Dibalik Kasus Djoko Tjandra
TERUNGKAP di BAP! Ternyata Jenderal Napoleon Minta Uang Rp 7 Miliar Untuk Petinggi Kita, Oh Ya?
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menuturkan, informasi itu diperoleh dari keterangan tersangka lain.
Selain Napoleon, penyidik Bareskrim Polri turut melakukan pelimpahan tahap dua, berkas dan tersangka, atas dua tersangka lain dalam perkara yang sama.
Keduanya yaitu mantan Karo Korwas PPNS Polri Brigjen Pol Prasetijo Utomo dan pengusaha Tommy Sumardi.
“Tahap dua pelimpahan dari penyidik Mabes Polri ke penuntut umum Kejaksaan Agung,” kata Kajari Jakarta Selatan Anang Supriatna, seperti dilansir dari Antara.
Anang mengungkapkan, pihaknya akan menganalisa terlebih dahulu berita acara pemeriksaan (BAP) yang diserahkan sebelum jaksa penuntut umum (JPU) melimpahkan berkas tersebut ke pengadilan untuk mengadili ketiganya. JPU memiliki waktu 14 hari untuk meneliti berkas tersebut sebelum dilimpahkan.
Untuk saat ini, Napoleon dan Prasetijo ditahan di Rumah Tahanan Salemba cabang Mabes Polri. Sedangkan Tommy ditahan di Rutan Salemba cabang Kejari Jaksel.
Nantinya, ketiga tersangka akan menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DKI Jakarta bersama Djoko Tjandra, yang berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejari Jakarta Pusat.
Komitmen Polri
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono mengungkapkan, berkas perkara kasus penghapusan red notice Djoko Tjandra telah dinyatakan lengkap atau P21 oleh penyidik sejak 5 Oktober lalu.
Kapolri Jenderal Pol Idham Azis mengugkapkan, diselesaikannya kasus ini merupakan komitmen Polri untuk menuntaskan setiap perkara yang ditangani.
Ia menegaskan, pihaknya akan menindak siapa pun yang diduga melakukan pelanggaran hukum, sekalipun orang tersebut adalah pejabat.
“Transparan, tidak pandang bulu, semua yang terlibat kami sikat,” kata Idham dalam keterangan tertulis, Jumat, seperti dilansir dari Antara.
Dalam kasus pelarian Djoko Tjandra, selain mengusut adanya dugaan gratifikasi dalam penghapusan red notice, penyidik juga mengusut dugaan perkara lain terkait pembuatan surat jalan palsu.
Dalam kasus surat jalan palsu, ada tiga tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik yaitu Djoko Tjandra, Prasetijo dan pengacara Djoko Tjandra, Anita Dewi Kolopaking.
Nyanyian Napoleon
Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mengatakan, siapa pun pihak yang terlibat dalam kasus pelarian Djoko Tjandra harus diungkap.
Oleh karena itu, ia mendukung, bila nantinya Napoleon hendak ‘bernyanyi’ di pengadilan untuk mengungkap siapa saja pihak yang diduga menerima suap Djoko Tjandra untuk memuluskan langkahnya.
“Jadi saya kira, harus dibuka semuanya dan kita semua memang mengingingkan kasus ini terang benderang. Meskipun ada dugaan melibatkan polisi,” kata Wihadi, Sabtu (17/10/2020), seperti dilansir dari Tribunnews.com.
Meski begitu, ia meminta, agar Napoleon turut menyerahkan bukti jika memang ingin membongkar keterlibatan pihak lain. Sehingga, pernyataan yang nantinya hendak disampaikan tidak hanya sekedar fitnah.
“Saya kira dalam membongkar kasus ini tidak ada fitnah siapapun, sehingga masyarakat tahu siapa saja yang terlibat,” ucapnya.
Baru naik pangkat
Sebagaimana diketahui, Irjen Napoleon Bonaparte adalah salah satu dari 13 anggota yang mendapat kenaikan pangkat dari Brigadir Jenderal menjadi Inspektur Jenderal pada Februari 2020 lalu.
Sebelum menjadi Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, ia juga sempat menjabat sebagai Kabagkonvinter Set NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri.
Napoleon pernah berkarier di Polda Sumsel, yaitu sebagai Kapolres Ogan Komering Ulu dan Wadir Reskrim.
Selain itu, juga pernah menjabat sebagai Direktur Reskrim Polda DIY, Kasubdit III Dittipidum Bareskrim Polri, Kabagbinlat Korwas PPNS Bareskrim Polri, dan Kabag Bindik Dit Akademik Akpol.
Berikut rekam jejak Irjen Napoleon Bonaparte:
2006: Kapolres Ogan Komering Ulu Polda Sumatera Selatan
2008: Wakil Direktur Reskrim Polda Sumatera Selatan
2009: Direktur Reskrim Polda Daerah Istimewa Yogyakarta
2011: Kasubdit III Dittipidum Bareskrim Polri
2012: Kabagbinlat Korwas PPNS Bareskrim Polri
2015: Kabag Bindik Dit Akademik Akpol pada 2015
2016: Kabagkonvinter Set NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri
2017: Ses NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri
2020: Kadiv Hubinter Polri
2020: Analis Kebijakan Utama Itwasun Polri
Tidak Melaporkan Harta kekayaan
Berdasarkan penelusuran Kompas.com, sebagai salah satu petinggi kepolisian, Irjen Napoleon Bonaparte ternyata tak pernah melaporkan harta kekayaan ke KPK.
Padahal, sebagai salah satu petinggi kepolisian, Irjen Napoleon Bonaparte seharusnya berkewajiban melaporkan harta kekayaan ke KPK.
Kewajiban laporan harta kekayaan tertuang dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Sesuai aturan tersebut, yang wajib melaporkan LHKPN adalah:
Penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999; dan
Pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara atau pejabat publik lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagaimana diketahui, dalam kasus ini, ada empat tersangka yang ditetapkan oleh penyidik Bareskrim.
Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi berstatus sebagai tersangka dan diduga sebagai pemberi suap.
Sementara itu, Irjen Napoleon dan mantan Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo diduga menerima suap.
Tersangka Djoko Tjandra sekaligus merupakan terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Ia pun sedang menjalani tahap persidangan untuk kasus surat jalan palsu yang menjeratnya.
Prasetijo juga menjadi tersangka di kasus surat jalan palsu yang sudah masuk tahap persidangan.
Polri Sebut Keterangan Itu Bukan dari Irjen Napoleon Bonaparte
POLRI meluruskan soal sumber pernyataan Irjen Napoleon Bonaparte yang meminta uang Rp 7 miliar untuk “petinggi kita” dalam kasus dugaan korupsi terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menuturkan, informasi itu diperoleh penyidik dari keterangan tersangka lain.
“NB itu di-BAP tidak ada yang menyatakan uang untuk petinggi, tetapi keterangan tersangka lainnya iya ada,” kata Awi di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Rabu (4/11/2020).
Awi sebelumnya mengungkapkan bahwa pernyataan Napoleon yang meminta jatah itu tidak ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP).
Namun, dilansir dari Tribunnews.com, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Ali Mukartono mengatakan surat dakwaan disusun berdasarkan berkas perkara dari Polri selaku penyidik.
Awi menegaskan, selama diperiksa oleh penyidik, tidak ada pengakuan Napoleon perihal permintaan uang untuk petinggi.
“Di BAP tidak ada, karena sampai terakhir berkas dilimpahkan ke JPU, memang tidak ada di sana pengakuannya,” tutur dia.
Namun, menurutnya, Polri tidak mengejar pengakuan tersangka dalam melakukan penyidikan.
Awi mengungkapkan, penyidik mengumpulkan alat bukti serta membuat konstruksi hukum dalam kasus yang ditangani.
Ditanya lebih lanjut, Awi enggan membeberkan siapa tersangka yang mengungkapkan soal permintaan uang dari Napoleon untuk "petinggi kita".
Awi menuturkan, hal itu akan terbuka dalam proses persidangan.
Diberitakan, Irjen Napoleon Bonaparte disebut meminta uang dari Djoko Tjandra untuk pihak yang disebut sebagai "petinggi kita".
Dilansir dari Antara, hal itu tertuang dalam surat dakwaan yang dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
"Terdakwa Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut dengan mengatakan, 'Ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik, Ji, jadi 7, Ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri. Yang nempatin saya kan beliau', dan berkata 'Petinggi kita ini'," ucap jaksa penuntut umum Zulkipli saat sidang.
Uang itu diminta Napoleon sebagai imbalan untuk membantu Djoko Tjandra agar status buron kelas kakap itu terhapus dari daftar pencarian orang (DPO).
Dalam kasus ini, Napoleon didakwa menerima uang sebesar 200.000 dollar Singapura dan 270.000 dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 6,1 miliar.
Atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus status DPO Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.
Napoleon Sempat Tolak Uang Saat Dibagi Brigjen Prasetijo Utomo
Mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo didakwa menerima suap sebesar 150 ribu dolar AS, dari terpidana kasus korupsi hak tagih atau cessie Bank Bali, Djoko Tjandra.
Uang tersebut diduga diberikan kepada Prasetijo, untuk membantu upaya penghapusan nama Djoko Tjandra dalam daftar pencarian orang (DPO).
"Terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo menerima uang sejumlah USD150 ribu," ucap jaksa penuntut umum (JPU) saat membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11/2020).
Perbuatan Prasetijo, sebut jaksa, dilakukan bersama-sama mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri Irjen Napoleon Bonaparte.
Napoleon dituntut dalam berkas perkara terpisah, dengan dakwaan menerima suap dari Djoko Tjandra sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
Cerita berawal ketika Djoko Tjandra meminta bantuan rekannya yang bernama Tommy Sumardi, mengenai penghapusan red notice yang ada di Divhubinter Polri.
Sebab, Djoko Tjandra yang kala itu berstatus buron perkara pengalihan hak tagih Bank Bali, tengah berada di Malaysia dan ingin ke Indonesia, untuk mengurus upaya hukum peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Tommy Sumardi pun meminta bantuan Brigjen Prasetijo.
"Untuk mewujudkan keinginan Joko Soegiarto Tjandra, pada tanggal 9 April 2020, Tommy Sumardi mengirimkan pesan melalui WhatsApp."
"Berisi file surat dari Saudara Anna Boentaran, istri Joko Soegiarto Tjandra."
"Yang kemudian terdakwa Brigjen Prasetijo meneruskan file tersebut kepada Brigadir Fortes."
"Dan memerintahkan Brigadir Fortes untuk mengeditnya sesuai format permohonan penghapusan red notice yang ada di Divhubinter."
"Setelah selesai diedit, Brigadir Fortes mengirimkan kembali file tersebut untuk dikoreksi Brigjen Prasetijo."
"Yang selanjutnya file konsep surat tersebut dikirimkan oleh Brigjen Prasetijo kepada Tommy Sumardi," beber jaksa.
Brigjen Prasetijo kemudian mengenalkan Tommy Sumardi kepada Irjen Napoleon Bonaparte, yang kala itu menjabat Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Polri.
Dalam pertemuan itu, Napoleon mengatakan red notice Djoko Tjandra bisa dibuka asal disiapkan uang Rp 3 miliar.
"Dalam pertemuan tersebut terdakwa Irjen Napoleon menyampaikan bahwa 'red notice Joko Soegiarto Tjandra bisa dibuka, karena Lyon yang buka, bukan saya."
"Saya bisa buka, asal ada uangnya'. Kemudian Tommy Sumardi menanyakan berapa nominal uangnya, dan oleh Irjen Napoleon dijawab '3 lah ji (Rp 3 miliar)," ungkap jaksa.
Tommy Sumardi lalu melaporkan hal itu ke Djoko Tjandra, yang dibalas langsung dengan mengirimkan 100 ribu dolar AS.
Setelah itu, Tommy Sumardi mengantarkan uang itu ke Napoleon, ditemani Prasetijo.
"Setelah Tommy Sumardi menerima uang tunai sejumlah USD100 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra."
"Pada tanggal 27 Apri,l Tommy Sumardi bersama terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo menuju kantor Divhubinter untuk menemui dan menyerahkan uang kepada Irjen Napoleon Bonaparte."
"Saat di perjalanan, di dalam mobil terdakwa Brigjen Prasetijo Utomo melihat uang yang dibawa oleh Tommy Sumardi."
"Kemudian terdakwa mengatakan 'banyak banget ini ji buat beliau? Buat gue mana?'" ungkap jaksa.
"Dan saat itu uang dibelah dua oleh terdakwa, dengan mengatakan 'ini buat gw, nah ini buat beliau, sambil menunjukkan uang yang sudah dibagi 2'," sambungnya.
Alhasil, Tommy Sumardi hanya membawa 50 ribu dolar AS untuk Napoleon. Uang itu pada akhirnya ditolak Napoleon.
"Tommy Sumardi menyerahkan sisa uang yang ada sebanyak USD50 ribu, namun Irjen Napoleon Bonaparte tidak mau menerima uang dengan nominal tersebut."
"Dengan mengatakan 'ini apaan nih segini, enggak mau saya. Naik ji jadi 7 ji, soalnya kan buat depan juga, bukan buat saya sendiri."
"Yang nempatin saya kan beliau, dan berkata 'petinggi kita ini'."
"Selanjutnya sekira pukul 16.02 WIB, Tommy Sumardi dan Brigjen Prasetijo dengan membawa paper bag warna gelap, meninggalkan Gedung TNCC Mabes Polri," papar jaksa.
Namun jaksa tidak menyebutkan ke mana akhirnya 100 ribu dolar AS yang dibawa Tommy Sumardi, yang sempat dibagi dua oleh Brigjen Prasetijo itu.
Singkat cerita, Irjen Napoleon menerima 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS.
Urusan red notice Interpol Djoko Tjandra pada akhirnya selesai ditangani Irjen Napoleon.
Lalu masih pada Mei 2020, Brigjen Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi untuk meminta uang.
"Terdakwa Brigjen Prasetijo menghubungi Tommy Sumardi melalui sarana telepon dengan mengatakan 'Ji, sudah beres tuh, mana nih jatah gue punya' dan dijawab oleh Tommy, 'sudah, jangan bicara ditelepon, besok saja saya ke sana'," tutur jaksa.
Sesuai rencana, keesokan harinya Tommy datang menemui Prasetijo sambil membawa uang 50 ribu dolar AS, dan diserahkan Tommy ke Prasetijo di ruangan kerja Prasetijo.
"Sehingga total uang yang diserahkan oleh Tommy Sumardi kepada terdakwa Brigjen Prasetijo adalah sejumlah USD150 ribu," papar jaksa.
Data penghapusan red notice lantas digunakan oleh Djoko Tjandra untuk masuk wilayah Indonesia, dan mengajukan peninjauan kembali pada Juni 2020, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Setelah itu, kehebohan mengenai Djoko Tjandra pun terjadi, hingga akhirnya Djoko Tjandra ditangkap berkat kerja sama police to police antara Polri dan Polisi Diraja Malaysia (PDRM).
Djoko Tjandra ditangkap pada Kamis (30/7/2020), dan Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo turun langsung membawa Djoko Tjandra dari Malaysia.
Atas perbuatannya, Prasetijo didakwa melanggar Pasal 5 ayat 2 juncto Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b UU 31/1999.
Sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP dan/atau Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)
Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Irjen Napoleon Bonaparte Sempat Tolak Uang Suap Setelah Dibagi Dua oleh Brigjen Prasetijo Utomo, https://wartakota.tribunnews.com/2020/11/02/irjen-napoleon-bonaparte-sempat-tolak-uang-suap-setelah-dibagi-dua-oleh-brigjen-prasetijo-utomo?page=all
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Sambil Menunggu 'Nyanyian' Irjen Napoleon, Berikut Ada Sejumlah Fakta Menarik tentang sang Jenderal, https://www.tribunnews.com/nasional/2020/10/19/sambil-menunggu-nyanyian-irjen-napoleon-berikut-ada-sejumlah-fakta-menarik-tentang-sang-jenderal?page=all
Artikel ini telah tayang di bangkapos.com dengan judul Terkuak, Kuasa Hukum TS Sebut Pernyataan Irjen Napoleon Minta Uang untuk 'Petinggi Kita' dari BAP, https://bangka.tribunnews.com/2020/11/06/terkuak-kuasa-hukum-ts-sebut-pernyataan-irjen-napoleon-minta-uang-untuk-petinggi-kita-dari-bap?page=all