Begini Penjelasan Dr. Laurensius Sayrani Terkait Masalah Daerah Tertinggal di NTT

ternyata berbagai pilihan kebijakan termasuk regulasi, program, anggaran, mobilisasi birokrasi,  desain kinerja hingga dinamika politik justru

Penulis: Ray Rebon | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG/LAUS MARKUS GOTI
Pengamat Politik dan Kebijakan Politik dari FISIP Undana Kupang, Dr. Laurensius P. Sayrani, S.Sos., MPA 

Begini Penjelasan Dr. Laurensius Sayrani Terkait Masalah Daerah Tertinggal di NTT

POS-KUPANG.COM | KUPANG-- Pengamat Politik Undana Kupang, Dr. Laurensius Sayrani, MPA mempertanyakan, mengapa banyak daerah di NTT tertinggal,  minimal sebagaimana didefenisikan oleh Pemerintah Pusat melalui Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2020, terus menjadi pertanyaan hingga saat ini. 

"Di media ini, beberapa waktu yang lalu, saya mengajukan salah satu argumentasi tentang pemerintahan normal yang paradoksial untuk menjelaskan fenomena ketertingalan NTT," Kata Dosen Fisipol Undana ini kepada POS-KUPANG.COM, Jumat (04/12).

Dikatakan Laurensius, tesis pemerintahan normal paradoksial adalah suatu kondisi dimana dalam situasi krisis (ketertinggalan), ternyata berbagai pilihan kebijakan termasuk regulasi, program, anggaran, mobilisasi birokrasi,  desain kinerja hingga dinamika politik justru masih digerakan atau bekerja dalam logika normal. 

Dengan tidak melupakan kompleksitas social dan eknomi di NTT, diskusi ini bisa berlanjut dengan mengajukan dua komponen penting yang bekerja di Indonesia dan NTT pada khususnya yaitu demokrasi dan birokrasi.  Jika diringkas maka pertanyaanya adalah demokrasi dan birokrasi macam apakah yang berkembang di NTT, sehingga sebagai suatu system kerja, keduanya juga tidak kunjung mampu menyelesaikan persoalan ketertinggalan NTT? 

Secara ringkas, Laurensius menyebut hal yang menguatirkan tentang demokrasi, minimal pada aras procedural (pemilu dan pilkada) yang rutin digelar dengan biaya yang sangat besar, termasuk pada bulan desember ini, adalah praktek demokrasi yang tidak kunjung menghasilkan pemimpin politik dan kebijakan public yang handal dalam menyelesaikan persoalan ketertinggalan NTT. 

Meskipun bukan masalah khas NTT, Kata Laurensius, nampaknya demokrasi ini memang bermasalah dalam mengonsolidasi diri menjadi arena terbuka dan kritis yang memungkinkan terbentuknya alternatif kebijakan.

 "Semuanya bermuara pada praktek demokrasi yang berbasis  pragmatisme," bebernya

Dalam situasi ini, Laurensius menjelaskan, demokrasi terutama pilkada tidak menjadi arena yang memunculkan tawaran alternative  atas berbagai soal public dan ketertinggalan di NTT.  

"Praktek Politik kita kemudian kehilangan hasrat utamanya untuk mencari yang terbaik dalam semua kemungkinan baik itu actor maupun gagasannya," jelasnya

Menurut Dosen Fisipol Undana ini, Implikasinya adalah  kebijakan publik dihasilkan sebagai proses monopolistik bukan pluralitas yang kritis. 

"Minimal dalam 10 tahun terakhir nyaris kita tidak disungguhkan dengan formulasi kebijakan yang cerdas dalam semua level pemerintahan. Soal besar lainnya adalah birokrasi.  Dengan terang dapat ditunjukan bahwa birokrasi kita di NTT juga masih terjebak pada disfungsionalitas," ujarnya

Kapasitas institusional untuk memecahkan masalah publik secara cerdas, mengelola berbagai sumber daya secara efisien sekaligus berkeadilan, memberikan pelayanan yang profesional serta memberdayakan publik menjadi mandiri masih terus menjadi persoalan. Bersamaan dengan pratik maladministrasi dalam berbagai bentuk seperti, penyalanggunaan kekuasaan, pelayanan yang buruk nampak masih tetap hadir sebagai implikasi dari lambatnya proses institusionalisasi birokrasi moderen. 

Situasi ini sunguh menguatirkan jika dikaitkan dengan tantangan demokratisasi, persaingan global yang makin kuat dan  apalagi dalam situasi krisis pandemik seperti Covid-19 saat ini. Di tengah ancaman Covid-19, birokrasi tetap bekerja dalam standar normal bahkan tidak terkoordinasi dengan baik dan bahkan terfragmentasi berbasis otoritas.

Persoalannya adalah reformasi birokrasi di daerah ini tidak pernah dirumuskan dan dijalankan secara progresif. Hal yang kemudian nampak adalah pada level permukaan administrative, birokrasi seperti berubah yang nampak pada penataan struktur organisasi dan sirkulasi rutin pejabat birokrasi dalam jabatan, dan tindakan terbatas menyangkut disiplin dan sebagainya. 

Sumber: Pos Kupang
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved