Pemerintah Provinsi NTT Bantah Rampas Tanah Besipae di Kabupaten TTS
Biar lihat apa yang sudah kita lakukan. Boleh beropini, tapi sejatinya opini yang berimbang. Kita siap berikan data
Penulis: F Mariana Nuka | Editor: Rosalina Woso
Pemerintah Provinsi NTT Bantah Rampas Tanah Besipae di Kabupaten TTS
POS-KUPANG.COM |KUPANG-- Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT Dr Drs Zeth Sony Libing Msi, angkat suara soal polemik Instalasi Besipae di Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).
Lokasi Instalasi Besipae sendiri mencakup lima desa, yakni Desa Mio, Polo, Oe’ekam, Linamnutu, dan Enoneten. Menurut Sony, tidak ada niat sedikitpun dari Pemprov untuk merampas tanah di Besipae.
"Sebab itu tanah Pemprov yang akan dimaksimalkan kembali untuk kepentingan masyarakat sekitar juga. Pendekatan yang kita lakukan selama ini pun persuasif. Kita tawarkan solusi. Dari relokasi, pembuatan rumah hingga sertifikat tanah. Kita kurang baik apa," kata Sony Libing kepada Pos Kupang, Selasa (26/5) siang.
Ia pun mengajak pihak-pihak yang mempersepsikan pemprov merampas tanah warga untuk turun sendiri ke lokasi.
"Biar lihat apa yang sudah kita lakukan. Boleh beropini, tapi sejatinya opini yang berimbang. Kita siap berikan data," imbuhnya.
Secara garis besar, Sony menjelaskan apa saja kebijakan pemerintah untuk kawasan Besipae.
Pertama, kawasan Besipae untuk pengembangan ternak sapi, kelor, dan lamtoro teramba sebagai pakan ternak.
"Program ini akan melibatkan masyarakat di lima desa termasuk sebagian kelompok masyarakat yang saat ini menolak, sebagai bentuk pemberdayaan masyarakat," ujarnya.
Kedua, pemerintah menyediakan lahan 800 meter persegi dengan sertifikat bagi kelompok masyarakat yang mènolak. Ketiga, untuk masyarakat 5 desa yang wilayahnya masuk dalam kawasan tanah pemerintah, akan diberi sertifikat hak milik.
Keempat, pemerintah telah dan akan membangun rumah sederhana berukuran 6x7 bagi kelompok masyarakat yang saat ini membangun rumah menutupi jalan masuk kantor pemerintah di Besipae.
Sony juga mempertanyakan dasar klaim Tanah Ulayat yang selama ini jadi alasan oknum warga di Besipae. Sementara, tanah tersebut jelas-jelas diserahkan usif kepada pemprov. Tidak hanya itu, warga di 5 desa di sekitar Besipae juga tidak keberatan.
Sony kemudian menceritakan asal muasal tanah tersebut. Pada Tahun 1982 masyarakat Besipae yang terdiri dari lima desa bersama Usif Frans Nabuasa dan Usif Nope pada saat itu menyerahkan tanah seluas 3.780 hektare kepada pemerintah provinsi untuk pengembangan ternak sapi.
"Penyerahan hak tanah dari Usif Nabuasa, usif yang menguasai kawasan itu. Raja di situ,” ujarnya.
Dua tahun sebelumnya, yakni Tahun 1980 tepatnya di Februari, Gubernur NTT masa itu, Ben Mboy mengunjungi Australia untuk menyaksikan sistem usaha pengembangan pertanian.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Australia Development Assistance Bureau (ADAB) menyanggupi untuk membantu Pemprov NTT terkait pembibitan/pengembangan ternak sapi melalui Proyek Reconnaisance Mission.
Proyek untuk meningkatkan kesejahteraan petani kecil di NTT tersebut ditindaklanjuti dengan penanggungjawab Direktorat Peternakan dan Dinas Peternakan Provinsi NTT sejak 1982 sampai 1986.
Pada 30 Januari 1986, diterbitkan sertifikat Hak Pakai Nomor 1 Tahun 1986, Reg A1390477 seluas 37.800.000 meter per segi.
Namun, keberadaan sertifikat asli tersebut tidak dapat ditelusuri keberadaannya/hilang, sehingga dibentuklah Tim terpadu penyelesaian permasalahan lokasi pembibitan ternak sapi di Besipae dengan SK Gubernur NTT Nomor 163/KEP/HK/2012 tanggal 28 Mei 2012, di mana dilakukan pengurusan sertifikat hilang pada kantor pertanahan TTS Pada tanggal 19 Maret 2013 diterbitkanlah sertifikat (tanda bukti hak) dengan Nomor BP794953 Tahun 2013.
“Sepanjang perjalanan di Tahun 1986 setelah kerja sama dengan Australia selesai, di mana pemprov mengelola lahan itu, kami menyadari bahwa selama waktu itu bisa jadi pengelolaan ternaknya tidak optimal seperti yang dikelola Australia," tegas Sony.
"Sampai pada tahun 1998, datanglah sekelompok orang dari Amanatun yang menguasai kawasan tersebut dengan cara mengeluarkan seluruh pegawai yang bekerja di UPT dan berkantor di situ. Mereka pun menguasai kantor tersebut selama 12 tahun,” urai Sony.
Sony menjelaskan, ada oknum yang menguasai kawasan Besipae tersebut.
Selanjutnya, terjadi penyerobotan, pengrusakan sarana/prasarana, dan pengrusakan hutan oleh masyarakat yang telah diprovokasi oleh oknum tersebut.
Selain itu, oknum tersebut membangun rumah kebun sebanyak 38 buah di dalam kawasan Instalasi Besipae tanpa seizin dan sepengetahuan oleh Ketua Instalasi Besipae Daniel Nomleni. Penyerobotan yang telah dilakukan oknum tersebut membuat Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT mengambil kebijakan untuk memindahkan sementara pegawai instalasi ke lokasi Oeboi pada 24 Agustus 2013.
Sony menambahkan, beberapa hal lain pernah dilakukan oleh oknum tersebut yang menjadi permasalahan di tanah Instalasi Besipae.
"Pada Februari 2020, Bapak Gubernur Viktor berkunjung ke Malaka dan melewati kawasan tersebut. Setelah melihat bahwa rumah dinas ditinggali oleh oknum, maka Gubernur meminta agar mereka keluar dari rumah tersebut. Rumah dinas jangan ditinggali. Nanti kita siapkan lahan untuk mereka,” terangnya.
Meski demikian, kelompok oknum yang terdiri dari sembilan Kepala Keluarga (KK) tidak mau menerima saran tersebut.
Akhirnya, Sony pun melakukan berbagai pendekatan terhadap mereka. Sony pun melakukan kunjungan ke So’E dan bertemu dengan Wakil Bupati TTS.
Ia memaparkan situasi dan kondisi yang dialami di tanah Instalasi Besipae. Visi Gubernur Viktor di tanah tersebut, papar Sony, ialah melakukan pengembangan sapi, kelor, dan pakan ternak. Masyarakat kelima desa tersebut pun akan dilibatkan dalam pengembangan kawasan, termasuk 9 KK tersebut.
“Karena mereka harus keluar dari rumah dinas, maka diberikanlah lahan seluas 800 meter per segi. Pemerintah menyediakan sertifikat untuk mereka di lokasi yang akan kami siapkan. Namun, dalam dialog itu, mereka tidak setuju,” kata Sony.
Kelompok oknum tersebut menolak untuk keluar dari rumah dinas. Mereka bahkan meminta pembatalan sertifikat penyerahan tanah dari masyarakat kepada pemerintah. Langkah demi langkah pendekatan terus diambil oleh Pemprov NTT.
Namun, kelompok oknum bersikeras. Berbagai langkah pendekatan masih terus dilakukan oleh Pemprov NTT untuk menyelesaikan permasalahan tanah instalasi Besipae.
Adapun beberapa tindakan yang telah dilakukan antara lain melakukan koordinasi dengan Pemkab TTS perihal rencana penertiban aset tanah Instalasi Besipae.
Ada juga sosialiasi rencana Pemprov NTT untuk pengembangan Instalasi Besipae dan Relokasi bagi okupan dan pertemuan dengan kelompok oknum yang difasilitasi pihak keamanan. Kemudian melakukan penertiban yang diadang sejumlah ibu-ibu kelompok oknum, rapat tim terpadu untuk penetapan tanah kapling bagi okupan dan rencana proses sertifikat bagi okupan dan keluarga Nabuasa.
Kemudian sosialisasi di lima desa perihal rencana pengembangan peternakan dan pertanian di Besipae dan membangun lokasi relokasi seluas 3x4 meter bagi okupan yang tetap menempati dan membangun rumah darurat di depan pintu masuk eks gedung instalasi Besipae.
Selanjutnya pembongkaran rumah darurat tersebut dan pemasangan garis polisi karena menghalangi jalan masuk. Meski demikian, lokasi yang telah dipasangi garis polisi kembali dibangun rumah darurat.
Bahkan, mereka meninggalkan lokasi relokasi dan kembali ke lokasi Pu’u Babu. Adapun beberapa alasan penolakan yang dilakukan kelompok oknum, yakni pihak kelompok mempertanyakan siapa yang menyerahkan tanah kepada Pemprov NTT.
Mereka pun meminta Pemprov NTT untuk menunjuk batas-batas tanah dan hutan lindung sesuai sertifikat Hak Pakai No 1 Tahun 2013. Mereka juga meminta sertifikat tersebut dicabut agar mereka bisa berdialog bersama Pemprov NTT.
Menurut mereka, pemerintah telah merusak Hutan Pu’u Babu dan pengembangan ternak hanya memperkaya pegawai instalasi peternakan.
Rabu 12 Februari 2020 dan Kamis 13 Februari 2020, Pemprov melakukan koordinasi dengan Pemkab TTS, Kapolres TTS, dan Dandim TTS. Pemprov juga melakukan pertemuan dengan perwakilan masyarakat Besipae perihal rencana pengembagan Instalasi Ternak Besipae.
Dalam pertemuan tersebut, Wakapolres TTS dan Dandim TTS siap mengawal rencana Pemprov. Wakil Bupati TTS yang hadir dalam pertemuan tersebut juga mendukung rencana Pemprov NTT untuk menyelesaikan masalah Besipae.
Dalam hal ini relokasi KK yang ada di dalam lokasi instalasi, menyiapkan lahan rekolasi seluas 800 meter persegi, membuat sertifikat atas tanah 800 meter persegi, dan melibatkan warga atas kegiatan pengembangan instalasi.
Kegiatan pun berlanjut Sabtu 15 Februari 2020. Dilakukan sosialisasi dan identifikasi jumlah KK maupun lokasi relokasi.
Kegiatan tidak dapat dilaksanakan karena adanya beberapa alasan penolakan yang dilakukan kelompok oknum.
Sony menegaskan ke depan, Pemprov akan mengelola dengan baik. Baik mental para aparatur maupun tata cara pengelolaan lahan. Pemprov juga akan tetap melibatkan warga dalam setiap kegiatan instalasi.
Pada pertemuan tersebut, pemerintah menyarankan masyarakat menempuh jalur hukum terkait penolakan warga atas penerbitan sertifikat HP01/2013 dan dicabut. Pada kesempatan itu juga, tiga Usif Nabuasa selaku ahli waris Raja Nabuasa dihadirkan.
• Cara Praktis Makin Dekat dengan Anak Lewat Permainan Tanpa Gadget Loh, Cobain Guys
• Hi Moms, Begini Caranya Menyimpan Makanan Khas Lebaran yang Bersantan Agar Tak Cepat Basi
• 6 Tips Berikut Bisa Membantu Anda untuk Memilih Masakan Beku yang Sehat Selama Masa Pademi,Kepoin !
"Merekalah yang menyerahkan tanah kepada Pemprov NTT pada tahun 1982. Mereka juga meminta pemerintah segera melakukan penertiban sebagaimana rencana pemerintah pada awalnya," kata Sony.
Pada tanggal tersebut juga terjadi penyerahan Surat Penegasan Tanah Instalasi Besipae milik Pemprov NTT Nomor BU.030/94/BPAD/2020 tanggal 16 Februari 2020.
Selanjutnya, bertempat di Lopo Pu’u Babu, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten TTS, Pemprov NTT melakukan pertemuan dengan masyarakat Besipae dan pihak keamanan.
Dalam pertemuan tersebut, Pemprov menegaskan tidak melakukan penggusuran. Pemprov hanya akan melakukan penertiban dengan merelokasi warga yang berada di dalam lokasi instalasi. Pemprov bahkan menyiapkan lokasi relokasi dan bersertifikat.
Pemprov berharap masyarakat mendengar penjelasan dari pemerintah, bukan dari pihak tidak bertanggung jawab. Pada kesempatan itu, masyarakat menilai sertifikat tersebut merupakan Hak Pakai, bukan Hak Milik.
Sehingga, masyarakat meragukan hal tersebut. Dandim TTS pun menanggapi hal tersebut.
Menurutnya, hak kepemilikan aset tanah pemerintah ialah hak pakai, bukan hak milik. Hal tersebut tercatat dalam Daftar Barang Milik Daerah Pemerintah.
Keinginan masyarakat untuk mencabut sertifikat harus melalui gugatan pengadilan. Masyarakat diminta jangan berpikir negatif terhadap pemerintah. Wakil Bupati pun menambahkan bahwa keberatan atas sertifikat milik Pemprov oleh masyarakat hanya bisa ditempuh melalui jalur hukum dan membutuhkan 30-40 tahun untuk menjawab kepastian hukum.
Ia menyarankan masyarakat menerima tawaran relokasi tersebut. Pada Senin, 17 Februari 2020 dilakukan penertiban lokasi instalasi ternak. Selanjutnya, Selasa, 25 Februari 2020, Pemprov menggelar rapat atas tindak lanjut pengamanan aset lokasi.
Kemudian, sejak Kamis 27 Februari 2020 hingga Sabtu, 29 Februari 2020 Pemprov melakukan penetapan kavling dan identifikasi warga yang memiliki bangunan di atas tanah Pemprov. Selanjutkan akan diproses sertifikat dengan luas lahan 800 meter persegi.
Tindak lanjut yang dilakukan Pemprov ialah pengajuan permohonan sertifikat bagi warga yang memiliki rumah tinggal di atas tanah Pemprov pada Senin 2 Maret 2020. Selanjutnya, Pemprov melakukan sosialisasi di lima desa pada Selasa, 10 Maret 2020 yang dilanjutkan dengan pelaksanaan penertiban Besipae Tahap II Rabu 11 Maret 2020.
• Detik-detik Kematian Romo Heri Naibobe Diungkapkan Romo Dicky Mau Leto, Simak Penjelasannya!
• Kepoin Guys, 5 Kebiasaan Baru Saat Traveling Usai Wabah Virus Corona
• Gunakan Bahan Alami, Begini Caranya Menurunkan Kalori Pada Nasi Versi Peneliti
Hal itu dilakukan dengan membongkar bangunan yang dibangun warga eks penertiban dari gedung eks instalasi dan merelokasi barang dan bahan bangunan yang dibongkar ke lokasi yang telah disiapkan. (Laporan Reportyer POS-KUPANG.COM/F.Mariana Nuka)