Menyambut Hari Raya Imlek: Melihat Kehidupan 'China Benteng' dari Kampung Tehyan
Menyambut Hari Raya Imlek: Melihat Kehidupan 'China Benteng' dari Kampung Tehyan
Menyambut Hari Raya Imlek: Melihat Kehidupan 'China Benteng' dari Kampung Tehyan
POS-KUPANG.COM - Kampung Tehyan di Desa Mekarsari dikenal sebagai Wisata Budaya Tionghoa Benteng. Di sana adalah satu di antara desa yang masih dihuni oleh keturunan 'China Benteng'.
Sejumlah warga tengah duduk di area Klenteng Hok Tek Tjen Sin. Lima orang perempuan paruh baya tengah guyub seraya berbincang. Suasana etnis Tionghoa di sana begitu terasa. Hampir keseluruhan warga di Kampung Tehyan merupakan keturunan etnis Tionghoa, terutama 'China Benteng'.
Di beberapa rumah terlihat jendela diberikan dua tanda silang. "Artinya kedua orang tuanya telah tiada," kata Franstans (48), warga asli Kampung Tehyan kepada Tribun Network.
• Theo Minta Pembagian Angpao Lewat Transfer Imlek 2021 Doa di Rumah Masing- masing
Rumah-rumah di sana terlihat sederhana. Bahkan masih ada bangunan rumah yang dibangun dari bambu dan papan. Berjalan kaki sekira 5 menit dari Kampung Tehyan, kita akan melihat Sungai Cisadane. Sejumlah warga memanfaatkannya untuk mandi di sana.
Suasana sore hari, terlihat beberapa warga, yang tengah membersihkan tempat-tempat dupa atau hio jelang perayaan Imlek. Lalu, kami dipertemukan dengan sesepuh di Kampung Tehyan, yakni Lim Oni (85), Lim Lin Yong (70), dan Lim Tiang Sionk atau Siba (76).
Ketiganya merupakan saudara kandung yang telah menetap sejak 1945. Tahun Indonesia telah merdeka dari penjajah. Saat ditemui, Lim tengah duduk di atas kursi tua. Berpakaian biru muda. Wajahnya telah banyak kerutan dengan rambut yang sudah dipenuhi uban.
• Penyidikan Kasus GOR Wolobobo Berlanjut, Kejari Ngada Tunggu Perhitungan Kerugian Negara
Lim Oni menceritakan bagaimana awal mula dirinya bisa tinggal di area tersebut. Menurut Lim, ayahnya adalah seorang petani. Bercocok tanam kacang-kacangan dan buah-buahan, juga ternak sapi. Namun, karena tengah terjadi penjajahan tempat tinggal mereka dibakar. Akhirnya melarikan diri, menyusuri Sungai Cisadane, yang kala itu tak terlalu dalam.
"Rumah saya dibakar penjajah. Saya digendong ayah, melewati Sungai Cisadane yang tidak terlalu dalam. Suara tembakan terdengar di mana-mana. Hingga akhirnya kita sampai di sini," cerita Lim, yang kala itu masih berusia 10 tahun.Menurut Lim, China Benteng adalah sebutan untuk etnis Tionghoa di kawasan Tangerang, khususnya yang berada di pesisir Sungai Cisadane.
"Dulu di sini rumah dibakar-bakarin. Ini masih kosong disuruh dibikin rumah, dikasih bambu-bambun, bikin rumah tempat kosong. Ada tuan tanah sekarang dipakai balai desa, dulu punya tuan tanah. Ini banyak bukan asli sini, rata-rata orang pelarian," tutur Lim.
Mereka yang tinggal di dekat benteng, menurut Lim, kebanyakan adalah warga peranakan yang melarikan diri karena terdampak penjajahan. Karena tinggalnya didekat Benteng, maka disebutlan 'China Benteng'."Di benteng itu banyak orang pelarian, makanya disebut China Benteng. China Benteng ya begini-begini saja," ucap Lim.
"Dulu belum ada lampu, gelap, tapi suasananya enakan dulu. Gembira waktu dulu mah, tidak ada listrik, tapi cahayanya dari terang bulan," sambungnya.
Adik tertua Lim, Siba menceritakan. Ketika masih kecil dirinya sempat digendong ayahnya melarikan diri dari penjajah, untuk sampai ke tempat tinggalnya saat ini. Bahkan sempat berada di antara baku tembak. Ketika sampai di dekat benteng pun, mereka harus berada di dalam kamp.
"Dulu kita ditembakin, jatuh ke Kali Cisadane, untung kalinya kering. Ditampung dekat benteng, setelah beberapa tahun kita merdeka. Kita baru dikasih tempat," ujar Siba.
Siba menuturkan kata benteng tersebut berasal dari bangunan benteng milik Belanda yang memang berdiri di sekitar bantaran sungai Cisadane. "Dulu Belanda kan masih banyak di sin," imbuhnya.