Berita Timor Leste
Dulu Timor Leste Paksa Merdeka,Kini Jadi SurgaKorupsi hinggaJadi Negara Miskin,Wartawan TakBerkutik
Perjuangan para elit bertahun-tahun menghasilan referendum yang menentukan tiga perempat warga Timor Leste ingin lepas dari Indonesia
Dulu Timor Leste Paksa Merdeka,Kini Jadi SurgaKorupsi hinggaJadi Negara Miskin,Wartawan TakBerkutik
POS KUPANG.COM -- Timor Leste menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 24 tahun sebelum berpisah pada tahun 1999
Perjuangan para elit bertahun-tahun menghasilan referendum yang menentukan tiga perempat warga Timor Leste ingin lepas dari Indonesia
Namun, setelah 21 tahun merdeka, negara ini semakin morat marit dengan angka kemisikinan yang tinggi karena pengangguran dan korupsi yang meraja lela
Korupsi di negara yang menempati urutan tingkat perekonomi 152 dari 162 negara atau menjadi salah satu negara termisikin di dunia ini tak lepas dari peran pers yang dikerdiilkan.
Pers tidak leluasa memerikan korupsi di negara ini, karena bisa ditangkap dan dikriminalisasi
Baca juga: Polisi ini Tahan Wanita Pengedara dan Gunakan Surat Tilang untuk Nyatakan Cinta, Tuai Pro dan Kontra
Baca juga: Sarita Abdul Mukti Langsung Ngamuk ke Faisal Harris,Anak Bungsunya Ketakutan SetelahBertemu Jennifer
Praktik korupsi adalah penyakit yang sering muncul di negara-negara dengan ekonomi berkembang.
Bahkan hampir dipastikan bahwa kasus korupsi dan suap menyuap, nyaris ditemukan di hampir seluruh dunia, tanpa terkecuali.

Sementara di Timor Leste, praktik korupsi menjadi sesuatu yang sulit untuk diungkap terutama oleh jurnalis karena hukum yang berlaku di negara itu.
Sementara itu, praktik Korupsi di negara itu juga nyaris sedikit diberitakan oleh beberapa media.
Namun, ada sebuah media dari Australia yang pernah sesekali membicarakan praktik korupsi di negara itu.
Melansir The Sydney Morning Herald, tahun 2009, Pemerintah Timor Leste pernah mengakui, bahwa pejabat yang korup di negara itu biasanya bekerja di bidang, pajak, bea cukai, dan pengadaan barang.
Tetapi mereka yang diruduh kerap kali mangkir dengan penolakan bahwa tidak ada korupsi di dalam kantornya.
Pada tahun yang sama Menteri Keuangan , Emilia Pires, menyalahkan partai oposisi Fretilin atas kasus korupsi di negaranya.
Dengan mengatakan bahwa Pemerintah diserang karena penolakan kami untuk mengambil bagian dalam praktik korupsi segelintir orang.
"Tidak ada korupsi di kantor saya kecuali yang didirikan oleh pemerintahan sebelumnya (Fretilin) dan itu dibasmi dengan lambat, itulah mengapa Kementerian Keuangan sekarang menjadi sasaran serangan yang tidak beralasan ini," kata Pires.
Selama berminggu-minggu Fretilin, partai politik terbesar, yang kehilangan kekuasaan pada tahun 2007.
Menuduh korupsi yang meningkat di departemen-departemen pemerintah di Dili, khususnya Departemen Keuangan.
Partai itu membocorkan dokumen kepada wartawan Timor yang mengungkapkan bahwa penasihat asing di Timor Leste, beberapa dari mereka orang Australia, dibayar lebih tinggi daripada Perdana Menteri Australia.
Fretilin kemudian meminta Jaksa Agung, Ana Pessoa, untuk menyelidiki klaim balas dendam terhadap penasihat Australia di Kementerian Keuangan, Graham Daniel, atas bayarannya.
Pires merilis dokumen di Dili yang menunjukkan bahwa ketika Fretilin berkuasa, ia memberikan gaji kepada penasihat asing sebesar 568.000 dollar AS.
Beberapa kontrak dibayar dari anggaran negara Fretilin sementara sebagian besar penasihat asing yang ada di Dili saat ini terikat kontrak Bank Dunia.
Pengusaha Australia mengeluh tentang pemberian kontrak. Pemerintah memberikan kontrak senilai 400 juta dollar AS kepada perusahaan milik Pemerintah China untuk membangun dua pembangkit listrik tanpa meminta tender terbuka.
Sementara itu Amnesty Internasional, mengatakan bahwa hukum di Timor Leste memudahkan pelaku korupsi untuk menyerang balik jurnalis yang menuduhnya.
Tahun 2013 misalnya, dua jurnalis Timor Leste yang berusaha mengungkap praktik korupsi justru dituduh melakukan pengaduan fitnah.
Oscar Maria Salsinha dari surat kabar Suara Timor Lorosa'e dan Raimundo Oki dari surat kabar Independente.
Kedua wartawan tersebut dituduh melakukan "pengaduan fitnah", yang diancam hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda.
Dakwaan tersebut bersumber dari pasal terpisah yang ditulis Salsinha dan Oki pada 31 Desember 2011 dan 2 Januari 2012.

Keduanya terkait dugaan keterlibatan Jaksa Penuntut Umum dalam menerima suap dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada 18 Oktober 2011.
"Kedua jurnalis ini tidak melakukan apa-apa selain pekerjaan mereka dan menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dengan melaporkan kemungkinan korupsi dalam sistem peradilan," kata Isabelle Arradon, Wakil Direktur Asia-Pasifik Amnesty International.
"Jika mereka terbukti bersalah, itu bisa menjadi preseden berbahaya bagi jurnalis dan pembela hak asasi manusia di Timor-Leste, di mana sistem hukum dapat digunakan untuk membungkam suara-suara kritis," katanya.
"Ini juga akan mengirimkan sinyal mengerikan tentang masalah kebebasan berekspresi dan media yang lebih luas di negara ini," tambahnya.
"Meskipun setiap orang berhak atas perlindungan dari serangan yang melanggar hukum atas reputasi mereka, ini seharusnya menjadi masalah litigasi perdata, bukan hukum pidana."
Kedua jurnalis itu didakwa melanggar Pasal 285 KUHP Timor Leste yang mengkriminalkan "pengaduan fitnah."
Ketentuan hukum tersebut tidak sesuai dengan penghormatan penuh dan perlindungan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Timor Leste pada 2003, serta konstitusi Timor Leste.
* Kini Dunia Cemaskan Timor Leste, Tiap Tahun Ratusan Ton Limbah Berbahaya Dibuang Dekat Kota Dili
Setelah jatuh ke tangan Indonesia tahun 1975, setelah lepas pula dari penjajah Portugis, rakyat Timor Leste sesungguhnya masih menginginkan kemerdekaan.
Hal itu yang melatarbelakangi spirit perjuangan rakyat Timor Leste untuk meraih kemerdekaan.
Selain itu pula, kuatnya semangat untuk merdeka sesungguhnya didorong oleh kondisi masyarakat yang penuh konflik, masalah kelaparan dan penyakit yang terus mewabah.
Dari pelbagai literatur mengungkapkan bahwa lebih dari 200.000 orang tewas akibat pertempuran, kelaparan dan penyakit selama invasi dan pendudukan Indonesia sejak tahun 1975 silam.
Buah dari perlawanan yang terus menerus terjadi yaitu digelarnya referendum yang didukung PBB.
Kemudian Timor Leste lepas dari Indonesia sebagai hasil referendum 1999 yang menunjukkan mayoritas warga Timor Leste menginginkan kemerdekaan.
Namun, hingga beberapa dekade setelah kemerdekaannya, masih tampak gambaran anak-anak Timor Leste kekurangan gizi.
Disintegrasi hukum dan ketertiban, serta tidak adanya layanan sosial pun masih terjadi.
Salah satunya tampak melalui kondisi sebuah TPA di Timor Leste, yaitu TPA Tibar dekat ibu kota, yang masih memprihatinkan dan tidak banyak berubah.
Melansir Aljazeera (19/11/2017), para pemulung berusia sekitar 8 tahun masih mencari nafkah dalam kondisi tak terbayangkan di TPA Tibar.
Gambaran seperti itulah yang pada tahun 1999, memicu kemarahan publik yang meluas di seluruh dunia dan pengiriman pasukan penjaga perdamaian internasional ke Timor Leste setelah anarki meletus menyusul referendum kemerdekaan negara tersebut untuk meninggalkan Indonesia.
TPA Tibar merupakan tempat pembuangan sampah yang tidak diatur, digunakan untuk sebagian besar sampah di Dili.
Sampah-sampah yang dibuang di sana termasuk asbes mematikan dan limbah rumah sakit yang tidak diolah.
Situs seluas tujuh hektar yang terletak di perut lembah yang curam tersebut merupakan bencana lingkungan dan kesehatan masyarakat di Timor Leste.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, sekitar 100 ton limbah berbahaya diproduksi setiap tahun di Dili dari kegiatan perawatan kesehatan saja.
Tempat Pembuangan Sampah di Timor Leste (via intisari.grid.id)
Baca juga: Ramalan Mbak You Meleset? Ayu Ting Ting Makin Mantap ke Pelaminan, Katanya Undangan Segera Disebar!
Baca juga: Massa Pendemo Serang Polisi Pakai Bola Kasti Beracun, Saat Bola Disentuh Polisi Langsung Sesak Nafas
Baca juga: Kantor BPN Kabupaten Mabar Digeledah Kejati NTT, Ini Komentar Abel Asa Mau
Karena tidak ada fasilitas pengolahan atau pembuangan terpusat yang tersedia untuk limbah semacam itu, limbah rumah sakit cukup sering dibuang bersama limbah kota di Tibar.
Kondisi TPA Tibar begitu memprihatinkan. Hal pertama yang menarik perhatian pengunjung ke TPA Tibar adalah asap hitam tajam yang dikeluarkan oleh api yang dibuat oleh pemulung untuk melelehkan plastik dari barang-barang seperti mesin cuci dan kursi yang kemudian dapat dijual sebagai besi tua.
Seperti itulah yang dirasakan oleh seorang turis dari Australia, Chris Kaley.
“Asapnya benar-benar mengejutkan saya. Ini nyata - tumpukan membara 24/7, ”kata Chris Kaley, yang mengunjungi tempat pembuangan sampah bersama Bruce Logan, salah satu pemilik Australia dari Beachside Hotel di Dili.
Sementara Logan mengaku rutin pergi ke TPA tersebut, bukan hanya untuk membuang sampah tapi juga memberikan tamunya sebuah 'tur'.
“Saya datang ke sini sekali atau dua kali seminggu untuk membuang sampah.
"Saya juga membawa tamu kami yang tertarik untuk melihat bagaimana separuh lainnya hidup, ”kata Logan.
Bahkan, Logan memiliki sebutan khusus untuk tur yang diadakannya ke TPA terebut.
“Saya menyebutnya 'tur berhenti-mengomel' karena datang ke sini memberi Anda gambaran nyata tentang hal-hal sepele yang dikeluhkan orang di Australia," katanya.
Dengan kondisi berbahaya itu, para pemulung tetap datang ke sana demi mencari nafkah.
Saat Chris Kaley dan Bruce Logan mengunjungi TPA tersebut, ada pula setidaknya 20 pemulung yang sedang bekerja, menurut Aljazeera.
Diantaranya para pemulung itu adalah Domingos, pria berusia 61 tahun yang bekerja di TPA selama enam bulan.
“Yang berharga adalah botol dan kaleng,” katanya.
“Jika saya mengumpulkan banyak kaleng, saya bisa menjualnya seharga $
1.”
Bahkan, diantara pemulung itu terdapat anak-anak, termasuk seorang gadis berusia 8 tahun bernama Vanya.
Dia mengaku telah bekerja di sana sepanjang hidupnya.
Ilustrasi Para pemuda Timor Leste mencari pekerjaan (Grid.id)
Baca juga: Ramalan Mbak You Meleset? Ayu Ting Ting Makin Mantap ke Pelaminan, Katanya Undangan Segera Disebar!
Baca juga: Sekjen MUI Bongkar Kelemahan UU Cipta Kerja: Pemerintah Kok Ambil Alih Peran Ulama? Ini Berbahaya
Baca juga: Sekjen PDIP Mati-Matian Bela Pemerintah: Tolong Sebutkan, Kebijakan Jokowi Mana yang Rugikan Negara?
"Saya suka di sini karena saya bisa bersama orang tua dan teman-teman saya,” katanya.
Vanya mengaku dia bersekolah, tetapi ketika ditanya mengapa dia tidak pergi sekolah saat itu, dia tidak menjawab.
Sementara itu, Bio, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun, penuh dengan kotoran, juga mengatakan dia belajar “di sore hari”.
Mengutip Aljazeera, pada saat itu, sebuah kaleng aerosol yang tersembunyi di tumpukan di belakang kedua anak itu meledak.
Ledakan kaleng aerosol mengeluarkan suara gemuruh yang menusuk telinga.
Saat tim reporter tersentak ketakutan, Bio dan Vanya justru hanya tersenyum. (*)
Artikel ini telah tayang di Intisari.Grid.ID: https://intisari.grid.id/read/032378965/tempat-pembuangan-sampah-di-timor-leste-dulu-jadi-alasan-merdeka-kini-jadi-lokasi-tur?page=all
Sebagian artikel ini sudah tayang di intisari.grid.id dengan judul: Pantas Saja Praktik Korupsi di Timor Leste Susah Dibongkar Bahkan Nyaris Tidak Terungkap, Jurnalis yang Berusaha Membongkarnya Malah Bisa Terancam Hukuman Ini https://intisari.grid.id/amp/032381529/pantas-saja-praktik-korupsi-di-timor-leste-susah-dibongkar-bahkan-nyaris-tidak-terungkap-jurnalis-yang-berusaha-membongkarnya-malah-bisa-terancam-hukuman-ini?page=all