya, semua itu terjadi bukan karena publik mengabaikan saudaranya di beberapa wilayah itu. Soal utama menurut saya karena manajemen informasi bencana kita amburadul.
Informasi Bencana
Selain manajemen data, salah satu hal penting yang perlu dipikirkan dan dikerjakan saat mendiskusikan bencana ialah manajemen informasi bencana. Mengapa demikian?
Pertama, berkaitan dengan waktu, agar bencana bisa diketahui publik dalam rentang waktu yang singkat. Kedua, agar setiap bencana yang khusus dan khas sifatnya bisa segera diambil langkah-langkah taktis untuk proses penyelesaiannya.
Terkait bencana dan penanganan bencana, Bellanger (2020) memberikan catatan kritis. Menurut Bellanger, otoritas terkait wajib memberikan batasan yang jelas dan terang tentang kesiapan-kesiagapan, evaluasi risiko, dan struktur sosial yang berdampak negatif terhadap efektivitas organisasi bencana.
Dalam Chaos Organization and Disaster Management, Bellanger menyebutkan dampak bencana sesungguhnya bisa diminimalisasi sejauh ada kesiapan semua elemen dalam masyarakat. Dengan kata lain, dampak bencana bisa ditekan jika organisasi bencana tidak hanya hadir di saat bencana tetapi di semua skala waktu. Hal ini terutama bagi wilayah-wilayah yang memiliki rekam jejak bencana sebagaimana telah dipetakan oleh lembaga formal dan nonformal.
Selain data, informasi bencana menjadi perhatian Bellanger. Sebab, tanpa ada menajemen bencana yang baik, semua data bencana menjadi sia-sia. Dua hal itu, data dan informasi bencana, merupakan prasyarat awal dan penting dalam setiap usaha penyelesaian dampak bencana.
Di titik yang lain, hubungan antara masyarakat yang terancam, respon operasional, dan kepentingan serta tindakan pejabat politik merupakan bagian penting dari apa yang disebut manajemen informasi bencana itu (McLean dan Ewart, 2020).
Menurut McLean dan Ewart jika terjadi bencana, otoritas terkait harus mengambil langkah politik bahkan yang paling tidak masuk akan sekalipun. Di sana, tugas otoritas politik ialah memastikan informasi penting terkait bencana yang dapat menyelamatkan jiwa orang-orang yang paling membutuhkannya.
Praksis ke depan
Kita tentu tidak ingin bencana Seroja muncul lagi di NTT dan di Indonesia. Kita semua tidak mau model distribusi informasi bencana dan dampak bencana macet seperti dua minggu lalu. Kita semua jelas tidak ingin mendengar teriakan saudara kita di Alor dan Malaka atau Rote dan Sabu karena dianggap tidak terkena dampak bencana.
Kita tidak mau lagi terlambat mendengar informasi bencana dari Baubau-Kupang Timur atau teriakan masyarakat Oesao yang terkena dampak bencana.
Manajemen informasi bencana jelas harus segera diperiksa. Manajemen informasi bencana harus dibangun. Dua cara yang bisa dilakukan yakni cara tradisional dan modern.
Secara tradisi, masyarakat lokal kita tentu memiliki banyak sekali kearifan lokal terkait antisipasi bencana dan pola penyebaran informasi bencana. Tugas kita semua ialah mencari, melacak, dan membuka diri untuk belajar tentang pengetahuan lokal yang diwariskan nenek moyang itu dengan sungguh dan jujur.
Olahan pengetahuan lokal itu perlu didokumentasi dan disosialisasikan kepada semua kita termasuk kita yang mengaku diri modern ini. Pengetahuan lokal itu perlu dijadikan sumber bersama dalam menghadapi bencana apa pun yang bakal datang.
Di ruang yang lebih modern, otoritas pengambil kebijakan perlu menghadirkan alat-alat teknologi sederhana tetapi efektif dalam menyampaikan informasi bencana. Alat-alat itu harus ditempatkan di semua tingkatan pemerintahan.
Manajemen informasi bencana harus pula diiringi dengan model dan pola mitigasi bencana yang mapan dan berkelanjutan. Saya membayangkan munculnya sebuah masyarakat yang sadar bencana dan hadirnya generasi antisipasi bencana di masyarakat kita. Semoga.(*)