Opini Pos Kupang
BERSAHABAT DENGAN "MAS JAJA CITA"
Suka atau tidak suka, informasi tentang Covid-19, yang kita terima kini, telah melebihi ambang batas penerimaan seseorang terhadap informasi
Oleh : Prof. Dr. Alo Liliweri, Dosen pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNDANA
POS-KUPANG.COM - Suka atau tidak suka, informasi tentang Covid-19, yang kita terima kini, telah melebihi ambang batas penerimaan seseorang terhadap informasi. Capek. Akibatnya, menurut saya, kini orang lebih takut akan kengerian (horror), kelebihan ( overload), kesimpangsiuran (confusion) informasi, dll tentang Corona-19 itu.
Dalam ilmu komunikasi, istilah yang tepat untuk menjelaskan gejala ini disebut : pertama, infobesity, kedua, infoxication, ketiga, kecemasan informasi, dan keempat, ledakan informasi. Konsep tentang `information overload' ini, pertama kali diperkenalkan Bertram Gross, dalam `The Managing of Organizations' (1964), dan kelak dipopulerkan Alvin Toffler `Future Shock' (1970).
• Pelaku Perjalanan yang Reaktif Rapid Test di Kabupaten Manggarai Masih 9 Orang
Menurut Toffler, infobesiti menjelaskan informasi yang berlebihan, situasi di mana terlalu banyak informasi tentang suatu topik. Informasi tersebut diterima melalui media atau perangkat pintar, dan komunikasi dengan orang lain, seperti keluarga, sekolah, kelompok rujukan dll.
Atau menurut Speier et al. (1999) "kelebihan informasi terjadi ketika jumlah input ke sistem (memori penerima) melebihi kapasitas pemrosesan. Akibatnya, ketika informasi yang berlebihan diterima maka kemungkinan bakal terjadi penurunan kualitas keputusan."
• Anda Berbintang LIBRA, Melewati Hari yang Menyenangkan! Ini RAMALAN Zodiak Kamis, 6 Agustus 2020
Infobesity dapat disebabkan oleh banyak factor, antara lain; pertama, terlalu banyak sumber informasi, mulai dari pelbagai media dan varian media (media massa cetak maupun elektronik, media sosial, serta pelbagai web.
Akibatnya informasi yang kita terima seolah overdosis; kedua, terlalu banyak informasi, yang didukung teknologi informasi. Misalnya kemudahan pencarian topik tertentu sehingga kita kelebihan informasi untuk suatu topik; ketiga, kurangnya waktu untuk mengasimilasi informasi.
Kita tidak punya waktu paling minimum untuk membaca, memahami, dan memproses informasi; keempat keterhubungan antara teknologi yang satu dengan yang lain.
Misalnya, perangkat pintar dapat membuat kita menyalahgunakan informasi yang membebani diri. Kita mengalami keracunan informasi; dan (5) kita tidak sadar kapan harus berhenti menghadapi kebanyakan informasi. Kita pasang badan menghadapi banjir informasi.
Kita kembali ke Covid-19. Menurut ilmu epidemologi, virus diduga ditularkan melalui; (1) kontak langsung dengan jaringan atau cairan tubuh penderita. Bibit penyakit memasuki tubuh orang yang sehat melalui mata, mulut, atau luka terbuka; (2) melalui udara, baik secara langsung (airborne) ataupun droplet.
Penyebaran via udara dan droplet biasanya terjadi pada penyakit saluran pernapasan (3) secara oral dari makanan, air, atau permukaan barang yang terkontaminasi. Kuman biasanya terdapat pada feses, urine, atau liur penderita; (4) melalui vektor, yaitu makhluk hidup yang dapat menyebarkan penyakit seperti nyamuk, kutu, tikus, dsb. dan (5) Zoonosis, yang berarti dari hewan ke manusia. Transmisi zoonosis dapat terjadi melalui kontak langsung, udara, vektor, ataupun oral.
Rupanya informasi Covid 19 yang berterima oleh audiens ini kuat melalui udara, baik secara langsung (airborne) ataupun droplet. Jika informasi tentang saluran virus tersebut divariasikan maka hanya ada kemungkinan varian penyaluran ( 1,2; 1,3; 1,4, ; 1,5; 2,3 dst). Inilah salah satu bentuk infobesitas tentang Covid-19.
Akibatnya, kita tidak dapat lagi membedakan mana berita palsu (fake news), mana "hoax", baik berdasarkan isinya maupun sumbernya. Bingung kan!. Pada hal secara umum informasi Covid-19 yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang: (1) apa itu virus/Covid 19, (2) cara penularan, (3) cara pencegahan, (4) alur pengobatan, (5) protokol kesehatan standar.
Rupanya respons praktis dan ilmiah, apapun ilmunya, epidemologi, virologi, atau kesehatan - terhadap lima saluran virus ini tidak saja terjadi sekarang, tetapi telah terjadi sejak abad ke 13 sampai kini dan akan terus ke depan.
Bedanya, respons di masa lalu (antara abad 13 sd 18) dipelopori oleh ilmu-ilmu social (sosiologi, sejarah, psikologi, dan gabungan ketiganya) yang dipelopori oleh sosiolog Norbert Elias.