Suwanto Pilih Tidak Mudik Guna Memutus Rantai Penyebaran Covid-19
Suwanto, penjual salome di Pasar Penfui, Kelurahan Penfui, Kecamatan Maulafa, Kota Kupang lebih memilih menunda mudik
Lukman (34), salah satu karyawan di RM Persada di Kelurahan Naikoten Kota Kupang mengaku telah mendengar larangan tersebut. Bahkan pria yang telah 13 tahun merantau di Kupang itu mengaku pimpinan mereka di rumah makan tersebut juga telah mempertegas larangan tersebut.
"Tahun ini ini kita tidak mudik. Bos sudah instruksikan untuk jangan pulang dulu. Tapi kalau ngeyel, kata Bos ya urusan sendiri," ujar Lukman.
Ia mengatakan, sebanyak 17 orang karyawan rumah makan tersebut berasal dari Jawa Jawa Timur dan Jawa Tengah. Masa kerja mereka berkisar dari dua hingga 13 tahun.
Setiap lebaran, lanjutnya, mereka selalu mendapat jatah liburan dan melakukan mudik ke kampung halamannya masing masing. Mudik biasanya dilakukan pada H-2 atau H-1 sebelum Idul Fitri.
"Kita tidak masalah (tidak mudik). Itu kan juga untuk menjaga kesehatan. Itu untuk kebaikan bersama masyarakat jadi tidak ada persoalan," katanya.
Ariatin (36), salah satu pedagang makanan di Taman Nostalgia (Tamnos) Kupang mengaku belum mendengar larangan mudik. Namun demikian, seandainya larangan itu diterapkan, ia dan keluarga pasti mematuhi larangan tersebut.
Perempuan asal Jawa Barat itu mengatakan, meski terkesan tidak mengenakan karena tidak dapat berkumpul dan merayakan Idul Fitri berasama keluarga besar di kampung halaman, namun hal itu harus dilakukan untuk kepentingan yang jauh lebih besar; kesehatan dan kebaikan bersama.
Bukan Tradisi KKSS
Ketua Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) NTT Haji Muhammad Darwis saat ditemui di kediamannya, Selasa (21/4) menjelaskan, larangan pemerintah agar tidak mudik adalah hal yang biasa saja oleh KKSS NTT.
"Khusus orang Sulawesi itu memang jarang mudik. Beda kalau dengan orang Jawa, itu mungkin tradisi. Kalau kami memang jarang mudik. Sebelum ada corona pun memang tidak mudik lebaran sebelumnya, kecuali ada urusan keluarga, jadi sekalian," ungkap Haji Darwis.
Pria 58 tahun ini berujar, beberapa anggotanya juga bekerja sebagai pedagang, nelayan, dan profesi lain yang cukup menguras banyak waktu. Sehingga, mereka tidak punya waktu untuk mudik.
"Orang Sulawesi yang berada di perantauan juga memegang semboyan 'Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. NTT sudah menjadi rumah, sehingga merayakan lebaran tanpa mudik pun bisa dilakukan," tambahnya.
Haji Darwis melanjutkan, ia melakukan segala imbauan yang telah dikeluarkan, salah satunya untuk tidak boleh melakukan Sholat Jumat.
"Pemerintah itu tidak melarang Sholat Jumat. Tapi, dilarang untuk sholat berkumpul di masjid. Sholatnya tetap. Banyak yang seringkali salah persepsi tentang ini," ungkap pria asal Bone ini.
Hal itu juga berlaku untuk Sholat Tarawih. Menurut Haji Darwis, Sholat Tarawih juga bisa dilakukan di rumah. Memang seringkali dalam momen puasa usai berbuka, Sholat Tarawih bersama di masjid terasa lebih lengkap. Namun, karena sedang dalam masa darurat Covid-19, imbauan itu harus dilakukan.
"Dulu waktu Idul Fitri kumpul-kumpul, sekarang ya makan sendiri di rumah," katanya sambil tertawa.