Rakyat Timor Leste kini Nyesal Pisah dari NKRI,Kekayaan Akan Habis:Kami Tidak Memiliki Apa-apa Lagi
Timor Leste semasa menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama Timor Timur dimanjakan oleh pemerintahan orde baru pimpinan Soeh
Rakyat Timor Leste kini Nyesal Pisah dari NKRI,Kekayaan Akan Habis:Kami Tidak Memiliki Apa-apa Lagi
POS KUPANG.COM -- Timor Leste semasa menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama Timor Timur dimanjakan oleh pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto
Ibarat anak bungsu, Timor Leste sangat dimanjakan oleh pemerintahan Jakarta dengan anggaran yang berlebih melebihi provinsi lain di Indonesia untuk mempercepat pembangunan di wilayah bekas jajahan portugal tersbut.
Namun, upaya itu tidak membuat para elit di Timor Leste untuk menetapkan hati bersama Indonesia. Mereka terus berjuang agar wilayah lepas dari Indonesia
Napsu dan kekuasaan telah membuat sekelompok elit terus berusaha agar medeka dengan harapan bisa lebih maju dan makmur
Baca juga: Nia Ramadhani Sering Bangun Siang Meski Tinggal Bareng Mertua, Begini Reaksi Ibu Mertua Pada Mantu
Baca juga: Dian Sastro Tiba-tiba Marah , Unggah Foto Luna Maya Geram Suaminya Pernah Pacaran dengan Eks Ariel
Baca juga: Isi Hati Ariel NOAH dan Luna Maya Dibongkar Denny Darko, Sama-sama Suka Tapi Jaim Nyatakan CInta
Namun kenyataan jauh dari harapan, negara ini justru terjebak dalam kelompok negara termiskin di dunia
Sebelum menjadi negara yang merdeka, Timor Leste dahulu adalah bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Namun Bumi Lorosae memutuskan untuk melepaskan diri dari NKRI dan berdiri menjadi sebuah negara yang merdeka.
Sejak itu, Timor Leste selalu menyimpan kabar menarik.
Salah satunya adalah kondisi ekonominya yang mengalami pasang surut, dan diyakini belum berkembang sejak ditinggalkan Indonesia.
Hingga kini sudah 18 tahun negara itu merdeka sejak referendum PBB tahun 2002.
Berdiri sebagai negara kecil, Timor Leste sebenarnya diberkahi dengan kekayaan alam luar biasa salah satunya adalah minyak bumi.
Namun, meski menyimpan minyak dalam jumlah besar, Timor Leste dikhawatirkan akan mengalami keruntuhan ekonomi.
Melansir News Hub, cadangan minyak bumi dan gas utama Timor Leste hampir habis dan pemerintah negara itu terus melakukan pemborosan.
Pemerintah Timor Leste memompa tabungannya dalam skema infrastruktur besar yang menurut para kritikus hal itu sangat boros.
Seorang wartawan dari New Zealand, yang bekerja sama dengan Asia New Zealand Foundation Caitin McGee, pernah melakukan penyelidikan ke Ibu Kota Dili, Timor Leste tahun 2017.
Dia menggambarkan negara itu memiliki pegunungan terjal yang melingkari garis pantai yang masih asli, Timor Leste adalah salah satu keindahan alam dunia yang tak dikenal.
Tetapi bagi orang-orang negara itu tinggal di daerah kumuh di sekitar ibu kota, membuatnya sama sekali tidak indah.
"Kami telah ditinggalkan oleh pemerintah. Bagi para veteran, mereka adalah pahlawan di masa lalu, tetapi sekarang mereka mengkhianati kami," kata pria Timor-Leste Fortunado D'Costa.
"Kami mendukung gerakan perlawanan tetapi mereka yang mendukung pemerintah Indonesia masih hidup dengan baik," katanya
"Hari ini kami memiliki kemerdekaan tetapi kami tidak memiliki apa-apa lagi. Hanya perdamaian dan stabilitas," imbuhnya.
Sekitar 42 persen orang Timor hidup dalam kemiskinan dan orang-orang yang mengais-ngais sampah adalah di antara yang paling putus asa.
Tahun itu menandai 15 tahun sejak Timor-Leste memperoleh kemerdekaannya setelah 25 tahun pendudukan Indonesia.
Sejak itu, para pemimpinnya telah menyatukan demokrasi yang stabil dan menyalurkan listrik ke desa-desa terpencil.
Mereka telah berjuang untuk mengurangi kemiskinan yang meluas di antara 1,1 juta orang Timor.
Perkara uang seharusnya bukanlah masalah utama di Timor Leste.
Pasalnya Bumi Lorosae telah diberkati dengan cadangan minyak dan gas.
Tapi sumber uang itu sekarang hampir habis dan pendapatan yang mereka hasilkan akan hilang dalam 10 tahun ke depan karena pemerintah memompa sebagian besar uang yang dihasilkan dari minyak bumi ke skema pembangunan besar.
Pemerintah telah menghabiskan sekitar 300 juta dollar AS (Rp4,4 triliun) untuk Proyek Tasi Mane proyek infrastruktur perminyakan di barat daya negara itu.
Selain Proyek Tasi Mane, pemerintah memompa ratusan juta untuk mengembangkan daerah kantong yang disebut Oecusse dan mengubahnya menjadi zona ekonomi khusus yang diharapkan dapat menarik investasi asing.
Sekali lagi, ini terbukti kontroversial karena rencana keuangannya tidak jelas.
Pemerintah mengatakan proyek-proyek besar ini diperlukan, dan uang kami tidak akan habis.
"Tetapi orang mengira uang akan habis dalam waktu 10 tahun, tapi ini hanya prediksi," kata politisi Timor-Leste Estanislau da Silva.
* Ditutupi Mati-matian
Hidup dalam konflik, kelaparan, hingga penyakit, disebut merupakan hal yang melatarbelakangi keinginan rakyat Timor Leste untuk lepas dari Indonesia dan menjadi negara merdeka.
Kondisi memprihatinkan itu disebut terjadi selama pendudukan Indonesia.
Seperti diketahui, Timor Leste menjadi bagian wilayah Indonesia setelah invasi tahun 1975, kemudian melepaskan diri tahun 1999. Ternyata pada tahun 1977, sebuah laporan nyaris 'mempercepat' lepasnya Timor Leste dari Indonesia.
Melansir artikel The Diplomat (7/3/2018), ditulis Peter Job, seorang profesor dan aktivis untuk Timor Leste, bahwa tahun 1977 terdapat sebuah laporan yang menguraikan pelanggaran berat hak asasi manusia di Timor Leste, disebut sebagai Laporan Dunn.
Baca juga: Australia Datang Bak Pahlawan Saat Timor Leste Merdeka, Awalnya Dukung Indonesia Gempur Timor Leste
Namun, diungkapkan Peter Job, laporan itu coba dikubur oleh negara tetangga Timor Leste, Australia.
Saat itu, di Australia, hubungan dengan Orde Baru Soeharto dianggap penting untuk agenda kebijakan luar negeri pemerintah Fraser.
Setelah penyatuan Vietnam dan jatuhnya Laos dan Kamboja ke dalam rezim Marxis pada tahun 1975, pemerintah Fraser memandang dukungan untuk rezim anti-komunis pro-Barat di wilayah tersebut sebagai hal yang vital.
Sasaran ini juga sangat didorong oleh Amerika Serikat.
Pemerintah Fraser juga melihat Indonesia sebagai pusat dari tujuannya untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara ASEAN dan dengan
kawasan Asia yang lebih luas.
Keinginan untuk merundingkan kesepakatan untuk memungkinkan eksploitasi sumber daya minyak Laut Timor juga memberikan dorongan lebih
lanjut untuk posisi tersebut.
Bantuan militer kepada Indonesia terus berlanjut setelah invasi, termasuk penyediaan pesawat Nomad, yang digunakan di Timor Timur (meskipun
ada jaminan sebaliknya oleh Duta Besar Indonesia).
Dalam konteks inilah James Dunn, mantan perwira intelijen militer dan diplomat yang pernah menjadi konsul di Timor Portugis pada awal 1960-
an, menerbitkan The Dunn Report on East Timor pada Februari 1977.
Laporan tersebut, berdasarkan wawancara yang dilakukan Dunn dengan pengungsi Timor-Leste.
Laporan rinci tentang pelanggaran hak asasi manusia yang parah, termasuk pembantaian, kekerasan seksual, kelaparan yang disengaja, dan
pelanggaran lainnya.
Dunn menyimpulkan bahwa klaim dari sumber-sumber Katolik tentang 100.000 kematian "dapat dipercaya" karena pembunuhan yang meluas di
pegunungan.
Sementara itu, pemerintah Fraser dan Departemen Luar Negeri (DFA) menyambut laporan itu dengan cemas.
Meskipun pada tahap itu pemerintah Fraser belum mengakui penggabungan Timor Lorosae ke dalam Indonesia, namun jelas Australia berada di jalan tersebut.
Reaksi domestik dan internasional terhadap isi Laporan Dunn merupakan ancaman terhadap hal itu, dan tujuannya untuk mendukung dan
melindungi rezim Suharto di arena internasional.
Oleh karena itu, pemerintah Fraser berusaha secara terbuka menyangkal realitas situasi di Timor Lorosa'e dan untuk menetralkan pekerjaan Dunn
dan aktivis lainnya.
Menanggapi pertanyaan di parlemen tentang laporan pada 16 Maret, Menteri Luar Negeri Andrew Peacock mengabaikan tuduhan yang sebenarnya.
Juga menekankan kurangnya status resmi laporan tersebut, dan memperingatkan agar tidak membiarkan masalah tersebut menciptakan
"kesalahpahaman" dengan Indonesia.
Pejabat DFA juga menunjukkan dukungan untuk rezim Suharto dan menolak kritik terhadapnya.
Meskipun laporan tersebut didasarkan pada kesaksian langsung dari saksi mata yang telah menyatakan kesediaan untuk berbicara kepada
pertanyaan internasional, namun notasi pada salinan laporan DFA oleh petugas kedutaan Jakarta Woolcott dan Hogue menggambarkannya sebagai "desas-desus."
Di antara sejumlah notasi dalam salinan laporan tersebut berbunyi: "Bagaimana Anda menjarah seorang gadis?" ditranskripsikan di sebelah kalimat yang melaporkan "banyak penjarahan dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis di Baucau."
Pada awal 1977, Dunn menyampaikan pesannya ke sejumlah negara Eropa, termasuk Prancis, Inggris, Swedia, Belanda, dan Portugal, serta ke Amerika Serikat.
Di setiap media, dia mendapat perhatian media dan diterima di tingkat tinggi, termasuk oleh pejabat senior kementerian luar negeri di Belanda, Prancis, dan Swedia, anggota parlemen terkait di Inggris, dan rekan mereka di Kongres Amerika Serikat.
Dengan Australia dipandang sebagai otoritas situasi Timor oleh sebagian besar komunitas internasional, pemerintah Fraser memilih menggunakan posisi ini untuk melobi rezim Suharto.
Ia menyampaikan misinya di negara-negara yang dikunjungi Dunn instruksi tentang bagaimana mendiskreditkan klaimnya.
Sebuah pesan ke kedutaan di Swedia, misalnya, mengarahkannya untuk menyampaikan keyakinan Australia bahwa “tidak ada informasi” untuk mendukung tuduhan pemerkosaan atau pelecehan terhadap warga sipil.
Juga bahwa skala kekejaman telah “sangat dibesar-besarkan”, angka kematian sangat dilebih-lebihkan, dan tuduhan Dunn hanyalah "desas-desus dan bukti bekas."
Sementara kepada Belanda yang parlemennya menyerukan penyelidikan internasional sebagai dampak laporan tersebut, Australia menanggapi bahwa "sangat sedikit yang akan dicapai" melalui sebuah penyelidikan.
Juga sekali lagi mengatakan bahwa temuan Dunn adalah "desas-desus."
Sementara di Amerika Serikat, Laporan Dunn bisa dibilang memiliki dampak yang paling signifikan, dengan Dunn diundang untuk berbicara di depan Komite Gedung Kongres untuk Hubungan Internasional.
Menjelang dengar pendapat, para pejabat AS dan Australia melihat minat yang sama untuk bekerja bersama-sama untuk meminimalkan dampak kesaksian Dunn.
Canberra ke Washington pun mengulangi bahwa tuduhan Dunn adalah "desas-desus" dan mengklaim bahwa "studi menyeluruh dari semua informasi yang tersedia untuk kita" telah gagal untuk menguatkan klaimnya.
Mengingat bahwa Australia belum secara substansial menyelidiki temuan Dunn, dasar dari anggapan ini tidak jelas.
Saat Dunn menerbitkan laporannya, krisis kemanusiaan di Timor Leste semakin cepat.
Pada tahun-tahun berikutnya pemboman, pemboman, penggundulan, penghancuran sumber daya pedesaan yang disengaja, dan relokasi paksa penduduk Timor ke kamp-kamp akan memicu kelaparan yang akan merenggut sebagian besar nyawa yang hilang selama pendudukan.
Meski begitu, dampak Laporan Dunn tetaplah cukup signifikan.
Hal itu menghidupkan kembali masalah di media dan parlemen Australia dan memberikan para aktivis alat berbasis bukti yang berharga karena semakin banyak bukti dari krisis kemanusiaan di Timor Leste yang muncul pada tahun-tahun berikutnya.(*)
Artikel ini telah tayang di Intisari Online dengan judul18 Tahun Lalu Mati-matian Berjuang Lepaskan Diri dari NKRI, Rakyat Timor Leste Sekarang Justru Menyesal Usai Negaranya Merdeka: Kami Memang Memiliki Kemerdekaan, Tapi Kami Tidak Memiliki Apa-apa Lagi https://sosok.grid.id/read/412387229/18-tahun-lalu-mati-matian-berjuang-lepaskan-diri-dari-nkri-rakyat-timor-leste-sekarang-justru-menyesal-usai-negaranya-merdeka-kami-memang-memiliki-kemerdekaan-tapi?page=all
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/kupang/foto/bank/originals/jejak-pendepat-timor-timur-timor-leste.jpg)