G30S PKI
Kisah Radim, Saksi Pembantaian Pasca G30S / PKI, Ditembak dari Belakang, Lalu Ditendang ke Lubang
Pengakuan Para Pelaku dan Korban Pembantaian Massal Pasca G30S/PKI 1965: Ditembak dari Belakang
"Di Yogya dulu itu PKI paling besar, walaupun secara organisasi, yang benar anggota punya kartu PKI, tidak banyak. Mereka simpatisan atau pengurus-pengurus itu di kampung-kampung. Pada pemilihan umum tahun 1955, pemilihan umum yang pertama yang dilakukan Indonesia, PKI sangat besar hasilnya di sini.
Kami menghadapi mereka di Yogya tahun 1965 akhir sampai tahun 1966: seperti keadaan perang di sini waktu itu. Kalau malam sunyi sepi enggak ada orang yang berani keluar, yang keluar ya kita-kita ini dan mereka (kaum komunis) yang keluar. Kita berhadap-hadapan.
“Angkat tangan! Berbaris! Kami lalu menyelidiki mereka. Saya membuat senjata sendiri. Ada palu untuk menghantam mereka. Saya juga punya parang sepanjang dua meter. Militer melatih kami dan saya diberikan senjata.”
Kalau dia bangkit lagi, nyata, banyak, malah bagus: kami bersihkan lagi. Lebih bersih dari tahun 1966. Karena apa? Karena itu bertentangan dengan Pancasila.
• Panglima TNI Hadi Tjahjanto Didesak Putar Kembali Film G30S/PKI di Televisi Seperti Zaman Soeharto
Kalau dia besar lalu menang, saya pasti yang dibunuh dan yang dibunuh pasti lebih banyak lagi.
Akan lebih banyak (darah tertumpah) nanti, kalau dia bangkit kembali dan nyata di lapangan. Kami akan menghadapi itu lebih bersemangat lagi. Walaupun saya sudah umur 76 semangat saya seperti tahun 65.”
Martono: "Saya tak mampu gali kubur, jadi saya buang ke bengawan"
Martono mengaku dia menjadi korban sekaligus pelaku.
“Jadi semua organisasi waktu itu saya enggak seneng, (organisasi) politik maupun agama waktu itu. Saya enggak seneng, soalnya saya teknik.
Dan waktu itu keluarga saya betul-betul miskin. Tetapi saya kelihatan menonjol karena teknik saya, (jadi sering dipanggil untuk) pengaturan tata ruang listrik (di kantor-kantor mereka), karena ahlinya itu saya. Kadang-kadang (saya dipanggil) PNI, kadang-kadang NU, kadang-kadang Masyumi, kadang-kadang PKI. Nah kebetulan yang terakhir itu PKI.
Sehingga apa ya… kalau fitnah ya monggo, kalau curiga ya monggo, terserah. Nyatanya saya ditangkap oleh serombongan RPKAD dan orang yang berpakaian ninja.

Ditangkap, targetnya dibunuh kok, saya harus mati kok. Golongan saya golongan yang harus dimatiin gitu lho. Disiksa untuk ngaku, saya tuh PKI atau bukan, saya enggak pernah ikutan organisasi apapun. (Ditanya) kamu bagaimana gerakannya? Lha saya enggak tahu. Disetrum, (tapi saya kuat, sampai sekarang) bisa membuktikan. Bukan karena saya anti-setrum, tetapi karena waktu itu profesi saya ya dari listrik, las, sehingga tahan setrum.
Karena berkali-kali disetrum dan enggak mati-mati, akhirnya saya dilepaskan. Tetapi dengan syarat harus membuang mayat-mayat yang mereka bantai. Mereka itu namanya tim Opsus, terdiri dari AURI, RPKAD, Angkatan Darat, Brimob, CPM dan Partai Politik.
Minimal tiap hari dua orang (yang saya buang mayatnya). Kalau malam Minggu kadang-kadang ya bisa 20 orang, 25 orang.
Karena untuk menggali ‘kan saya enggak mampu, akhirnya saya buang ke bengawan. Ada tempatnya, namanya Mbacem, nah di situ tiap hari.