Opini Pos Kupang

Radikalisme, Krisis Nalar Kritis?

Di tengah krusialnya penyebaran pandemi Covid-19, masyarakat terkejut dan terjerembab dalam dimensi ketakutan dengan aksi brutalis

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Radikalisme, Krisis Nalar Kritis?
DOK POS-KUPANG.COM
Logo Pos Kupang

Oleh : Oscar Widodo, Mahasiswa STFK Ledalero-Maumere

POS-KUPANG.COM - Di tengah krusialnya penyebaran pandemi Covid-19, masyarakat terkejut dan semakin terjerembab dalam dimensi ketakutan dengan aksi brutalis para penganut ideologi maut.

Hal ini berpijak pada insiden bom bunuh diri yang dilakukan oleh sepasang suami-istri di depan gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan beberapa hari yang lalu (Minggu, 28/02/2021).

Mirisnya, insiden ini terjadi ketika umat Katolik baru selesai mengikuti perayaan minggu paskah, hari dimana umat Katolik merayakan kebangkitan Kristus sebagai Sang Mesias. Setelah usut demi usut, akhirnya diketahui bahwa mereka yang terlibat dalam tindakan teroris ini adalah bagian dari anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) (Kompas, 30/03/2021).

Melihat realitas yang terjadi, dapat dikatakan bahwa penyelewengan nilai persatuan yang terjadi di Negara kita masih terus mengeksplorasi. Negara Indonesia yang dikenal dengan pluralitas dari berbagai sektor masih menampilkan wajah buram radikalisme.

Baca juga: 5 Keutamaan Memberi Makan Orang Berpuasa di Bulan Ramadan, Apa Saja? Cek Yuk

Baca juga: Peduli Korban Bencana Banjir, Kapolres dan Ketua Bhayangkari Cabang TTU Salurkan Bantuan

Manusia seakan kembali berkiblat dalam kehidupan beberapa abad silam dengan memakai jargon filsuf Thomas Hobbes, homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamannya) sebagai basis legitimasi untuk membasmi sesama yang lain.

Konsekuensi logisnya yakni antara ketakutan terkontaminasi pandemi Covid-19 dan tindakan radikal yang termanifestasi dalam diri para teroris dalam kehidupan masyarakat saat ini semakin terbuka lebar.

Selain itu, masyarakat yang mestinya diberi asupan vitamin kedamaian di tengah masifnya serangan pandemi Covid-19 akhirnya semakin terperosok dalam situasi ketidaknyamanan dan keterancaman.

Krisis Nalar Kritis?

Diskursus tentang intoleransi yang terealisasi dalam tindakan radikal pada dasarnya memiliki hubungan dengan fundamentalisme. Sebab, secara leksikal Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan bahwa fundamentalisme adalah sebuah paham yang cenderung memperjuangkan sesuatu secara radikal.

Baca juga: Spesial Ramadan dari Informa, Ekstra Diskon Hingga Rp1 Juta

Baca juga: Bank NTT Siap Salurkan Donasi Rp300 Juta dari PT Artajasa Pembayaran Elektronis

Jika dicermati dari penjelasan ini bahwasannya tindakan radikal sebetulnya adalah instrumen atau alat yang dijadikan oleh kaum fundamentalis sebagai ujung tombak dalam mencapai tujuan ideologi mereka.

Tentu dalam hal ini segala cara dapat dihalalkan, sekalipun itu bertentangan dengan asas kemanusiaan. Salah satu contoh faktualnya adalah peledakan bom bunuh diri di tempat ibadah agama tertentu. Alhasil aksi ini akhirnya melahirkan paradigma negatif atau saling memberikan prejudice buruk antar satu agama dengan agama lain.

Dalam buku yang berjudul, Agama Minus Nalar: Beriman di Era Post-Sekular, Peter Tan (2020;301) menjelaskan bahwa pertarungan antara animale (kebinatangan) dan rationale (nalar) dalam sejarah peradaban manusia, juga seringkali terjadi dalam kehidupan beragama di Indonesia hari-hari ini.

Sebagian orang-orang beragama mempertahankan rationale dalam benturan dengan perasaan religius yang mudah disulut menjadi api kebencian dan fanatisme.

Namun, sebagian lagi menyerah kepada kekuasaan animal dan perasaan religius yang sarat kemurkaan, sehingga yang tampak sepenuh-penuhnya bukan lagi homo sapiens melainkan homo brutalis.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved