Sepenggal Sejarah Hadirnya Masjid Pertama di Sumba Timur
Pertama kali masjid ini didirikan di Pantai Utara sekitar 200 meter dari Pelabuhan Rakyat Waingapu, Kabupaten Sumba Timur
Penulis: Oby Lewanmeru | Editor: Kanis Jehola
POS-KUPANG.COM | WAINGAPU - "Pertama kali masjid ini didirikan di Pantai Utara sekitar 200 meter dari Pelabuhan Rakyat Waingapu, Kabupaten Sumba Timur. Dulu pelabuhan ini bernama Nangamesi."
Demikian dua kalimat pertama, di awal pertemuan POS-KUPANG.COM dengan Imam Masjid Agung Al-Jihad Waingapu, H. Alwi Hasyim Algadri di kediamannya, Sabtu (25/4/2020).
Kala itu sekitar tahun 1911 yang mana Waingapu dan sekitarnya masih sunyi dan dikelilingi oleh hutan. Dari masjid inilah ,berkembang penyebaran agama Islam di Sumba, khususnya Sumba Timur.
• Marius: Dengan Membeli dari Pedagang Kecil Kita Sudah Membantu Meringankan Beban Mereka
Saat ini saja ada sekitar belasan masjid di Kota Waingapu dan sekitarnya. Namun, masjid yang cukup besar ada sekitar delapan masjid.
H. Alwi mengatakan, awal masuknya ajaran Islam di Sumba, khususnya di Sumba Timur pada tahun 1911 yang dibawa oleh Datuk atau dato mereka yang bernama Aljufri.
Dato Aljufri sebelum ke Sumba, sebelumnya masuk ke Kupang pada tahun 1842, kemudian menyinggahi Ende dan Waingapu.
• Tribunnews dan Cardinal Bantu Masker, Begini Respon Aster Kasdam Jaya Jacky Ariestanto
"Saat itu Aljufri tiba di Nangamesi, yang kala itu Waingapu masih hutan,mulai dari muara kali sampai di dalam Kota saat ini. Beliau mengajar atau dakwah beberapa waktu lamanya," kata H. Alwi.
Aljufri juga mengaktifkan pelabuhan dan cukup lama ada di Waingapu. Beliau di sini cukup lama dan berdakwa mengajarkan agama," kata H. Alwi.
Didampingi Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Umat Masjid Agung Al-Jihad Waingapu, Budian, Haji Alwi menjelaskan, saat melakukan dakwah, Aljufri sempat bertemu dengan seorang raja bernama Raja Mbatakapidu bernama Umbu Day Leli Ata. Karena itu, sampai saat ini pihaknya juga tidak terlalu mengetahui banyak.
Namun, lanjutnya, ada dato mereka yang bernama Ismail yang memegang sebuah buku sejarah.
Kemudian buku ini diminta oleh Umbu Haramburu meminta buku tersebut. Kemudian buku itu dibawa ke Belanda oleh ayahnya kala itu mengenyam pendidikan di Belanda.
"Buku ini berjudul Sumba Dalam Jangkauan Zaman dan saat ini ada di museum," katanya.
Dia mengatakan, selain mendakwah, Aljufri juga sempat beternak sapi.
Sapi itu dulu dibawa oleh Belanda kemudian tersebar di kampung-kampung di Sumba Timur.
Kemudian mereka membuat sebuah Masjid di pelabuhan Nangamesi. Beberapa waktu kemudian, mesjid itu dipindahkan ke lokasi yang saat ini berdirinya Masjid Agung Al-Jihad Waingapu.
Dikatakan, awalnya konstruksi bangunan masjid itu dari kayu dan beratap alang-alang.
Seiring dengan perkembangan zaman, dan sekitar tahun 1950-an, bangunan itu direhab menggunakan tembok dan beratap seng.
"Kita mulai rehab secara swadaya oleh umat .Sekitar tahun 1985 mulai dibangun secara permanen,atas kerjasama umat dan juga bantuan pemerintah daerah serta saudara-saudara yang ada di luar daerah. Berjalannya waktu panitia pembangunan juga selalu berganti saat masjid ini rehab," katanya.
Terkait nama masjid, H. Alwi mengatakan, masjid itu dulunya bernama asli Masjid Agung, namun sekitar tahun 1986 masjid itu dinamakan Masjid Agung Al-Jihad.
Saat ini Masjid Agung Al-Jihad Waingapu telah menjadi masjid tertua di Waingapu, Sumba Timur.
Dari perjalanan masjid ini telah melahirkan sejumlah masjid di Sumba, khususnya Sumba Timur.
Madjid ini terletak di Kelurahan Hambala, Kecamatan Kota Waingapu dan saat ini berkapasitas sekitar 500 orang.
Sementara soal bulan suci Ramadhan saat ini, ia mengatakan, suasana Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini bulan suci Ramadhan dijalani umat di tengah Pandemi Covid-19.
Semua aktivitas umat berbeda dari tahun sebelumnya. Ada berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan secara berjemaah, termasuk sholat," katanya.
Dikatakan, dampak adanya pandemi Covid-19 ini dirasakan umat Islam di Sumba Timur, terutama kegiatan-kegiatan sosial ekonomi.
"Kegiatan bazar Ramadhan juga dibatasi, kegiatan bernuansa Ramadhan juga tidak dilakukan. Sholat saja tetap kami lakukan tapi tidak berjemaah," katanya.
H. Alwi mengakui, semua umat muslim di Sumba Timur telah diinformasikan adanya anjuran atau protokol pemerintah/kesehatan, juga ada surat edaran dari Menteri Agama, surat dari MUI, juga ada edaran pemerintah baik provinsi maupun kabupaten.
"Kita ini sudah dikatakan zona hijau, tapi kita harus tetap waspada,ikuti protokol pemerintah. Saya contohkan, kemarin ada Paskah yang dirayakan saudara-saudara kita umat Kristiani dan mereka hanya beribadah di rumah, semua kegiatan tidak bisa dilakukan. Karena itu, kita harus taati apa yang disampaikan pemerintah," ujarnya.
Ketua Bidang Informasi dan Komunikasi Umat Masjid Agung Al-Jihad Waingapu,Budian mengatakan, masjid itu terletak cukup strategis dan mudah dijangkau oleh siapa saja ketika berada di Kota Waingapu.
Dia mengakui, suasana Bulan Suci Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
"Banyak kegiatan menjelang bulan suci Ramadan dan juga sampai saat ini yang kita tunda pelaksanaannya akibat adanya pandemi Covid-19," kata Budian.
Di mencontohkan, ada Bazaar Ramadhan,safari Ramadhan, bantuan sosial yang terpaksa tidak bisa dilakukan. Karena itu lanjutnya, setiap rumah tangga umat muslim di Waingapu membuat acara keluarga di rumah masing-masing.
"Mau tidak mau harus dilakukan apa yang diinstruksikan oleh pemerintah. Kita harus jdan patuhi semua protokol pemerintah demi kesehatan dan keselamatan bersama," katanya.
Ketua DPRD Sumba Timur, Ali Oemar Fadaq mengatakan, Masjid Agung Al-Jihad Waingapu adalah masjid tertua di Sumba Timur.
Dari masjid ini lahirlah sejumlah masjid dan kini mencapai belasan masjid. "Memang masjid ini adalah masjid tertua dan dari masa ke masa telah mengalami pemugaran dan rehab," kata Ali Fadaq. (Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Oby Lewanmeru)