Virus Corona
Cerita 2 Penumpang Pesawat Lion Air Positif Covid-19, Surat Test PCR Patut Dipertanyakan
Mengantongi surat bebas virus corona ternyata tidak menjamin seseorang bebas Covid-19.
Cerita 2 Penumpang Pesawat Lion Air Positif Covid-19, Surat Test PCR Patut Dipertanyakan
POS-KUPANG.COM - Mengantongi surat bebas virus corona ternyata tidak menjamin seseorang bebas Covid-19.
Ceritanya, otoritas Bandara Minangkabau, Padang, mendeteksi dua orang penumpang maskapai Lion Air yang positif Covid-19
Padahal keduanya dinyatakan memenuhi syarat untuk melakukan perjalanan udara dari Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, 3 Juni lalu.
Sebelumnya, otoritas Bandara Sam Ratulangi, Manado, juga menemukan setidaknya 13 orang penumpang positif Covid-19 yang terbang dari Soekarno-Hatta.
Merujuk temuan itu, pemerintah didesak mengubah perizinan untuk penumpang transportasi umum antarwilayah. Apalagi larangan mudik sudah berakhir, Selasa (9/6).
Setiap orang yang ingin melakukan perjalanan dalam negeri dengan transportasi umum, baik bus, kapal, kereta api, maupun pesawat, harus menunjukkan surat uji tes PCR dengan hasil negatif Covid-19.
Dalam Surat Edaran 7/2020 Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, surat tes PCR itu harus berlaku tujuh hari.
Selain hasil tes reaksi rantai polimerase itu, para calon penumpang juga bisa menunjukkan surat tes cepat dengan hasil non-reaktif yang berlaku tiga hari.
Satu opsi dokumen lain yang bisa digunakan calon penumpang adalah surat keterangan bebas gejala penyakit yang berhubungan dengan influenza.

Namun anggota Ombudsman, Alvin Lie, menganggap tidak satupun dari tiga dokumen medis tadi yang bisa menjamin calon penumpang tidak tertular atau menularkan virus corona selama perjalanan.
Alasannya, kata dia, ada jeda beberapa hari antara uji medis, penerbitan hasil tes, dan jadwal perjalanan sang calon penumpang.
"Tes itu bukan vaksinasi, tapi hanya potret sesaat ketika sampel diambil. Setelah itu, karena tetap bisa bertemu orang lain, dia bisa saja tertular, baik setelah pengambilan sampel atau ketika berangkat," kata Alvin saat dihubungi.
Untuk memastikan setiap penumpang bebas Covid-19, menurut Alvin, uji medis harus dilakukan pemerintah di bandara, terminal, stasiun, dan pelabuhan.
Alvin berpendapat, sebelum hasil uji medis itu diketahui, pemerintah juga mesti mengisolasi calon penumpang.
"Idealnya, bandara menyediakan fasilitas uji Covid, baik rapid test atau PCR," ujarnya.
"Setelah pengambilan sampel, calon penumpang harus dikarantina, tidak boleh bertemu siapapun. Begitu hasilnya keluar, dia harus langsung berangkat."
"Kalau tidak ada perubahan itu, kasus penularan akan terus berulang," kata Alvin.

Namun usul membebankan pemeriksaan medis dan karantina calon penumpang ke pemerintah dianggap tidak masuk akal oleh Brian Sriprahastuti, analis kebijakan kesehatan sekaligus tenaga ahli Kantor Staf Presiden.
"Seseorang yang baru melakukan tes PCR dan tes cepat, dia harus mengisolasi dan menjaga diri sampai hasil keluar. Itu tidak perlu diatur, setiap orang seharusnya tahu," ucap Brian.
Brian mengatakan, kalaupun hasil tes menyatakan seorang calon penumpang negatif atau non-reaktif Covid-19, orang itu juga wajib mengikuti protokol selama perjalanan.
"Hasil tes PCR adalah salah satu indikator seseorang boleh melakukan perjalanan. Sebelum perjalanan, ada screening karena bisa saja setelah tujuh hari gejalanya muncul."
"Di bandara, health alert card wajib diisi penumpang. Selama perjalanan penumpang juga harus pakai masker, cuci tangan, jaga jarak, dan menghindari kerumunan," kata Brian.
Tidak menjamin 100%

Kepala Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas 1 Bandara Soekarno-Hatta, Anas Ma'ruf, menyebut pihaknya tidak bisa menjamin 100% perjalanan udara yang bebas risiko penyebaran Covid-19.
Anas berkata, otoritas hanya mampu meminimalisir risiko itu, bukan cuma untuk penumpang, tapi juga maskapai.
"Langkah yang dilakukan pemerintah adalah upaya mitigasi atau mengurangi penyebaran Covid. Caranya, memastikan pesawat sehat, sehingga ada prosedur pembersihan pesawat," tuturnya via telepon.
"Kru pesawat juga harus sehat sehingga setiap maskapai menjalankan tes kepada mereka secara rutin."
"Penumpangnya pun harus sehat, kami cek suhunya, juga dokumen kesehatannya. Itu semua dalam rangka mengurangi kemungkinan. Apakah 100% menjamin? Tentu tidak," kata Anas.

Bagaimanapun, Alvin Lie menilai potensi penularan Covid-19 di antara penumpang pesawat tidak akan lebih tinggi ketimbang penumpang kapal atau transportasi darat.
Alvin berpendapat, tradisi pemeriksaan dokumen secara ketat bandara tidak ditemukan di terminal bus atau pelabuhan.
"Penerbangan paling tertib. Jumlah penumpang terbatas, operator cenderung tertib, dan pengendalian juga ketat. Yang saya khawatirkan justru non-penerbangan," ujarnya.
Hingga berita ini diturunkan, setiap provinsi memiliki kebijakan berbeda untuk penumpang transportasi umum yang tiba di wilayah mereka.
Pemprov Sumatera Barat misalnya, mewajibkan semua penumpang pesawat yang turun di Padang untuk menjalani tes PCR gratis di bandara. Dari kebijakan itulah, dua penumpang Lion Air dari Soekarno-Hatta terdeteksi positif Covid-19.
Pemprov Sulawesi Utara juga pernah memberlakukan kebijakan yang sama, termasuk untuk penumpang yang tiba di Pelabuhan Bitung. Namun ketentuan itu hanya berlaku hingga akhir Mei lalu.
Selain surat edaran Gugus Tugas, untuk menghadapi yang disebut sebagai 'tatanan baru' Kementerian Perhubungan juga mengeluarkan ketentuan untuk penyedia layanan transportasi umum.
Di pesawat misalnya, jumlah penumpang dalam sekali penerbangan maksimal 70% dari total kapasitas. Ketentuan ini memuat ancaman sanksi administrasi, denda, hingga pembekuan dan pencabutan izin untuk operator sarana transportasi.
Berita ini telah tayang di BBC News Indonesia