4 Fakta Baru Serta Kronologi Lengkap Penyerangan Desa & Ancaman Pembunuhan Pendeta di Kupang NTT
4 Fakta Baru Serta Kronologi Lengkap Penyerangan Desa & Ancaman Pembunuhan Pendeta di Kupang NTT
POS-KUPANG.COM|KUPANG -- 4 Fakta Baru Serta Kronologi Lengkap Penyerangan Desa & Ancaman Pembunuhan Pendeta di Kupang NTT
Sekelompok massa menggunakan truk menyerbu Desa Taloetan, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, NTT pada Minggu 28 Maret 2021 siang.
Kejadian tersebut menyisakan trauma yang mendalam bagi korban.
Pemimpin Jemaat, Pendeta Gereja Gibeon Bone yang saat itu menggunakan toga, bahkan diancam untuk dibunuh.
Baca juga: Pemimpin Jemaat Diancam Dibunuh di Nekamese, 21 Rumah Warga Dibakar & Pelaku Belum Ditangkap Polisi
Baca juga: Laporan Pengaduan Pendeta yang Diancam Dibunuh di Nekamese Kabupaten Kupang Tak Diterima Polisi
Baca juga: Kesaksian Kades Taloetan Saat 21 Rumah Warga Dibakar : Ada Warga Saya Ikut dalam Penyerangan
Kepala Desa Taloetan, Yusak Bilaut mengatakan, kejadian tersebut berkaitan erat dengan eksekusi lahan yang dilaksanakan pada Jumat 26 Maret 2021.
Dalam eksekusi tersebut, 15 rumah digusur, meskipun dalam amar putusan Pengadilan Negeri Oelamasi, hanya 10 rumah yang digusur.
Korban yang tidak punya tempat tinggal memilih untuk tinggal di tenda pengungsian, yang lokasinya dekat dengan tanah sengketa, karena mengingat curah hujan yang cukup tinggi.
"Saat itu saya bersama teman Pendeta dari Jakarta melakukan kunjungan untuk memberikan bantuan sosial kepada saudara-saudari yang rumahnya digusur, akibat kalah perkara, tepatnya di RT 7, Dusun 2," jelas Yusak Bilaut kepada wartawan, Kamis 1 April 2021.
Setelah menyerahkan bantuan, Kades Taloetan dan Pendeta dari Jakarta melaksanakan doa bersama warga yang rumahnya digusur.
Selang beberapa saat kemudian, tiba-tiba mereka didatangi oleh sekelompok massa tak dikenal. Orang-orang tersebut datang dan bertemu dengan warga yang rumahnya digusur.
"Terjadilah adu mulut dan semakin panas, karena terjadi lemparan antara warga dan orang tak dikenal tersebut. Karena di situ lebih banyak anak-anak, dan orang tua, serta ibu-ibu, maka saya menganjurkan untuk kami menghindar ke hutan," ungkapnya.
Sekelompok massa tak dikenal tersebut kemudian terus menyerang dan menghancurkan sepeda motor milik warga yang berjumlah sekitar 10 unit.
Situasi saat itu semakin memanas, ditandai dengan bunyi tiang listrik dan lonceng gereja, disertai dengan teriakan, dan warga memilih lari menghindar ke dalam hutan.
"Saya melihat sekelompok massa menggunakan truk berwarna kuning mulai melaju ke sini. Ada bunyi-bunyian dan asap mengepul ke atas. Mereka mulai membakar dan terakhir mereka membakar rumah saya. Rumah saya dibakar, berarti saya salah satu orang yang terancam," kata Kades Taloetan.
Baca juga: Laporan Pengaduan Pendeta yang Diancam Dibunuh di Nekamese Kabupaten Kupang Tak Diterima Polisi
Baca juga: Kesaksian Kades Taloetan Kupang Saat 21 Rumah Warga Dibakar : Ada Warga Ikut dalam Penyerangan
Merasa dirinya terancam, Yusak bergegas untuk menghindar dan meminjam sepeda motor melarikan diri ke Kupang untuk berlindung bersama istri dan anaknya.
"Total rumah yang dibakar saat itu kurang lebih 15 unit. Sedangkan rumah yang dirusaki massa sekitar 6 unit. Selain itu ada hewan milik warga juga dibunuh dan dibiarkan mati begitu saja," ujarnya.
Ironisnya, kata dia, rumah yang dibakar pada tanggal 28 Maret 2021 adalah rumah yang lokasinya di luar lahan sengketa.
Sementara itu, Pendeta Gereja Gibeon Bone, Erna Rau Eda Fanggidae, S.Th mengaku ia diancam untuk dibunuh oleh sekelompok massa tak dikenal tersebut.
"Waktu itu saya sedang pimpin sidang majelis. Salah satu majelis saya datang dan menyampaikan bahwa Gereja akan diserang. Maka lonceng gereja terus dibunyikan," ujar Pdt. Erna Fanggidae.
Dia mengaku melihat mobil truk berwarna kuning yang melaju menuju arah Gereja Gibeon Bone, dengan memuat massa yang lengkap dengan busur dan anak panah.
Di antara puluhan massa, kata dia, ada satu warga desa setempat yang turut bersama kelompok perusuh itu.
"Saya suruh suami dan anak saya untuk segera lari. Kemudian saya tenangkan jemaat di Gereja dan saya kunci pintu. Saya lihat di antara massa itu ada warga jemaat saya," ucapnya.
Pdt. Erna kemudian mengajak jemaat untuk berdoa, namun dalam ketakutan karena mendengar bunyian dan teriakan massa. Usai berdoa, dia memberanikan diri keluar menggunakan toga dan berjalan menuju ke pertigaan.
Saat itu, ada dua orang yang memegang kelewang dan anak panah. Mereka melihatnya, namun Pdt. Erna tetap menguatkan diri.
Baca juga: Pemimpin Jemaat Diancam Dibunuh di Nekamese, 21 Rumah Warga Dibakar & Pelaku Belum Ditangkap Polisi
Sesaat kemudian, massa pembakar rumah yang menggunakan mobil truk kuning menghampiri dan mengancamnya.
"Mereka bilang begini, ini dia juga. Bakar dia sudah. Bunuh dia. Saya kuatkan diri dan jawab, saya sekarang lagi pakai toga, mari dan bunuh saya," ungkapnya.
"Mungkin karena saya pakai toga makanya saya tertolong. Kalau tidak mungkin saya sudah dibunuh," sambungnya.
Sementara itu, Guster Tafoki yang merupakan salah satu korban menyatakan rumah, kios, dan bengkelnya ikut dibakar.
"Uang saya sebanyak Rp40 Juta di dalam rumah dan tiga celengan juga hangus terbakar saat rumah saya dibakar," ungkapnya.
Ia menuturkan saat kejadian siang itu, ia sedang mengikuti sidang majelis di gereja. Tiba-tiba sekelompok massa menggunakan truk datang dan langsung membakar dan merusaki rumah warga tanpa sebab.
Sebelum membakar rumahnya, massa yang menut dia, preman bayaran itu menjarah kios miliknya. Puluhan ternak piaraan warga desa pun dibunuh.
"Mereka semua bawa senjata tajam dan bensin. Kita terpaksa berlari selamatkan diri. Rumah, kios, bengkel dan segala isi ludes terbakar," katanya.
Dia menambahkan, dari puluhan massa yang tak dikenalnya itu, ada enam warga desa setempat yang ikut dalam aksi pembakaran rumah itu.
"Orang-orang ini sebagai penunjuk jalan. Mereka yang perintahkan bakar rumah warga. Polisi seharusnya tangkap mereka. Semua warga melihat langsung keterlibatan mereka," tandasnya.
Terpisah, Kapolres Kupang, AKBP Aldinan R.J.H Manulang, yang dikonfirmasi wartawan, Jumat 2 April2021 mengatakan, kasus tersebut masih diproses karena kedua belah pihak saling melaporkan.
"Masih berproses, kedua belah pihak saling melaporkan. Mohon dukungan untuk percepatan," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Amar Ola Keda)
Fakta-fakta MENCENGANGKAN Pertama:
Eksekusi lahan sengketa di Dusun II, Desa Taloetan, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), pada Jumat 26 Maret 2021 lalu berbuntut panjang.
Kepala Desa Taloetan, Yusak Bilaut mengatakan, perkara itu dimenangkan oleh Paulus Tabah selaku penggugat. Sementara Nahor Bana dkk, sebagai tergugat dinyatakan kalah oleh majelis hakim pengadilan negeri Oelamasi.
Berdasarkan putusan majelis hakim, eksekusi pun dilakukan pada Jumat 26 Maret 2021. 10 rumah warga yang menjadi tergugat digusur. Namun anehnya, kata dia, lima rumah yang di luar objek yang disengketakan juga turut digusur.
"Amar putusan yang dibacakan panitera waktu eksekusi, 10 rumah yang digusur, bukan 15," ujarnya kepada wartawan saat menggelar konferensi pers, Kamis 1 April 2021.
Meski demikian, warga tak melakukan perlawanan apapun saat eksekusi. Warga yang tergusur pun memilih membangun tenda darurat di luar objek sengketa itu.
Sebagai pemimpin di desa itu, pada Minggu 28 Maret 2021, ia bersama seorang pendeta dari Jakarta mengunjungi dan membawa bantuan bagi warga yang rumahnya digusur.
Setelah menmberi bantuan, mereka pun berdoa bersama. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah sekelompok massa yang membawa senjata tajam melakukan penyerangan di lokasi itu. Beberapa kendaraan warga termasuk pendeta pun dirusaki dan dibakar massa.
"Kerusuhan pun tidak dapat dielakan. Kami akhirnya lari ke hutan di belakang rumah darurat yang dibangun warga. Sementara sekelompok pemuda tidak dikenal itu makin beringas," katanya.
Selang beberapa saat kades dan beberapa orang bersamanya keluar dari persembunyian dan mengambil sepeda motor yang sudah rusak kemudian dititipkan di rumah warga terdekat.
Ia kemudian kembali ke rumah melihat istri anaknya. Tidak lama berselang, ada sebuah mobil warna kuning membawa sekelompok pemuda tak dikenal dengan membawa busur, panah dan sejata tajam lainnya menuju rumahnya.
Melihat itu, ia mengajak istri anaknya masuk ke hutan menyelamatkan diri. Dari tempat persembunyian itu, ia melihat asal mengepul. Massa yang diduga preman bayaran itu membakar ludes rumahnya.
"Beruntung saya bersama keluarga segera lari ke hutan, jika tidak kami pasti dibunuh," tandasnya.
Menurut Yusak, pihaknya tidak bisa melakukan perlawanan karena saat itu, massa itu dilengkapi dengan senjata tajam. Ia juga mengaku ada beberapa warga setempat ikut bersama massa dalam penyerangan itu.
"Tidak tahu apa kesalahan saya, saya bukan penggugat, juga bukan tergugat, tugas saya hanya melayani warga yang oleh mereka saya mendapat jabatan ini. Saya tidak pernah dididik untuk membalas jahat dengan jahat," ujar Yusak menitikan air mata.
Yusak menyayangkan pemberitaan di beberapa media yang menyebutkan bahwa dia yang memimpin massa untuk melakukan pembakaran rumah warga.
"Saya tegaskan bahwa pemberitaan itu tidak benar. Apakah logis saya pimpin orang untuk bakar rumah saya? Saya bahkan tidak bisa keluar dari persembunyian sampai malam dan saya langsung menuju Kupang selamatkan diri," tegasnya.
Menurut dia, 21 rumah warga yang dibakar ini jauh dari objek sengketa.
"Ini benar-benar tidakan kriminal. Saat eksekusi lahan, semua berjalan lancar dibawa pengawalan polisi. Kenapa tiba-tiba ada penyerangan? Siapa otak di balik kasus ini? Polisi harus tegas," katanya.
Dia menjelaskan, aksi tidak berperikemanusiaan itu mengakibatkan 14 rumah hangus terbakar, 7 rumah rusak berat dan belasan ternak warga dibunuh para pelaku.
Dia berharap polisi bertindak profesional dalam menangani kasus pengrusakan dan pembakaran rumah warga.
Fakta-fakta Mencengangkan kedua:
Tragedi pembakaran rumah warga desa Taloetan, Kecamatan Nekamese, Kabupaten Kupang, NTT oleh sekelompok massa meninggalkan trauma mendalam bagi warga juga Pendeta gereja GMIT Gibeon Bone, Pdt. Erna Ratu Eda Fanggidae, S.Th.
Selain 21 rumah warga dibakar massa, sejumlah ternak piaraan warga pun dibunuh. Bahkan, pendeta perempuan ini diancam dan nyaris dihabisi.
Pdt. Erna Ratu Eda Fanggidae, S.Th menuturkan kejadian tersebut terjadi saat ia sedang memimpin rapat.
"Kami lagi rapat di gereja, tiba-tiba seorang jemaat memberi kabar bahwa ada orang bakar rumah warga dan para pelaku menuju gereja, semua panik," ujarya kepada wartawan, Kamis 1 Aprik 2021.
Karena takut, Pendeta Erna kemudian meminta koster untuk membunyikan lonceng gereja agar warga membantu mereka di gereja. Pasalnya di gereja kebanyakan perempuan.
"Sebagai seorang perempuan saya juga tidak bisa berbuat apa-apa, saya hanya meminta semua yang ada di dalam gerja untuk tidak keluar," katanya.
Tak lama berselang, sebuah mobil warna kuning membawa sekelompok pemuda yang tidak dikenal melintas.
"Saya lihat dari jendela para pemuda itu membawa panah, golok dan senjata tajam lainnya. Beberapa orang yang bersama saya makin ketakutan. Saya mencoba menenangkan mereka. Di antara massa itu, ada juga warga disini, saya kenal karena mereka jemaat saya," tandasnya.
Suasana makin mencekam. Pendeta Erna kemudian mengambil toga dan mengenakannya, kemudian berlutut dan berdoa memohon perlindungan Tuhan.
"Selesai berdoa, saya keluar dan berjalan ke depan gereja. Saya lihat rumah - rumah sudah terbakar, asap hitam mengepul, saya menangis, dalam hati berkata Tuhan ampuni mereka," ungkap Pendeta Erna.
Tak lama kemudian, ada dua pelaku yang membawa kelewang (golok) menuju ke arahnya. Dia sempat ciut, namun demi menyelamatkan jemaatnya yang berada di dalam gereja, ia memberanikan diri.
Disaat bersamaan, mobil kuning yang mengangkut massa pembakar itu melaju dengan kencang ke arahnya. Mereka menghentikan mobil. Beberapa orang pelaku kemudian mengancam membakar dan membunuhnya.
"Ini dia juga, bakar dia, bunuh dia," teriak para pelaku. "Saya jawab, silahkan bunuh saya. Tapi mereka tidak lakukan. Mungkin karena saya memakai toga pendeta, kalau tidak saya pasti sudah dibunuh," katanya.
Ia mengatakan, pasca kejadian, ia mengaku trauma hingga beberapa tahapan ibadah pekan suci paskah, batal digelar.
"Ada polisi yang selalu jaga, tapi saya masih trauma," tandasnya.
Ia mengaku sudah membuat laporan ke Polres Kupang, namun laporannya tak diterima.
"Laporan saya tidak diterima, saya tidak tau alasannya apa," tutupnya.
Terpisah, Kapolres Kupang, AKBP Aldinan R.J.H Manulang, yang dikonfirmasi wartawan, Jumat 2 April 2021 mengatakan, kasus tersebut masih diproses karena kedua belah pihak saling melaporkan.
"Masih berproses, kedua belah pihak saling melaporkan. Mohon dukungan untuk percepatan," ujarnya. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Amar Ola Keda)