News
Bupati Kornelis Kodi Mete Minta Stop Kawin Tangkap, Simak Kisah Korban Citra Ini, Bikin Merinding
Kornelius Kodi Mete meminta masyarakat Sumba Barat Daya untuk menghentikan kawin tangkap karena melanggar hak asasi manusia khususnya perempuan.
Penulis: Petrus Piter | Editor: Benny Dasman
Laporan Wartawan Pos Kupang, Com, Petrus Piter
POS KUPANG, COM, TAMBOLAKA - Bupati Sumba Barat Daya (SBD), dr. Kornelius Kodi Mete meminta masyarakat Sumba Barat Daya untuk menghentikan kawin tangkap karena melanggar hak asasi manusia khususnya perempuan.
"Bila hal itu terjadi maka akan berurusan dengan proses penegakan hukum," ujar Bupati Sumba Barat Daya, dr.Kornelius Kodi Mete melalui pesan singkat WhatsApp kepada Pos Kupang, Sabtu (18/7).
Menurutnya, bila hal itu sampai kembali terjadi maka harus dilihat kronologi dari peristiwa tersebut. Bila peristiwa benar-benar melanggar ketentuan perundangan yang berlaku maka harus diproses sesuai hukum positif yang berlaku.
Karena itu, ia menghimbau masyarakat Sumba Bara .Daya stop melakukan kawin tangkap demi kebaikan bersama daerah ini.
Menurut Kornelis, dirinya bersama Bupati Sumba Barat, Drs.Agustinus Niga Dapawol, Bupati Sumba Tengah, Drs. Paulus SK Limu dan Bupati Sumba Timu, Gidion Mbilijora telah menadatangani kesepakatan bersama stop kawin tangkap di Pualu Sumba yang dihadiri langsung Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak indonesia, I Gusti Ayu Bintang Darmawati bulan lalu di Waingapu, Sumba Timur.
Kesepakatan itu dibuat setelah muncul video viral pada akhir Juni lalu yang memperlihatkan seorang perempuan di Sumba dibawa secara paksa oleh sekelompok pria dalam sebuah praktik yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan kawin tangkap atau penculikan untuk perkawinan.
Terjadinya kasus kawin tangkap di Sumba ini mendorong berbagai lembaga seperti LSM, akademisi di wilayah Sumba dan luar Sumba membentuk Tim Stop Kawin Tangkap pada tanggal 29 Juni 2020 untuk melakukan penelusuran di Pulau Sumba.
Menurut salah satu anggota tim, Tori Ata, SH, dari penelusuran tim ini, sejumlah korban kawin tangkap mengungkapkan keluh kesah mereka.
Disebutkan, R (21 tahun), warga Kecamatan Katikutana Selatan, Anakalang, Kabupaten Sumba Tengah menjadi korban kawin tangkap pada tanggal 16 Juni 2020.
R ditangkap beberapa laki-laki dan dibawa secara paksa ke rumah N (seorang laki-laki yang tidak dikenalnya).
"Saya tidak mau, saya tidak mau! Saya mau sekolah," teriak R saat ditangkap sejumlah lelaki.
Disebutkan, R terus berusaha melawan dan berontak. Tapi ia tidak dapat melepaskan diri dari cengkeraman para lelaki yang menculiknya dan membawanya secara paksa.
Sebelum menangkap R, maka N meminta rombongannya terlebih dahulu mengikatkan seekor kuda di halaman rumah R.
"Kalau mau ambil anak saya, jangan dengan cara seperti ini karena masih ada cara yang lebih baik," kata orantua R kepada tim.
Tetapi rombongan itu tidak mempedulikan dan R tetap dibawa. Sejak peristiwa penculikan, R dikurung di rumah pelaku dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Korban lainnya Citra, bukan nama sebenarnya kepada BBC News Indonesia melalui telepon, Senin (6/7) menceritakan praktik 'kawin tangkap' yang dia alami saat tinggal di Kabupaten Sumba Tengah pada 2017.
Ia mengaku ditangkap dan ditahan selama berhari-hari oleh pihak keluarga yang menginginkannya sebagai menantu.
Pada Januari tahun lalu itu, Citra bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat setempat dan diminta ikut rapat oleh pihak yang ia sebut janggal dari keseharian tugasnya. Meski demikian, ia memenuhi tanggung jawabnya dan menghadiri pertemuan itu.
Kira-kira satu jam setelah pertemuan itu berjalan, Citra mengatakan bahwa mereka meminta untuk berpindah lokasi. Citra mengiyakan dan hendak menghidupkan mesin motornya ketika sejumlah orang tiba-tiba mengangkat dan membawanya ke dalam sebuah mobil.
Wanita yang saat itu berusia 28 tahun tersebut menjerit dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri.
"Tapi, saat itu ada dua orang yang memegang saya di belakang (mobil). Saya tidak punya kekuatan," tuturnya sambil mengingat kejadian itu kepada .
Dalam perjalanan, ia mengirimkan SMS kepada keluarga dan pacarnya saat itu untuk mengatakan bahwa ia dibawa lari.
"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya menjalankan ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," jelas Citra.
Dirinya terus melakukan perlawanan dan berusaha untuk mengelak dari ritual-ritual yang dianggap dapat membantu menenangkan perempuan yang ditangkap, seperti penyiraman air pada dahi.
"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," kata Citra.
Ia menambahkan, pihak pelaku mengatakan bahwa mereka melakukan hal tersebut karena sayang kepadanya.
Hal itu dibantah oleh Citra yang menganggap perlakuan itu salah. Segala upaya dan rayuan dilakukan demi mendapatkan persetujuan Citra dan keluarganya.
"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air, tapi saya tidak mau," tutur wanita yang kini berusia 31 tahun itu.
"Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic -jadi kalau kita minum air, atau makan nasi pada saat itu, kita bisa, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau -saat kita kena magic kita bisa bilang iya."
Selama beberapa hari, Citra masih menolak untuk makan dan minum.
"Karena terus menangis sepanjang malam, tidak tidur, saya rasa benar-benar sudah mau mati," katanya.
Adik Citra kemudian datang membawakan makan dan minum sambil proses negosiasi berdasarkan adat berjalan. Akhirnya pada hari keenam, keluarga Citra, didampingi pihak pemerintah desa dan LSM, berhasil membawa dia pulang.
Rendahkan Martabat Perempuan
Menurut data yang dikumpulkan Aprissa Taranau, ketua Badan Pengurus Nasional Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (PERUATI) Sumba, setidaknya ada tujuh kasus kawin tangkap sepanjang 2016 hingga Juni 2020, termasuk kejadian yang menimpa Citra.
Beberapa perempuan berhasil melepaskan diri, sementara tiga di antara mereka melanjutkan perkawinan. Dua kasus yang paling terkini terjadi pada 16 dan 23 Juni lalu, di Sumba Tengah. Salah satu perempuan akhirnya menikah.
Kasus-kasus tersebut, kata Aprissa, lebih banyak terjadi di Sumba Barat Daya dan Sumba Tengah. Pegiat perempuan itu mendorong penghentian praktik yang ia sebut merendahkan martabat perempuan.
"Kawin tangkap ini hanya menghasilkan kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan, secara fisik, seksual, psikis, belum lagi stigma kalau ia keluar dari perkawinan yang dia tidak inginkan.
Anggota DPRD NTT daerah pemilihan Sumba, Kristien Samiyati Pati yang ditemui Pos Kupang di Kupang, Jumat (10/7) mengatakan, kasus kawin lari atau kawin tangkap yang viral di medsos itu mencederai budaya Sumba.
"Tidak ada budaya kawin tangkap. Ketika viral di medsos kami merasa terganggu. Saya bangga menjadi orang Sumba walau image orang belis mahal. Belis itu menghargai harkat dan martabat wanita. Prosesnya ribet dan panjang tapi itu warisan leluhur yang saat ini tidak utuh lagi diterapkan," kata anggota Fraksi Nasdem ini.
Wakil rakyat asal Sumba ini mengatakan, saat ini praktek belis di Sumba sudah disesuaikan dengan perkembangan zaman. Saat ini sudah menurun karena ternak seperti kerbau, kuda, sapi dan babi populasinya sudah menurun.
Sedangkan mamoli tetap dipertahankan karena itu simbol penghargaan terhadap ibu yang melahirkan anak gadis yang dipersunting. Mamoli itu replika rahim wanita dan harus terbuat dari emas asli.
Kristien menjelaskan, proses perkawinan adat dimulai dengan kunjungan delegasi keluarga pria ke rumah orang tua wanita.
Jika delegasi itu diberikan kain, berarti keluarga wanita menyetujui untuk dilanjutkan ke proses selanjutnya masuk minta yang ditandai dengan belis dari keluarga pria dan balasan dari keluarga wanita. Puncaknya pada acara pemindahan perempuan (pandiki).
Proses ini menandakan resmi perempuan itu menjadi hak pria dan keluarganya. Prosesnya cukup panjang dan adatnya timbal balik.
Lanjut Kristien, kasus kawin tangkap bisa terjadi karena tahapan adatnya tidak dipenuhi tapi cinta sudah menyatu sehingga perempuan lari ikut. Dulu memang ada kawin tangkap tapi dilakukan dengan hormat melalui adat yang luar biasa.
Kasus kawin tangkap itu, kata Kristien, konotasinya negatif. Pemale ngindi mawine (bawa lari itu benar tapi dalam hal mana dulu).
Membangun rumah tangga bukan hal yang gampang jadi harus dihargai, tidak ada perceraian karena prosesnya panjang. Dulu adatnya kaku, tapi sekarang sudah lentur.
Dulu perempuan sulung harus gantikan belis mamanya, misalnya mama dibelis 100 ekor kerbau, anak perempuan sulung juga harus begitu, tapi sekarang tidak lagi. *