Gerakan 30 September
Burhan Kapak Bantai Anggota PKI dengan Sadis: Lebih Baik Membunuh Daripada Dibunuh! Begini Kisahnya!
Burhan Kapak mengakui bahwa ia sering membawa kampak/kapak berukuran panjang untuk memburu orang yang diduga beraliran Komunis.
Ia juga sempat diberi cap oleh anak-anak CGMI sebagai mahasiswa kontrarevolusioner karena menentang konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) Presiden Soekarno.
Burhan juga menyatakan sebelum terjadi G30S, pada kisaran tahun 1963-1964, CGMI sering meneror kelompok dan mahasiswa yang beralilan Islam.
Ia menuturkan bahwa hampir setiap hari, para anggota dan simpatisan PKI menggelar demonstrasi di Malioboro dan tempat-tempat strategis di Yogyakarta.
Kebencian Burhan memuncak setelah mendengar pidato Ketua Comite Central (CC) PKI, Dipa Nusantara Aidit yang menyinggung organisasi HMI.
Kongres III CGMI yang diadakan pada 29 September 1965 mengatakan "kalau CGMI tak mampu menyingkirkan HMI dari kampus, sebaiknya mereka sarungan saja".
Ketika peristiwa G30S meletus, Burhan mengaku sering melakukan perlawanan terhadap orang-orang PKI dan simpatisannya.
Terkhusus ia menyebut melakukan perlawanan setelah kedatangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ke Yogyakarta pada bulan Oktober 1965 di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
Ia menuturkan, operasi penumpasan anggota PKI dan simpatisannya ia lakukan bersama tentara.
Burhan mengaku diminta membuat pagar betis, lalu tentara yang melakukan operasi.
Ia menambahkan, "karena masyarakat dan organisasi Islam juga menaruh dendam, kami pun sering bergerak sendiri".
Saat melakukan penumpasan, Burhan berposisi sebagai staf satu, Laskar Ampera Aris Margono dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).
Ia mengaku telah mendapat "License to kill".
Diakui olehnya, terdapat 10 orang yang diberi pistol, kemudian dilatih di Kaliurang, Yogyakarta.
Pistol yang ia dapatkan adalah pistol berjenis FN yang ia dapatkan dari tentara sekitar bulan November 1965.
Burhan mengaku bahwa ia sering kembali ke markas Kostrad yang saat itu bertempat di Gedung Wanitatama, di Yogyakarta untuk meminta peluru.