Opini Pos Kupang
BERSAHABAT DENGAN "MAS JAJA CITA"
Suka atau tidak suka, informasi tentang Covid-19, yang kita terima kini, telah melebihi ambang batas penerimaan seseorang terhadap informasi
Dilarang keras memperlihatkan sapu tangan setelah dipakai mengelap sesuatu. Bagaimana adab sopan santun di abad 18. Ketika sudah duduk di meja makan, setiap orang, harus menggunakan serviette, piring, pisau, sendok dan garpu yang sudah disediakan. Jangan memakai serviette untuk menyeka wajah, kecuali menyeka tangan.
Pengaturan natural tentang kentut di abad 17 diperbaharui lagi. Sangat tidak sopan mengeluarkan kentut ketika bersama dengan orang lain, arah kentut harus dari atas atau dari bawah. Adalah sangat memalukan dan tidak senonoh berkentut didengar orang lain.
Sosialisasi Rasa Malu
Secara menyeluruh, informasi singkat dari Elias dalam buku `The History of Manner' (1982) memusatkan perhatian pada perubahan cara setiap individu berpikir, bertindak, dan berinteraksi.
Pertanyaannya adalah apakah ada buah dari ketaatan adab sopan santun, atau yang waktu itu disosialisaskan sebagai etiket sosial atau kontrol terhadap tubuh setiap orang?
Jawabannya, Yah ada!. Bahwa semua etiket, mengatur tata cara bersin, batuk, membuang ludah dan ingus, kentut, mengupil telinga dll, untuk melindungi tubuh, sama sekali tidak berdasarkan alasan medis, tetapi semuanya berdasarkan alasan sosial dan psikologis. Tidak enak dipandang mata, menampilkan rasa jijik dan muak, juga dapat menimbulkan rasa malu atau cibiran orang lain.
Apa yang dapat disimpulkan oleh penelitian Norbert Elias? Elias menunjukkan hubungan antara pembentukan peradaban sopan santun dengan masalah rasa malu. Ada empat masalah yang berkaitan dengan "rasa malu".
Pertama, menyangkut pertanyaan bagaimana kita mengenal rasa malu. Secara intuitif kita berasumsi bahwa kita tahu dan mengenal arti kata malu -meskipun kita sadar bahwa tidak ada dua pengalaman rasa malu yang persis sama, karena setiap pengalaman rasa malu tampil dan dirasakan dengan cara unik.
Kita bahkan dapat mengakui bahwa kata-kata untuk menunjukkan rasa malu juga ada dalam berbagai bahasa, namun memiliki konotasi yang sedikit berbeda, seperti vergonha bahasa Portugis dan schaamte dalam bahasa Belanda.
Kenyataan bahwa ada begitu banyak variasi `rasa malu' sehingga membuat kita menjawab pertanyaan, bagaimana kita mengenal rasa malu, apa manifestasi khas dari rasa malu itu?
Kedua, kapan rasa malu itu muncul? Kesempatan macam apa yang menyebabkan rasa malu? Ketiga, rasa malu itu tidak menyenangkan. Namun kebanyakan orang memiliki pengalaman rasa malu. Kenapa begitu? Apa fungsi rasa malu? Semua pertanyaan ini dibingkai dalam bentuknya saat ini, dengan cara yang tampaknya abadi.
Mungkin kita kita harus membahas tema rasa malu itu dalam simposium sebagai bentuk dedikasi bagi karya Norbert Elias. Keempat, apakah manifestasi rasa malu, dan kesempatan yang menyebabkan rasa malu, dan fungsi yang dilayaninya oleh rasa malu selalu sama? Atau apakah ada perubahan? Jika demikian, bagaimana perubahan rasa malu ini terkait dengan proses peradaban?
Elias telah berhasil mengurai `rasa malu' itu melalui contoh-contoh terpilih dari etiket dan kode 'sopan santun' dalam suatu 'peradaban'. Kata Elias, semua orang harus mempunyai rasa malu jika harus bertindak atau bercerita, tentang meludah, membuang ingus, kencing, kentut, hubungan seksual, buang air besar, perilaku tangan (untuk makan, minum), kaki (untuk menginjak makan, roti, anggur), tampilan sensual tubuh, perilaku spasial (menjaga jarak) di saat makan, cara makan dan minum dll.
Menurut Elias, bahkan pada saat kita semua mematuhi anjuran dan larangan etiket maka sebetulnya di sana ada semacam kekuasaan, Norbert kelak menulis soal ini dalam buku "Power and Civility" (1939). Kunci kekuasaan itu terletak dalam tangan setiap orang untuk mengendalikan diri.
Kunci ini pula yang membentuk seluruh poses peradaban umat manusia.Artinya juga bahwa; proses peradaban manusia sangat tergantung dari; (1) kemampuan manusia untuk mengontrol diri, mengendalikan aktivitas tubuh; dan (2) ketaatan terhadap larangan social, sebagai ketaatan terhadap etika; dan (3) ketakutan akan hukuman pelanggaran etik dan moral, yang secara social lebih sakit karena menanggung rasa malu.