Talkshow Pancasila FKUB Provinsi NTT

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 1)

Damai dan rukun adalah keadaan di mana saya terjamin, di mana saya tidak terancam oleh paksaan, pemerkosaan dan maut.

Editor: Agustinus Sape
POS-KUPANG.COM
Dr. Norbertus Jegalus 

Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan 

Oleh: Dr. Norbertus Jegalus

(Dosen tetap pada Fakultas Filsafat Agama Unika Widya Mandira Kupang) 

Materi yang dipresentasikan dalam acara “Talk Shaw Pancasila”, bersama anggota FKUB Provinsi NTT, utusan komunitas agama, serta tokoh masyarakat, yang diselenggarakan oleh FKUB Provinsi NTT, di Kupang, 24 November 2020.

Pendahuluan

Salah satu nilai sosial dasar hidup manusia adalah kedamaian, dalam bahasa perjumpaan agama-agama adalah kerukunan. Damai dan rukun adalah keadaan di mana saya terjamin, di mana saya tidak terancam oleh paksaan, pemerkosaan dan maut. Tidak adanya damai berarti kita hidup dengan tidak bebas, rasa takut, selalu waspada dan cemas akan gangguan dan kerusuhan. Semua itu mencekik kehidupan yang manusiawi.

Dan tantangan bagi kedamaian adalah konflik. Adanya konflik menunjukkan adanya perbedaan paham atau kepentingan yang saling meniadakan. Hanya ada dua kemungkinan untuk memecahkan konflik itu: dengan cara damai atau dengan cara paksa, seperti dalam bentuk perkelahian atau perang.

Akan tetapi pemecahan konflik dengan perkelahian adalah bentuk pemecahan konflik yang merendahkan manusia ke tingkat infrahuman dan agamalah institusi yang paling depan menolak pemecahan konflik dengan kekerasan karena bertentangan dengan ajaran agama. Namun anehnya justru agama sering tampil berkonflik bahkan sampai konflik berdarah.

Bertolak dari kenyataan itu negara yang berdasarkan Pancasila ini membangun dua proyek kemanusiaan tentang perjumpaan agama-agama, yakni proyek kerukunan beragama dan proyek moderasi beragama.

Istilah proyek di sini tidak berkaitan dengan dunia anggaran seperti APBD atau APBN. Istilah proyek di sini berarti rencana strategis demi kebaikan hidup bersama agama-agama di Indonesia.

Kedua proyek ini tujuannya untuk menjamin kerukunan beragama yang mencakupi tiga bidang: pertama, kerukunan antarumat beragama; kedua, kerukunan internal umat beragama; dan ketiga, kerukunan antara umat beragama dan pemerintah (negara).

Adapun fokus kita pada kesempatan ini bukan pada membahas persoalan-persoalan mengenai ketiga matra kerukunan ini, melainkan pada bagaimana mewujudkam trilogi kerukunan itu di negeri ini berdasarkan Pancasila.

Pancasila dan Agama-agama

Pancasila dan Pluralisme Religius

Persoalan kita sebagai bangsa yang majemuk adalah bagamaimana kita membentuk kesatuan bangsa tanpa menghilangkan identitas masing-masing komponen suku dan agama? Atau, dalam konteks kehidupan beragama, bagaimana kita membangun kerukunan hidup beragama di negeri ini, karena sebagai kaum beragama jelas kita berbeda?

Jawaban kita dari dahulu sampai sekarang dan juga ke depan adalah Pancasila. Pancasila adalah philosphische grondslag (dasar filosofis) bagi Negara yang majemuk agama dengan etika politiknya Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetap satu).

Prinsip Bhineka Tunggal Ika adalah suatu kebenaran filosofis yang dalam rumusan filsafatnya berbunyi, ex pluribus unum (kesatuan berasal dari banyak). Prinsip ex pluribus unum ini mengajarkan bahwa kesatuan berasal dari banyak, jadi kesatuan tidak pernah dan tidak akan pernah berasal dari satu, melainkan berasal dari banyak.

Kalau kesatuan berasal dari satu, maka prinsipnya harus berbunyi ex unitatis unum. Akan tetapi, prinsip ex unitatis unum ini hanya membuka pintu bagi pembentukan suatu masyarakat yang bersifat monolitis. Kita membuat masyarakat Indonesia monolitis, itu sama artinya, kita mematikan kemajemukan Indonesia. 

Karena itu, jawaban kita atas masalah kemajemukan agama-agama itu bukan monolitisme, melainkan pluralisme . Akan tetapi, faham pluralisme ini bukanlah suatu yang khas masyarakat modern. Dalam masyarakat tradisional juga sudah ada paham pluralisme suku dan agama. Perbedaannya terletak dalam prinsip yang melandasinya.

Dalam pluralisme tradisional, fakta pluralitas itu dijalankan berdasarkan pada prinsip ketidaksamaan, sedangkan dalam pluralisme modern, fakta kemajemukan itu dijalankan atas prinsip kesamaan. Dalam masyarakat tradisional, mereka yang berkebudayaan atau beragama lain dihargai dan mempunyai tempat di dalam masyarakat. Tetapi, mereka dihargai sebagai orang asing. Mereka dihargai karena tradisi mengajarkan bahwa orang asing harus dihormati dan dijamin hidupnya.

Karena itu, orang yang tidak beragama sama, tempat mereka terjamin di dalam masyarakat, tetapi terjamin sebagai orang asing. Itulah pluralisme tradisional yang berdasarkan pada asas ketidaksamaan.

Sedangkan pluralisme modern berdasarkan pada asas kesamaan. Tuntutan kesamaan itulah yang menjadikan pluralisme modern berdasarkan Pancasila tetap bermasalah. Karena masih ada komunitas agama yang merasa tidak enak kalau semua agama yang hidup di Indonesia diperlakukan secara sama.

Atau, dalam konteks wilayah, misalnya di Nusa Tenggara Timur ini, masih ada komunitas agama atau kaum agama yang merasa tidak enak dan tidak nyaman kalau semua agama di bumi NTT ini diperlakukan sama.

Kemudian sejak Reformasi kita mengembangkan faham pluralisme itu menuju faham multikulturalisme. Apa perbedaannya? Baik pluralisme maupun multikulturalisme mengakui keberbedaan dan keanekaragaman. Namun masyarakat plural dan masyarakat multikultural tidaklah sama.

Dalam masyarakat plural diakui bahwa tatanan masyarakat terbentuk dari berbagai unsur yang memiliki ciri-ciri budaya berbeda satu sama lain. Dalam masyarakat plural, masing-masing entitas relatif hidup dalam dunianya sendiri-sendiri; hubungan antarberbagai komponen masyarakat yang berbeda ditandai oleh corak hubungan yang dominatif dan selanjutnya juga diskriminatif, walaupun wujud dominasi dan diskriminasi itu sangat tersamar.

Sedangkan dalam multikulturalisme ada pengakuan akan perbedaan dalam kesederajatan, baik pada level individual maupun pada level kultural-komunal dan karena itu tidak ada peluang ke arah dominasi dan diskriminasi yang lahir dari adanya klaim superioritas suku atau agama.

Sejauh ini kita telah menjalankan dua macam pendekatan terhadap kemajemukan berdasarkan etika pluralisme itu, yakni asimilasi dan integrasi. Akan tetapi di dalam etika multikulturalisme kedua pendekatan itu sudah tidak memadai dan karena itu ditinggalkan.

Pertama, pendekatan asimilasi tidak memadai untuk menjawab masalah kemajemukan karena pendekatan ini bertolak dari kesadaran tentang yang asli yang dilawankan dengan yang asing. Yang asli harus dilindungi dari yang asing, karena yang asing itu dipandang sebagai pengancam yang asli.  Atas dasar itu, pendekatan ini menekankan bahwa yang asing itu harus membaur.

Kedua, pendekatan integrasi juga tidak memadai untuk menjawab kemajemukan kita, karena di dalam pendekatan ini tidak adanya konsepsi masyarakat majemuk yang partisipatoris dan emansipatoris. Karena dengan berintegrasi kita akhirnya harus meninggalkan apa yang khas dari identitas kita demi kesesuaian dengan apa yang berlaku umum dalam masyarakat.

Dari segi isi sebenarnya multikulturaslisme kurang lebih sama dengan pluralism modern. Perbedaannya terletak pada penekanannya, pluralisme modern menekankan prinsip kesamaan, sedangkan multikulturalisme lebih menekankan pengakuan sehingga disebut juga dengan nama politik pengakuan (politics of recognition).

Itu artinya, siapa pun yang beragama itu dan berapa pun jumlah mereka di dalam masyarakat, memiliki hak untuk menjalankan hidupnya menurut identitas religiusnya itu.

Pertanyaannya: apakah kaum agama di Indonesia sudah siap menjalankan pluralisme modern yang menekankan kesamaan dan multikulturalisme yang menekankan pengakuan terhadap siapa saja dengan segala keunikan identitasnya?

Nilai-nilai Pancasila dan Kerukunan

Untuk menjalankan pluralisme religius itu, tanpa merusak kehidupan yang rukun antarumat beragama, maka setiap kaum agama dituntut untuk tidak hanya menjadi seorang religius (sila pertama), melainkan juga harus menjadi agen kerukunan. Sebagai agen kerukunan ia harus memiliki keempat nilai sosial-religius berikut ini: kemanusiaan (sila kedua), kesatuan (sila ketiga), demokrasi (sila keempat), dan keadilan (sila kelima).

Seorang beragama adalah seorang humanis

Seorang agen kerukunan adalah seorang humanis. Kata humanis dipakai di sini dalam arti yang paling umum, yakni sebagai sikap menghormati setiap orang dalam keutuhannya sebagai manusia, dalam martabatnya sebagai makhluk yang bebas, yang berhak menentukan sendiri arah kehidupan serta keyakinannya.

Humanisme adalah keyakinan bahwa setiap orang harus dihormati sebagai persona, sebagai manusia dalam arti sepenuhnya, tidak tergantung dari komunitas agama apa pun. Humanisme berarti menghormati orang lain dalam identitasnya.

Dan karena setiap orang itu adalah dirinya sendiri, jadi unik, maka humanisme berarti menghargai keunikan orang lain. Keunikan itu bisa dalam hal keyakinan, cita-cita dan kebutuhan-kebutuhannya. Jadi humanisme adalah paham yang mengajarkan bahwa seseorang dihormati bukan karena status sosial-ekonomi-politis dan religius, melainkan melulu karena ia seorang manusia. Dengan alasan apa pun dan dalam situasi apa pun, kekejaman tak pernah dapat dibenarkan.

Inti sikap humanis adalah menolak untuk bertindak kejam, atas nama apa pun entah itu bangsa atau agama. Seorang humanis solider dengan orang-orang miskin, lemah dan tertindas dan ia menentang segala ketidakadilan.

Wawasan ini mencapai ungkapan yang paling fundamental dalam keterbukaan manusia terhadap Allah. Akan tetapi martabat manusia tidak ditentukan oleh kepercayaan. Semua orang entah beragama atau tidak beragama, memiliki martabat yang sama sebagai manusia. Kepercayaan kepada Allah tidak menjamin martabat manusia lebih tinggi daripada yang tidak percaya kepada Allah.

Sorang yang sungguh-sungguh beragama harus membuktikan kemurnian keyakinannya dalam sikap hormat terhadap keyakinan hati orang lain merupakan kesadaran yang pada hakekatnya sudah dapat kita temukan dalam ajaran inti masing-masing agama, yang pada tahun 1948 dirumuskan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Seorang beragama adalah seorang pluralis

Seorang agen kerukunan adalah seorang pluralis. Di sini nilai kesatuan kita sebut dengan nama pluralis karena kita menganut faham kesatuan dalam Pancasila, yaitu faham kesatuan menurut filsafat ex pluribus unum (bhineka tunggal ika).

Satu ada dua macam, yaitu unum in se (satu itu sendiri, contohnya, seorang indvidu) dan unum ordinis (satu susunan, contohnya, individu yang satu dan individu yang lain menyatukan dirinya menjadi suatu masyarakat). Karena itu, kesatuan sebagai suatu nilai etika sosial selalu yang dimaksud adalah unum ordinis. Itulah faham filsafat bahwa kesatuan sebagai nilai etika sosial tidak berasal dari satu, melainkan dari banyak (ex pluribus).

Karena itu, seorang religius adalah juga serang pluralis dan sejauh sebagai seorang pluralis, maka ia menghormati dan menghargai sesama manusianya dalam identitasnya. Sebagai seorang pluralis ia memiliki kesediaan untuk menerima kenyataan sosial bahwa dalam masyarakat ada cara hidup, budaya dan keyakinan agama yang berbeda.

Kita dapat bersikap pluralis karena kita mengakui bahwa mereka yang berbeda keyakinan agama dari kita mempunyai nilai-nilai yang sama dengan kita. Mereka pun sama dengan kita tahu apa yang baik dan apa yang buruk. Mereka pun merindukan kejujuran, keadilan, kebaikan hati serta bersedia memaafkan dan berbelas kasih.

Di zaman kita sekarang ini nilai-nilai yang luas diyakini dalam masyarakat adalah nilai hormat terhadap keutuhan setiap manusia, penolakan penggunaan kekerasan untuk menyelesaikan perbedaan pendapat, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berekspresi, solidaritas dengan kaum miskin dan tertindas, pluralitas ekspresi budaya, toleransi seluas-luasnya selama tidak ada orang terinjak, penolakan terhadap kekejaman dan ketidakadilan; kita tahu bahwa sengaja melukai, menyakiti, menghina orang lain adalah jahat; kita tahu bahwa orang lain wajib kita hormati sebagai manusia tanpa membedakan jenis kelamin, suku dan agama.

Seorang beragama adalah seorang demokrat

Seorang agen kerukunan adalah seorang demokrat. Demokrasi adalah paham politik yang berdasarkan keyakinan bahwa di luar persetujuan masyarakat tidak ada orang atau kelompok orang yang berhak untuk menentukan apa yang harus dilakukan oleh orang lain.

Setiap wewenang untuk memberikan perintah kepada yang lain harus berdasarkan atau sesuai dengan tatanan masyarakat yang disetujui oleh masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, inti demokrasi adalah paham yang mengajarkan atau menuntut kesamaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan warga negara.

Demokrasi dapat memperkaya kehidupan seorang individu karena memberinya lebih banyak kebebasan dan menjamin bahwa kebebasan yang diberikan kepadanya dapat dinikmatinya tanpa gangguan. Jaminan ini diberikan oleh hak-hak politik dan hak-hak sipil seorang individu. Dengan demikian seorang demokrat adalah seorang yang mendorong lahirnya proses yang lebih terbuka dalam masyarakat untuk mengadakan berbagai dialog yang terbuka dan jujur tentang kehidupan beragama.

Seorang demokrat juga membuka ruang bagi adanya diskusi, pertukaran pikiran, perdebatan yang kritis, kompetisi yang sehat dan bentuk-bentuk interaksi sosial-politik lainnya. Proses ini amat dibutuhkan untuk pembentukan konsensus dan terciptanya sistem nilai dalam suatu masyarakat.

Seorang beragama adalah seorang yang adil

Seorang agen kerukunan adalah seorang yang adil. Adil berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya. Karena semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan paling dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang sama. Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap semua orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan menghormati hak semua pihak yang bersangkutan.

Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat diperlihatkan mengapa ketidaksamaan itu dapat dibenarkan. Suatu perlakuan yang tidak sama selalu perlu dibenarkan secara khusus, sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus. Singkatnya, keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk tujuan yang baik sekalipun, dengan melanggar hak orang lain. (bersambung)

Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 2)

Baca juga: Nilai-nilai Pancasila dan Trilogi Kerukunan (Bagian 3)

NONTON JUGA VIDEO TALKSHOW PANCASILA BERIKUT INI:

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved