Kata Sri Mulyani soal Usulan Cetak Uang, Mulai dari Dampak Buruk Hingga Sebut Penumpang Gelap,Siapa?

Banyak usulan pencetakan uang untuk menutup krisis keuangan saat ini. Begini tanggapan Sri Mulyani, sampai sebut akan ada penumpang gelap

Editor: Adiana Ahmad
ISTIMEWA
Menteri Keuangan, Sri Mulyani 

"Jadi harus ada kajian terkait dampak ke inflasi, dampak ke stabilitas rupiah, kemudian juga ke sektor riil, pertumbuhan ekonomi, sampai ke serapan tenaga kerja," ujar Bhima, kepada Tribunnews, Jumat (8/5/2020).

Menurut Bhima, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) saat ini pun tidak dalam kondisi yang baik.

Jakarta Kehabisan Uang,Menkeu Sebut 1,1 Keluarga di DKI Tak Bisa Dibantu, Sri Mulyani Disindir DPRD

Sehingga ada sejumlah kerugian yang dikhawatirkan terjadi, jika rupiah dalam jumlah fantastis itu diterbitkan.

Satu diantaranya terkait kemungkinan adanya kepentingan dari korporasi yang meminta suntikan dana.

"Struktur APBN saja kan sudah nggak sehat. Di mana porsi belanja, pembayaran bunga utangnya besar. Jadi BI cetak uang kalau masuk ke APBN untuk bayar utang ya sama saja, atau malah lari ke korporasi kakap yg minta di injeksi oleh dana APBN," jelas Bhima.

Oleh karena itu, ia menilai jika usulan cetak uang tersebut dikabulkan, maka bisa saja akan muncul kasus-kasus serupa dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Ini bisa jadi moral hazard dan penyimpangan besar seperti kasus-kasus kejahatan keuangan BLBI," kata Bhima.

Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, BI tidak akan mencetak uang untuk menangani dampak corona. 

Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam live streaming video conference terkait Perkembangan Ekonomi Terkini, Rabu (6/5/2020).

Menurutnya, hal tersebut bukan merupakan praktik kebijakan moneter yang terbiasa dilakukan BI.

"Pandangan-pandangan BI (perlu atau tidaknya) mencetak uang, itu bukan praktik kebijakan moneter yang lazim dan tidak akan dilakukan di Bank Indonesia," ujar Perry, pada kesempatan itu.

Perry menambahkan, kebutuhan masyarakat bisa diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Namun demikian, ia menekankan praktik ini tentunya harus sesuai dengan tata kelola Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

"Misalnya pertumbuhan ekonomi 5 persen dan inflasinya 3 persen, kurang lebih kenaikan pencetakan uang sekitar 8 persen. Kalau ingin tambah stok barangkali 10 persen, keseluruhan proses ini sesuai tata kelola dan diaudit BPK," kata Perry.

Perlu diketahui, pernyataan Perry itu disampaikan untuk menjawab usulan Badan Anggaran (Banggar) DPR yang meminta BI agar melakukan pencetakan uang dalam upaya menangani dampak corona.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved