Opini Pos Kupang
BERSAHABAT DENGAN "MAS JAJA CITA"
Suka atau tidak suka, informasi tentang Covid-19, yang kita terima kini, telah melebihi ambang batas penerimaan seseorang terhadap informasi
Ketika kelak, sebagaimana yang kita ketahui sekarang, bahwa ternyata droplet, jarak fisik di meja makan, tata cara memakai `serviette' dll berpotensi menularkan virus, maka soal ini pula yang mendorong para ahli kesehatan untuk melakukan penelitian intensif, sekaligus menetapkan protocol kesehatan antara abad 18 dan 19.
Apa artinya? Ketika muncul sesuatu yang kita sebut virus, maka di sana ada larangan medis. Padahal terhadap pelanggaran etiket yang sama, di abad sebelumnya, ditaati dan ditakuti sebagai larangan sosial. Apa artinya? Semua larangan medis, tidak lebih dan tidak kurang, merupakan bentuk dukungan, atau mengukuhkan larangan social yang sudah ada sebelumnya.
Atas cara berpikir ini maka dalam situasi New Normal (saya lebih suka memakai istilah New Norm) kita semua terdorong untuk kembali pada ketaatan sosial berdasarkan etika sosial, sebagaimana sudah dilakukan oleh masyarakat kita di abad-abad sebelumnya.
Jadi, sebenarnya tidak ada yang baru bagi kita, kini berkaitan dengan ketaatan terhadap protocol kesehatan. Mana yang lebih dikuatirkan, kita taat pada protocol kesehatan karena alasan medis, atau kita kembali taat pada protocol kesehatan karena alasan sosial dan psikologi? Kecuali jika kita tidak mempunyai rasa malu secara sosial dan psikolgis maka kita mengabaikan atau dengan tahu dan mau melanggar etika dalam protocol kesehatan.
Maka saran saya, orang beradab masa kini yang menghadapi ancaman Covid-19 wajib mengontrol dan mengendalikan tubuh kita, sama seperti yang pernah dilakukan oleh masyarakat di abad-abad yang lalu. Tiga etika yang utama, wajib pakai MAS-ker, Jaga Jarak (JAJA), dan cu-CI TA-ngan. Menurut saya, marikah kita "BERSAHABAT DENGAN MAS JAJA CITA. (*)