Biaya Kuliah di Australia Dirombak Biaya untuk Beberapa Jurusan Dipotong Ini yang Naik 2 Kali Lipat
Pemerintah Australia telah mengumumkan perombakan biaya dan anggaran pendidikan tinggi, hari Jumat (19/6/2020).
Soal Biaya Kuliah di Australia Dirombak, Biaya untuk Beberapa Jurusan Naik Dua Kali Lipat, Ini yang Dipotong
POS-KUPANG.COM - Biaya kuliah di sejumlah bidang ilmu humaniora di universitas Australia akan naik berlipat ganda, namun biaya beberapa jurusan "yang relevan dengan pekerjaan yang dibutuhkan" malah akan dipotong.
Pemerintah Australia telah mengumumkan perombakan biaya dan anggaran pendidikan tinggi, hari Jumat (19/6/2020).
Menteri Pendidikan Australia, Dan Tehan juga mengumumkan 39.000 tambahan mahasiswa lokal Australia yang akan didanai Pemerintah Australia di tahun 2023.
Angka permintaan untuk tahun ajaran 2021 sudah melonjak, dengan perkiraan yang datang dari 20.000 siswa kelas 12, yang biasanya menunda masuk universitas karena memanfaatkan jeda tahun ajaran setelah lulus SMA, atau 'Gap Year'.
Kini mereka memilih untuk melanjutkan ke bangku kuliah, karena ancaman pengangguran akibat pasar kerja yang buruk serta masih tertutupnya perbatasan Australia.
"Kami menghadapi tantangan ketenagakerjaan terbesar sejak era Depresi Hebat," kata Menteri Pendidikan Dan Tehan di National Press Club hari ini.
"Dampak terbesar akan dirasakan oleh kaum muda Australia. Mereka mengandalkan kami untuk memberi mereka kesempatan agar bisa berhasil dalam pekerjaan di masa depan," tambahnya.
Ilmu humaniora sama mahalnya dengan Kedokteran
Pemerintah Australia kini mengambil strategi dengan menurunkan biaya kuliah untuk bidang ilmu dari industri yang diyakini akan mendorong pertumbuhan pekerjaan.
Jurusan seperti Keperawatan, Psikologi, Bahasa Inggris, Bahasa, Edukasi, Agrikultur, Matematika, Sains, Kesehatan, Ilmu Lingkungan dan Arsitektur akan lebih murah.
Pemerintah Australia akan meningkatkan bantuannya kepada biaya kuliah di jurusan-jurusan tersebut, sehingga mahasiswa lokal bisa hanya membayar antara AU$3.700 dan AU$7.700 per tahun.
Namun, siswa yang mendaftar untuk belajar Ilmu Hukum dan Perdagangan akan dikenakan biaya 28 persen lebih mahal.
Untuk Ilmu Humaniora, biayanya bisa menjadi dua kali lipat lebih mahal, bahkan dengan harga tertinggi yakni A$14.500 per tahun, sama seperti halnya Ilmu Hukum dan Perdagangan.
Perubahan biaya kuliah ini akan menambah kritikan kepada sejumlah universitas di Australia, yang sebelumnya banyak dikritik karena terlalu mengejar sisi bisnisnya.
"Mahasiswa akan punya pilihan," kata Dan Tehan, Menteri Pendidikan Australia.
"Mereka akan membayar lebih murah jika mereka memilih gelar yang memiliki pertumbuhan kesempatan kerja."
Bertujuan untuk meningkatkan peluang kerja
Pemerintah Australia mengatakan prioritasnya telah ditentukan oleh pemodelan sebelum pandemi COVID-19 yang menunjukkan akan ada pertumbuhan lapangan kerja hingga 62 persen untuk bidang Keperawatan, Sains dan Teknologi, Pendidikan dan Konstruksi.
Kebijakan merombak biaya ini bertujuan untuk meningkatkan pekerjaan lulusan universitas sebesar 72,2 persen, lebih rendah daripada lulusan sekolah kejuruan, sebesar 78 persen.
Mahasiswa kedokteran, kedokteran hewan, atau perawat tidak akan melihat perubahan dalam biaya pendidikan mereka, yaitu sekitar AU$11.300 per tahun.
Perubahan biaya kuliah ini tidak akan mempengaruhi siswa yang saat ini sudah menjalani pendidikannya, ujar Pemerintah Australia.
Namun, mahasiswa yang berkuliah di jurusan yang harganya turun akan dapat mengambil keuntungan dari pengurangan biaya tersebut mulai tahun depan.
'Universitas bukan pabrik pekerjaan'
Serikat Mahasiswa Nasional Australia (NUS) mengatakan biaya yang lebih rendah akan memberikan "peluang positif" kepada beberapa mahasiswa, tetapi dengan mengorbankan ratusan ribu lain mahasiswa lain yang gelarnya tidak dianggap "layak".
"Universitas bukan pabrik pekerjaan, sehingga upaya menyesuaikan biaya … akan merugikan sektor pendidikan, saat kami sudah rugi miliaran dolar dan pemotongan ratusan staf," kata serikat pekerja dalam sebuah pernyataan.
"Kami membutuhkan dana, bukan menyerang mahasiswa."
"Menjadi mahasiswa seharusnya bukan hukuman utang, tetapi Pemerintah malah memaksa para pekerja di masa depan untuk menjadi budak utang seumur hidupnya."
Presiden Serikat Pendidikan Tersier Nasional (NTEU), Alison Barnes mengatakan "mengeksploitasi mahasiswa" tidak akan memperbaiki "krisis pendanaan kuliah".
"Dan Tehan memberi tahu mahasiswa yang mempelajari ilmu humaniora, hukum, dan perdagangan bahwa mereka harus mendanai biaya pandemi. Ini tidak masuk akal."
Lembaga Universities Australia telah dihubungi ABC untuk memberikan komentar.
Susan Forde, dari jurusan jurnalisme Griffith University, adalah di antara sejumlah akademisi menyebut kebijakan perombakan biaya ini sebagai "pukulan bagi kemanusiaan, ketika kita harus memahami dunia lebih dari sebelumnya".
Tetapi Catherine Friday, dari bidang pendidikan di firma akuntansi global 'Ernst and Young' mengatakan perubahan biaya kuliah akan baik untuk ekonomi dan pekerjaan.
"Karena pendidikan publik menghasilkan baik produk privat dan publik, ada dorongan kuat di sini untuk memaksimalkan keduanya. Salah satunya dengan memperkecil pendaftaran pendidikan tinggi seperti Ilmu Hukum, di mana permintaan jumlah pengacara tidak tumbuh dan tidak pernah mendekati laju jumlah sarjana hukum setiap tahun, "katanya.
Pendaftar universitas naik dua kali lipat
Di tengah pandemi virus corona, kekhawatiran pelajar bertambah lagi karena apakah mereka akan bisa mendapat tempat di universitas tahun depan.
Siswa kelas 12 di Sydney Barat, Amelie Aiko Loof bermimpi menjadi dokter kandungan.

Tertarik mendalami ilmu tubuh manusia dan termotivasi untuk membantu perempuan hamil, Amelie sudah tahu pilihan universitasnya.
Meski biaya kuliah ilmu kedokteran tidak naik, tapi ia terpaksa harus menunda keinginan lainnya untuk keluar negeri.
"Saya tadinya berharap bisa belajar di Jerman. Tetapi sebelumnya, saya juga berencana berjalan-jalan selama beberapa bulan melihat dunia. Mungkin ke Eropa dan Amerika juga," katanya.
Tapi Amelie sekarang akhirnya mendaftar untuk belajar kedokteran di University of Sydney.
Setidaknya puluhan teman-temannya juga mengalami permasalahan yang sama.
Di beberapa negara bagian, aplikasi pendaftaran masuk universitas sudah dua kali lipat dari biasanya.
"Saya pikir akan ada lebih banyak kompetisi dari biasanya untuk masuk ke jurusan yang diinginkan orang," kata Amelie.
Perkiraan biaya yang dikeluarkan mahasiswa per tahun:
1. Teaching, clinical psychology, English, maths, nursing, languages, agriculture AU$3.700
2 Allied health, other health, architecture, IT, creative arts, engineering, environmental studies, science AU$7.700
3 Medical, dental, veterinary science AU$11.300
4 Law & economics, management & commerce, society & culture, humanities, communications, behavioural science AU$14.500.
Isu Sistem Migrasi di Australia
Jumlah pekerja migran yang besar menjadi salah satu penopang perekonomian Australia.
Tapi sejak perbatasan Australia ditutup akibat pandemi virus corona, jumlah pendatang menurun tajam, yaitu sebesar 30 persen di akhir tahun keuangan 2020.
Di tengah menurunnya pendapatan Australia dan naiknya angka penganguran, kurangnya pendatang malah disebut-sebut sebagian warga Australia sebagai hal yang tidak buruk.
Seperti yang dinyatakan oleh juru bicara soal imigrasi dari Partai Buruh, Senator Kristina Keneally, yang pada dasarnya mengatakan bahwa "pasokan murah" pekerja migran telah merebut jatah pekerjaan warga Australia dan menurunkan upah mereka.
Pernyataannya dalam sebuah artikel tersebut mengundang sejumlah tanggapan, termasuk tuduhan sebagai seorang rasis.
"Pemulihan ekonomi pasca COVID-19 nanti harus menjamin pergeseran dari ketergantungan [Australia] pada pasokan pekerja murah dari luar negeri, yaitu pekerja sementara yang membuat gaji pekerja Australia turun dan mengambil jatah kerja warga Australia," tulisnya.
Bantahan Pemerintah Australia

Menteri Imigrasi Australia, Alan Tudge, membantah argumen Senator Kristina dengan mengatakan "Pemerintah Australia sangatlah berhati-hati" untuk memprioritaskan warganya, terutama dalam hal penyediaan jatah kerja bagi mereka.
Ia mengatakan tenaga kerja Australia sudah dilindungi oleh aturan 'labour market testing' yang mewajibkan pemberi pekerjaan untuk mengiklankan lowongan bagi tenaga kerja lokal terlebih dahulu, sebelum menjangkau warga negara asing.
Namun, kenyataannya, 'labour market testing' tidak berlaku bagi tenaga kerja dari negara-negara yang terikat perjanjian perdagangan internasional dengan Australia.
Negara tersebut meliputi China, Jepang, Meksiko, Thailand, Vietnam, Kanada, Chili, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Singapura.
Kelompok bisnis di Australia menilai sistem tersebut tidak berdampak signifikan dalam memastikan warga Australia akan diutamakan dalam pemberian kerja.
Pelajar mendominasi lapangan kerja migran
Satu hal yang dilewatkan oleh Menteri Alan adalah perbandingan jumlah pemegang visa Australia telah berubah beberapa tahun belakangan ini.
Jumlah pemegang visa dengan izin kerja kini lebih besar daripada pemegang visa permanen lainnya, seperti visa jenis 'permanent family'.
Di tengah menurunnya angka visa 'skilled' atau izin tinggal karena memiliki keterampilan, baik yang sifatnya permanen maupun sementara, proporsi pemegang visa pelajar, yang juga memberikan izin kerja, justru meningkat pesat.
Secara signifikan, proporsi pemegang visa 'student' di Australia naik, dari awalnya 9,8 persen dari menjadi 13,7 persen.
Sementara itu, proporsi pemegang visa 'temporary skilled' atau izin tinggal sementara berdasarkan keterampilan, malah menurun menjadi 2,8 persen dari sebelumnya 4,8 persen di tahun 2012-13.
Di sisi lain, jumlah pemegang visa 'permanent skilled' atau izin tinggal permanen berdasarkan keterampilan, yang tadinya adalah sebesar 4,9 persen di tahun 2012-13 menurun menjadi 3,7 persen di tahun 2018-19.
Sistem di Australia mungkin terlihat semakin "menutup pintu" bagi migran untuk dapat tinggal selamanya di Australia dan tidak lagi mengutamakan keterampilan.
Tapi bukan berarti tuduhan jika migran selama ini mengambil jatah pekerjaan warga Australia adalah benar.
Apakah benar migran mencuri jatah?
Sayangnya, beberapa bukti yang ada belum bisa menjawab pertanyaan ini.
Seperti dikatakan oleh profesor bidang ekonomi dari Australian National University (ANU), Robert Breunig, yang telah membuat pemodelan dampak skema 'skilled migration' dalam lapangan kerja dan upah.
Menurut analisa Profesor Robert, dengan bertambahnya jumlah pekerja akibat migrasi, secara otomatis upah seharusnya menjadi lebih murah.
Namun, di saat yang bersamaan, penambahan jumlah pekerja cenderung meningkatkan tingkat produktivitas, yang sebaliknya, menaikkan jumlah upah.
Profesor Robert mengatakan dua dampak yang saling menyeimbangkan ini, di banyak kesempatan, telah menetralkan satu sama lain.
"Kami menemukan angka nol besar," kata Profesor Robert kepada tim Cek Fakta ABC.
Kesimpulan yang bisa diambil saat ini
Analisa ABC Fact Check ini tetap tidak bisa menjawab pertanyaan Senator Kristina, yaitu 'apakah 'low skilled migrant' atau migran kurang keterampilan, seperti siswa atau pemegang Work & Holiday Visa (WHV), telah mengambil jatah pekerjaan dan memotong upah.
Hal lain yang patut dipertimbangkan adalah kenyataan berdasarkan penelitian John Daley dari Grattan Institute, "Australia sedang menjalankan sistem migrasi bagi migran dengan keterampilan sedikit".
"Orang-orang dari sistem ini membangun proporsi tenaga kerja muda," kata Dr John.
Namun, untuk menilai dampaknya sangatlah rumit, mengingat migran berketerampilan sedikit ini bersedia bekerja dengan upah rendah dan beberapa perusahaan sudah melakukan hal tersebut.
Tapi karena perusahaan dan pekerja asing tidak mau mengakui hal ini, data yang tersedia 'tidak dapat dipungkiri, kurang akurat', menurut Dr John.
Ada juga beberapa kritik besar, baik dari serikat pekerja dan kelompok bisnis, yang berpendapat sistem visa saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pertanyaan yang lebih besar adalah apakah dengan samkin banyaknya pendatang dengan jenis visa yang mengizinkan bekerja, seperti visa pelajar dapat mengurangi lapangan pekerjaan di Australia.
Ada beberapa bukti yang menunjukkan bisa terjadi, meskipun sulit untuk menjawab secara empiris.
Yang jelas Alan Tudge, sebagai Menteri Imigrasi Australia tidak membeberkannya secara lengkap, hanya mengatakan bahwa pekerja Australia telah mendapat prioritas.
Artikel ini diproduksi oleh ABC Indonesia