Breaking News

Mahasiswa Kecam Tindakan Represif Aparat Keamanan di Besipae

Tindakan represif aparat keamanan terhadap warga Pubabu-Besipae Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan mengundang simpati mahasiswa

Editor: Kanis Jehola
antara
Warga Pubabu, TTS yang menjadi korban penggusuran oleh Pemerintah NTT bertahan hidup di bawah pohon. (ANTARA/HO-Istimewa) 

POS-KUPANG.COM - Tindakan represif aparat keamanan terhadap warga Pubabu-Besipae Desa Linamnutu Kecamatan Amanuban Selatan Kabupaten TTS, mengundang simpati mahasiswa.

Front Mahasiswa Nasional (FMN) Cabang Kupang menyoroti persoalan klaim lahan yang terjadi di Pubabu. Menurut FMN, kondisi hutan Pubabu sejak tahun 2008 ketika masyarakat melakukan penolakan sampai saat ini belum ada penyelesaian.

"Klaim status tanah yang dilakukan negara melalui Dinas Peternakan dan Kehutanan Provinsi NTT atas tanah Besipae menunjukan karakter negara sebagai tuan tanah gaya baru. Klaim atas tanah tersebut mengancam keberadaan 37 KK (kepala keluarga) yang mayoritas berprofesi sebagai petani," demikian pernyataan sikap FMN yang diterima Pos Kupang, Rabu (19/8/2020).

Petugas Musnahkan Satu Ekor Babi Asal Maumere yang Lolos ke Nagekeo

Pernyataan sikap ini ditandatangani oleh Koordinator FMN Cabang Kupang Fadly Anetong.

"Konflik lahan yang terjadi di Kabupaten TTS adalah konflik yang paling panjang antara masyarakat Pubabu dan Pemprov NTT. Konflik ini cukup menggambarkan situasi negara yang reaktif terhadap masyarakat."

Terhitung sejak Selasa (4/8) hingga Selasa (18/8), lanjut FMN, masyarakat terus diintimidasi, dikriminalisasi ketika mempertahankan hak atas tanah.

Warga Besipae: Hati Kami Sakit, Pemprov Bantah Bertindak Represif

FMN mencatat, sudah 29 KK yang digusur rumahnya, ada 6 rumah yang barang-barangya hilang (bahkan persediaan makanan jagung dan beras) ketika pembongkaran yang dipimpin oleh Pemprov NTT bersamaan dengan Pol PP, Bbrimob dan TNI.

"Bukan saja pembongkaran dan kehilangan barang, tetapi juga penculikan terhadap Anton Tanu pada tanggal 10 agustus yang kemudian setelah disiksa lalu dilepaskan pada tanggal 11 Agustus tanpa ada surat pemberitahuan terlebih dahulu. Selang berapa hari kemudian, pada tanggal 14 Agustus terjadi lagi penangkapan terhadap Bapak Kornelius Nomleni yang dilakukan oleh 6 Brimob bersenjata lengkap dan Kepala UPT tanpa alasan yang jelas," beber FMN.

"Ironisnya lagi, di tengah bulan Kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus tidak menunjukan terlepasnya masyarakat atas penindasan. Tanggal 18 Agustus tepatnya pukul 11.30 Wita terjadi lagi pengusiran yang dilakukan oleh aparat kepolisian (Brimob), TNI dan Pol PP kepada 29 KK warga besipae dari tempat mereka berkumpul pasca menggusuran/pembongkaran rumah," kata FMN.

Pengusiran yang menggunakan tindakan represif dan kekerasanpun dilakukan oleh aparat gabungan. Karena masyarakat tetap bersikeras untuk tidak ingin keluar dari tempat mereka berkumpul sebab belum ada penyelesaian yang jelas sehingga mereka mati-matian terus duduk di atas lahan mereka, hal ini kemudian disikapi oleh beberapa orang anggota Brimob dengan langsung menembakan senjata ke tanah sebanyak 3 kali sehingga mengeluarkan percikan api setelah itu seorang ibu Yohana Bait, mama Ester, dan anak-anak didorong menggunakan senjata untuk keluar.

FMN menilai intimidasi dan perampasan tanah merupakan tindakan kekerasan yang dapat mengganggu psikologi anak-anak. Selain itu, sejak tanggal 4 Agustus masyarakat tidur beralaskan tikar dan beratap langit.

FMN Cabang Kupang mengecam tindakan anti rakyat yang dilakukan oleh aparat, mengecam tindakan Pemprov NTT melakukan penggusuran terhadap masyarakat Pubabu. Berikutnya, segera kembalikan/bebaskan Kornelius Nomleni dan tarik seluruh aparat keamanan yang terus melakukan intimidasi. (cr6)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved