Kebijakan Baru Wali Kota Surabaya Risma Tekan Virus Corona Menuai Kritik, Ini Kelemahannya
Walikota Surabaya Tri Rismaharini atau Risma pun baru saja menerbitkan aturan wajib rapid test bagi pekerja dari luar Kota Pahwalan.
Tidak hanya rumah sakit, namun beberapa oknum yang memanfatkan keadaan untuk menyelengarakan rapid test dengan harga yang tidak wajar," ujar dia.
Wachid juga mengkritik kebijakan pembatasan jam malam karena dinilai tidak terlalu berdampak terhadap penurunan laju penyebaran covid-19 di Surabaya.
Pemberlakuan jam malam, kata Wachid, akan berpotensi melanggar hak, terutama bagi pedagang kecil dan pekerja informal yang sedang mencari penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari saat malam hari.
Selain itu, dasar hukum yang dipakai dalam penerapan jam malam tidak jelas karena membatasi mobilisasi aktivias masyarakat layaknya penerapan PSBB.
Adanya pembatasan jam malam, jika merujuk dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2019 tentang Kekarantinaan Kesehatan beserta Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar ( PSBB), terdapat persyaratan untuk menerapkan pembatasan mobilitas masyarakat.
Yakni adanya penetapan kementerian kesehatan untuk menerapkan PSBB bagi wilayah yang mengajukan PSBB.
"Sedangkan Surabaya tidak menerapkan PSBB," kata dia.
Di sisi lain, ketentuan pemberlakuan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dalam Perwali ini dinilai tidak sah karena bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang pembentukan peraturan perundangan yang mengatur perundang-undangan yang dapat memuat sanksi hanya UU, Perppu dan Perda.
"Sehingga produk hukum Perwali tidak bisa memuat sanksi.
Karena pada hakikatnya pemberlakuan sanksi adalah pengurangan hak masyarakat, maka harus diatur ketentuan yang melibatkan masyarakat, dalam hal ini DPRD sebagaimana tertuang dalam Perda," tutur dia.
Wachid menilai, kebijakan dalam Perwali tersebut membuktikan jika Pemkot Surabaya tidak mampu menangani Pandemi covid-19 di Surabaya.
Pemkot juga dianggap tidak mampu menjamin hak atas kesehatan masyarakat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 H Ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut, Wachid meminta Pemkot Surabaya mencabut Perwali Nomor 33 Tahun 2020 karena merugikan buruh dan masyarakat.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya harus menjamin hak atas kesehatan masyarakat dengan tidak membuat kebijakan yang menyusahkan dan merugikan buruh dan masyarakat.
Selain itu, tidak memberlakukan sanksi dalam Perwali Nomor 33 Tahun 2020 karena kebijakan mengenai sanksi itu tidak tepat diatur dalam Perwali.