Opini Pos Kupang
Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
Data KPU selama tiga hari masa pendaftaran Pilkada 2020 terdapat 37 bakal calon kepala daerah positif terinfeksi Covid-19
Oleh: Mikhael Feka, Dosen Fakultas Hukum Unwira Kupang, Advokat
POS-KUPANG.COM - Data yang dihimpun Komisi Pemilihan Umum ( KPU) selama tiga hari masa pendaftaran Pilkada 2020 hingga Minggu (6/9/2020) pukul 24.00 terdapat 37 bakal calon kepala daerah positif terinfeksi Covid-19 (KOMPAS.com, 7/9/2020).
Dari 37 bakal calon kepala daerah tersebut terdapat 1 bakal calon bupati yang berasal dari Kabupaten Ngada Provinsi Nusa Tenggara Timur. Data tersebut menunjukkan ancaman Covid-19 dalam pusaran pilkada 2020 sangat nyata dan sangat berpotensi melahirkan klaster baru dalam penyebaran Covid-19 yakni klaster pilkada.
Pilkada 2020 minimal menghadapi dua tantangan besar yakni menghadapi penyebaran Covid-19 dan pelanggaran konvensional pilkada yang seakan menjadi tradisi.
• Air Bersih Masalah Klasik Kota Kupang
Kedua tantangan tersebut bisa dihadapi dengan kesadaran hukum, kesadaran politik dan kesadaran menjaga standar protokol Covid-19 dari semua pihak baik dari penyelenggara pemilihan, peserta pilkada, partai politik, tim sukses/tim kampanye, masyarakat dan semua stakeholder yang terkait di dalamnya.
Apalagi Pilkada 2020 akan diikuti sebanyak 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Di NTT terdapat 9 kabupaten yang menyelenggarkan pilkada yakni Kabupaten Belu, Malaka, TTU, Sabu Raijua, Manggarai Barat, Manggarai, Ngada, Sumba Timur dan Sumba Barat.
Kebijakan Formulasi dan Waspadai Klaster Pilkada
Pilkada 2020 semula akan berlangsung tanggal 23 September 2020 namun pelaksanaan pilkada tersebut ditunda akibat pandemi Covid-19 yang melanda dunia termasuk Indonesia. Kebijakan yang diambil adalah menunda penyelenggaran pilkada ke tanggal 9 Desember 2020.
• Mau Tahu Kondisi Suhu Udara di Sumba Timur Pagi Ini? Simak Info
Untuk menyesuaikan tahapan peyelenggaran pilkada sesuai protokol Covid-19 maka Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan telah menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 serta diikuti perubahan-perubahan di PKPU dan Perbawaslu sebagai bentuk formulasi kebijakan dalam melaksanakan pilkada di tengah pandemi Covid-19.
Bahwa alasan diterbitkannya Perpu tersebut tertuang dalam bagian menimbang huruf a dan huruf b yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyebaran Corona Viruss Disease 2019 (COVID-19) yang telah dinyatakan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) yang terjadi di sebagian besar negara-negara di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, telah menimbulkan banyak korban jiwa dan menunjukkan peningkatan dari waktu ke waktu.
Bahwa konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah bakal pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah wajib menyerahkan hasil uji usap (swab virus corona) atau PCR saat pendaftaran.
Namun tidaklah mudah karena tidak semua daerah memiliki laboratorium tes PCR. Buktinya terdapat 75 bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah belum menyerahkan hasil uji usap (swab virus corona) atau PCR saat pendaftaran di KPU setempat.
Hal ini tentunya menyulitkan penyelenggara dalam memberikan pelayanan prima kepada bakal calon (balon) kepala daerah karena tentunya perlakukannya berbeda-beda sesaui protokol Covid-19 sebagaimana diatur dalam PKPU Nomor 10 tahun 2020.
Bahwa kebijakan formulasi pada tingkat undang-undang tersebut tidak secara tuntas mengatur tentang model dan cara penyelanggaraan tahapan di tengah pandemi covid-19 ini walaupun kemudian secara teknis diatur dalam PKPU namun supaya penerapan sanksi terhadap pelanggaran terhadap protokol Covid-19 seyogyanya diatur pada level undang-undang.
Tak dipungkiri pula bahwa Covid-19 terus mengancam di Indonesia tak terkecuali NTT. Kalau semua pihak yang terlibat dalam pilkada tidak hati-hati dan taat pada protokol Covid-19 bukan tidak mungkin akan lahir klaster pilkada dalam penyebaran Covid-19.
Berkembang atau tidaknya Covid-19 tergantung pola pikir dan perilaku manusia dalam menyikapi pandemi ini secara bijak.
Tantangan Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19
Tantangan utama dalam pilkada di tengah pandemi Covid-19 ini adalah kesadaran menaati protokol kesehatan seperti menghindari kerumunan karena bagaimanapun dalam sebuah ajang politik seperti ini mau tidak mau pasti berurusan/berhubungan dengan massa sehingga perlu pengaturan dan penerapan sanski yang tegas kepada pelanggarnya.
Pilkada di masa pandemi bukan sekadar ajang untuk mencari pemimpin tetapi juga menjaga keselamatan rakyat (masyarakat). Perlu adanya kesadaran dari partai politik, peserta pilkada, penyelenggara pilkada, masyarakat dan semua elemen bangsa agar pilkada tetap berkualitas tetapi juga pilkada yang sehat dan menggembirakan.
Menurut Prof Garuda Wiko ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pilkada serentak tahun 2020 adalah pertama, menguatnya politik transaksional; kedua, politisasi dan kampanye terselubung menggunakan program penanganan Covid-19; ketiga, gangguan profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilu karena profesionalitas dan integritas penyelenggara pemilihan terganggu dan terdistorsi oleh kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan akan tertular Covid-19 pada saat bekerja; keempat, aparatur sipil negara (ASN) dan birokrasi daerah yang tidak netral; kelima, pelaksanaan tahapan pilkada kerap kali bermasalah karena disebabkan faktor internal atau eksternal penyelenggara pemilu.
Misalnya kendala dalam menjaga akurasi dan validitas data pemilih akibat terganggunya pelayanan KTP elektronik di masa pandemi, tingginya pergerakan atau mobilisasi penduduk antar daerah, serta banyaknya pekerja migran yang kembali ke Indonesia; keenam, persoalan kampanye jahat melalui media digital juga penting menjadi perhatian KPU dan Bawaslu, seperti rapat daring, webinar, maupun diskusi jarak jauh berbasis teknologi.
Hal ini bisa saja dimanfaatkan oknum untuk semakin menyebarkan kampanye jahat berupa hoaks, informasi bohong, fitnah, maupun ujaran kebencian melalui platform media sosial atau aplikasi pesan personal; ketujuh, penundaan atau jeda tahapan pilkada ternyata mempertinggi pula biaya politik (political cost) yang harus dikeluarkan para calon, baik untuk merawat konstituen maupun menjaga elektabilitas.
Hal ini membutuhkan biaya yang makin besar karena rentang waktunya makin panjang.
Kedelapan, pada pilkada serentak tahun ini pemilih akan mengalami skeptisme pada proses pilkada karena dampak ekonomi dan psikologis yang mereka hadapi pasca pandemi Covid-19 lebih dominan ketimbang semangat untuk berpartisipasi dan terlibat dalam proses pemilihan.
Sehingga masyarakat enggan merespon dengan baik proses pelaksanaan pemilihan yang melibatkan mereka. misalnya verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, coklit data pemilih, kampanye, maupun pemungutan suara. Pada akhirnya bila tidak dikelola dengan baik, hal ini bisa berakibat pada penurunan penggunaan hak pilih di hari pemungutan suara tanggal 9 Desember 2020.
Selain itu, di bulan Desember akan ada perayaan Natal bagi umat Kristiani. Kesembilan, pada masa pandemi covid-19, diharapkan KPU bersinergi dengan para stakeholder untuk menyiapkan manajemen risiko berupa protokol pengelolaan tahapan pilkada yang kompatibel dengan penanganan Covid-19 dan memastikan tersedianya fasilitas untuk proteksi kesehatan petugas pemilihan, serta kepatuhan pada disiplin protokol kesehatan penanganan Covid-19 (https://www.untan.ac.id).
Ketaatan terhadap protokol Covid-19 dalam penyelenggaraan pilkada 2020 harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah daerah terutama di daerah-daerah yang melaksanakan pilkada.
Pemerintah daerah di masa pandemi ini harus bijak dalam melakukan kegiatan-kegiatan atau program-program yang berpotensi mengumpulkan banyak orang dan membahayakan masyarakat dalam penyebaran Covid-19.
Ancaman pilkada di depan mata apabila Covid-19 semakin meningkat maka bukan tidak mungkin pilkada akan ditunda. Oleh karena itu perlu kewaspadaan dan kehati-hatian bagi semua elemen untuk memastikan pilkada 2020 sesuai aturan hukum dan protokol kesehatan. (*)