WHO: Stop Lockdown

Di awal-awal pandemi, Badan Kesehatan Dunia ( WHO) mengatakan bahwa orang yang dalam keadaan sehat tidak perlu memakai masker

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto WHO: Stop Lockdown
Pos Kupang/Reuters
WHO (REUTERS/Pierre Albouy)

POS-KUPANG.COM | JAKARTA - Berbagai kebijakan terkait penanganan pandemi Covid-19 kerap mengalami perubahan. Dulu di awal-awal pandemi, Badan Kesehatan Dunia ( WHO) mengatakan bahwa orang yang dalam keadaan sehat tidak perlu memakai masker.

Saat itu representatif WHO di Indonesia, Dr. N. Paranietharan meyakinkan kalau masker hanya wajib digunakan oleh orang yang sedang sakit atau mulai mengalami gejala sakit seperti batuk atau bersin-bersin.

"Sekali lagi, orang sehat tidak perlu pakai masker," kata Paranietharan saat sesi diskusi bersama media di Jakarta, Kamis (5/3/2020). Belakangan WHO mengubah kebijakannya itu. WHO secara tegas menyarankan semua orang tanpa terkecuali untuk menggunakan masker di kondisi apapun.

Baca juga: 10 Prajurit TNI Alor Positif Corona

Selain kebijakan soal masker, WHO kini juga mengubah kebijakan terkait lockdown. Jika dulu lockdown disarankan dilakukan terhadap wilayah yang warganya terpapar corona, seperti yang dilakukan di Wuhan, Melbourne, dan beberapa kota lain, kini kebijakan lockdown tidak lagi disarankan sebagai pendekatan utama dalam penanganan pandemi Corona.

Setidaknya, itu yang disampaikan oleh utusan WHO, Dr David Nabarro, dalam sebuah wawancara video dengan majalah Inggris, The Spectator. Menurut Nabarro, lockdown atau pembatasan semacam itu hanya boleh dilakukan sebagai pendekatan terakhir. "Kami di WHO tidak mengadvokasi lockdown sebagai cara utama mengendalikan virus ini," kata Nabarro dikutip dari Nypost, Senin (12/10).

Baca juga: Lurah Labuan Bajo Kaget Kantornya Digeledah Tim Penyidik Kejati NTT

"Satu-satunya kesempatan yang kami yakini lockdown dibenarkan adalah untuk memberi Anda waktu mereorganisasi, menata kembali, menyeimbangkan kembali sumber daya, melindungi tenaga kesehatan yang kelelahan, tapi pada umumnya kami memilih tidak melakukannya," lanjutnya.

Nabarro mengatakan, ada dampak signifikan terkait pembatasan ketat, terutama terkait ekonomi global.

"Lockdown hanya punya satu konsekuensi yang tak boleh diremehkan, yakni membuat orang miskin menjadi lebih miskin," kata Nabarro.

Lockdown, menurut Nabarro paling berdampak pada negara yang menggantungkan diri pada pariwisata. Ia mencontohkan pariwisata di Karibia yang kelabakan.

"Lihat saja apa yang terjadi pada industri pariwisata di Karibia, misalnya, atau di Pasifik karena orang-orang tidak berlibur," kata Nabarro kepada media tersebut.

"Lihat apa yang terjadi pada para petani kecil di seluruh dunia. Lihat apa yang terjadi pada tingkat kemiskinan. Tampaknya kita mungkin memiliki dua kali lipat kemiskinan dunia pada tahun depan. Kita mungkin memiliki setidaknya dua kali lipat anak-anak yang mengalami malnutrisi anak," imbuhnya.

Ketimbang lockdown, Ia pun meminta pemimpin dunia melakukan cara lain. Misalnya bekerja sama satu sama lain. Hal ini berbeda dengan seruan-seruan sebelumnya yang diutarakan lembaga PBB itu. Beberapa kali WHO memperingatkan negara-negara agar tidak berlaku cepat mencabut penguncian terutama selama menghadapi gelombang pertama virus.

"Hal terakhir yang perlu dilakukan oleh negara manapun adalah membuka sekolah dan bisnis, hanya untuk menutupnya kembali karena kebangkitan," kata Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Meski begitu, bos WHO itu juga meminta negara-negara lainnya semakin aktif dalam pengujian dan pelacakan kontak. Sehingga lockdown bisa dibuka dengan aman dan menghindari penguncian lainnya di masa depan.

"Kita perlu mencapai situasi yang berkelanjutan di mana kita memiliki kendali yang memadai terhadap virus ini tanpa mematikan hidup kita sepenuhnya, atau beralih dari lockdown ke lockdown lain yang sangat merugikan bagi masyarakat," katanya. (tribun network/mal/dod)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved