Opini Pos Kupang

Kisruh Data Bansos dan Potensi Kekerasan Ekonomi

Penyebaran Covid-19 telah merusak pelbagai sendi kehidupan. Sektor ekonomi mendapat sumbangan besar pada efek destruktif virus Corona

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Kisruh Data Bansos dan Potensi Kekerasan Ekonomi
Dok
Logo Pos Kupang

Oleh: Stef Sumandi, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kabupaten Sikka

POS-KUPANG.COM - Penyebaran Covid-19 telah merusak pelbagai sendi kehidupan. Sektor ekonomi mendapat sumbangan besar pada efek destruktif penyebaran virus Corona.

Meski beberapa daerah sudah memasuki era new normal namun peroslana data bantuan sosial masih saja beluam selesai. Atrinya ada banyak rakyat yang miskin belum nedapat bantuan sama sekali. Kondisi ini pula akan menciptakan kemiskinan terselubung maupun terbuka bahkan terkategori kekerasan ekonomi.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan memperkirakan angka kerugian akibat pandemi Covid-19 di Indonesia mencapai Rp 320 triliun selama kuartal I-2020. Hal itu dikarenakan ekonomi nasional merosot sekitar 2,03 persen.

Terima Kasih TransNusa

Kepala Pusat Kebijakan Makro BKF, Hidayat Amir mengatakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen pada kuartal I-2020. Angka itu lebih rendah dibandingkan periode sama tahun sebelumnya yang di kisaran 5 persen.

Jadi ada lost potential growth dari 5 persen ke 2,97 persen, ada sekitar 2,03 persen atau 2 persen. Jika dihitung, maka total potensi kerugian negara akibat COVID-19 sekitar Rp 320 triliun dari PDB saat ini sekitar Rp 15.800 triliun dikalikan 2 persen. (Sumber: video conference, Jakarta, Selasa (2/6/2020).

105 Calon Siswa Baru Daftar pada Hari Pertama PPDB Online di SMAN 1 Bajawa

Dari data penurunan ekonomi negara itu, peningkatan jumlah angka kemiskinan pun cenderung naik. Dari catatan pemerintah dapat ditotalkan dengan dua skenario yakni berat dan sangat berat. Skenario sangat berat sekitar 3,78 juta orang. Sedangkan skenario berat sekitar 1,09 juta orang. Jauh di atas proyeksi Bappenas hanya 2 juta orang pada kondisi terburuk. Asumsi angka itu kalau dirincikan menurut catatan pemerintah sebagai berikut:

No Daerah Berat Sangat Berat

1 Pulau Jawa 0,64 juta orang 2,13 juta orang
2 Pulau Sumatera 0,28 juta orang 0,85 juta orang
3 Pulau Bali dan Nusa Tenggara 0,07 juta orang 0,25 juta orang
4 Pulau Kalimantan 0,06 juta orang 0,18 juta orang
5 Kepulauan Maluku dan Papua 0,04 juta orang 0,13 juta orang

Sumber: Detik Finance, Sabtu 20/5/2020

Kekerasan Ekonomi Rumah Tangga

Istilah kekerasan digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt), atau tertutup (covert), baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (defensive), yang disertai oleh penggunaan kekuatan kepada orang lain.

Pasal 1 ayat 1, UU No. 23 tahun 2004, mendefinisikan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Biasanya kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar, meliputi (a) kekerasan fisik (b) kekerasan psikologis, (c) kekerasan seksual, (d) kekerasan ekonomi. (http://ditjenpp.kemenkumham.go.id)

Terkait pandemi Covid-19, penulis menyadari sungguh bahwa ketika negara hendak melindungi seluruh tumpah darah Indonesia maka negara wajib menciptakan aturan yang dapat mencegah kejadian fatal. Karena itu pula sudah benar kalau pemerintah menerapkan aturan bekerja, belajar dan berdoa dari rumah.

Keputusan ini agar dapat memutus mata rantai penyebaran virus Corona. Begitupula halnya pemerintah memberikan batasan protokoler mengahadapi Covid-19 dengan jaga jarak, pakai masker dan sering mencuci tangan. Sedangkan pasien Covid-19 diwajibkan isolasi mandiri atau terpusat dengan dipantau secara ketat oleh tim gugus tugas Covid-19.

Namun, kondisi ini justru menekan laju pertumbuhan ekonomi. Rakyat kecil dan tak berdaya sangat merasakan dampaknya. Lain hal dengan pekerja formal yang mendapat upah setiap bulan. Itupun ada banyak tenaga kerja yang dirumahkan tanpa kepastian hidup mereka.

Kondisi tersebut menciptakan kekerasan dalam kehidupan keluarga. Orang-orang yang harus bertanggung jawab menafkahi keluarga harus kehilangan pekerjaan. Akibatnya jutaan orang kehilangan kebahagiaan dan tertekan menghadapi masalah ekonomi keluarga.

Menurut UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi; atau menelantarkan anggota keluarga.

Jikalau ditimbang secara saksama, ketika membatasi orang untuk bekerja dari dalam atau di luar rumah yang menghasilkan uang atau barang tetapi tidak memenuhi kebutuhan hidupnnya merupakan bentuk kekerasan ekonomi berat. Ini lebih berat dari melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

Kebijakan Negara

Negara menyadari efek destruktif berupa kekerasan ekonomi berat ketika mewajibkan orang tetap tinggal di rumah pada saat pandemi Covid-19. Karena itu ada banyak program diberikan kepada rakyat yang membutuhkannya.

Kewajiban negara itu diberikan melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bersumber dari APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten dan APB Desa. Negara juga menyediakan Bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Berikut ada pula Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).

Selanjutnya negara menyiapkan program insentif bagi petani dan nelayan juga program padat karya tunai lainnya.

Namun, carut marut data di lapangan membuahkan bencana baru di negeri ini. Demonstrasi terjadi di kota bahkan desa-desa mendesak pemerintah memenuhi kebutuhan warga ketika harus tinggal di rumah dan tidak bekerja.

Ada juga protes karena justru yang mendapat bantuan adalah kepala desa, aparatur desa dan keluarganya. Sementara rakyat kecil ditiadakan. Ini dapat dikategorikan kekerasan ekonomi berat karena negara mewajibkan orang berdiam di rumah tetapi tidak memenuhi kebutuhan warga negara. Kondisi inipun melahirkan efek domino kekerasan.

Orang bisa saja mengeksploitasi diri dan orang lain demi memenuhi kebutuhan pribadi. Ada pula yang mengalami gangguan psikis, depresi dan sejenisnya. Berikut kekerasan ekonomi lainnya berupa penelantaran anggota keluarga.

Optimalisasi Sektor Ekonomi

Terhadap persoalan dihadapi, hemat saya ada hal yang rumit terkait data yang tidak kaurat akan berakibat pada absennya negara memenuhi hak-hak rakyat yang secara langsung berdampak pada kekerasan ekonomi. Untuk itu hal yang harus dilakukan adalah:

Pertama, Pemerintah harus segera meng-update data penduduk miskin. Sebab kelihatan data yang digunakan saat ini adalah data dari beberapa tahun yang lalu sehingga ada anggota BPD, aparatur desa dan pekerja formal lain juga orang yang telah meninggal pun masih mendapat bantuan.

Adapun orang sayng telah meninggal dunia terdata sebagai penerima bansos. Miris memang. Kondisi ini menandakan selama ini negara ini dibangun tanpa data yang akurat. Daerah-daerah pun demikian.

Para Kepala Daerah mengimplementasikan program kerja tanpa data akurat makanya semakin banyak anggaran dihabiskan tetapi tingkat kemiskinan justru terus meningkat setiap tahun. Bisa jadi data kemiskinan itupun direkayasa sebaliknya klaim keberhasilan pun demikian.

Berikut kalau data sekarang terupdate maka patut diduga ada pihak yang sengaja menginpu data tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan pmerintah pusat.

Kedua, pemberdayaan UMKM. Oleh karena banyak perusahan ditutup dan terjadi PHK dimana-mana maka geliat ekonomi keluarga mesti banting setir menjadi pengusaha sendiri di rumah. Hal ini harus mengandaikan negara bisa memfasilitasi dengan pelatihan.

Hemat saya, program Kartu Prakerja mesti membawa efek pada perumbuhan ekonomi domestik. Karena itu program ini harus berhasil menciptakan banyak wirausahawan muda. Bukan sebaliknya mengasilkan banyak penganggur. Untuk itu stimulan modal usaha melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) harus dipermudah.

Sebab pengalaman di daerah-daerah justru rakyat kecil sangat sulit mengakses dana KUR ini.

Peluang pasar bagi UMKM di daerah sangat sulit selayaknya seekor untah masuk lubang jarum. Betapa tidak? Pengusaha dengan modal besar sering melibas usaha ekonomi dari rakyat kecil.

Disana kadang pemerintah berlaku seperti Pilatus yang cuci tangan ketika Yesus hendak dihukum mati. Pemerintah dalam kondisi ini pasrah pada hukum pasar. Padahal di setiap sekretariat daerah daerah ada OPD Bagian Ekonomi dan OPD Dinas Perindustrian Perdaganagan dengan tugas pengendali harga pasar.

Penulis menduga ada oknum pemerintah daerah yang justru ikut bermain bersama pemodal besar itu. Ada yang lebih buruk dari cuci tangan itu adalah sikap permisif pemerintah daerah ketika membiarkan persaingan pasar yang tidak sehat itu agar tidak kehilangan simpati dari pemodal. *

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved