Salam Pos Kupang
Malaka Ternoda
Ayo, mari membaca dan simak isi Salam Pos Kupang berjudul Kabupaten Malaka ternoda
Ayo, mari membaca dan simak isi Salam Pos Kupang berjudul Kabupaten Malaka ternoda
POS-KUPANG.COM - Kabupaten Malaka ternoda. Sudah sejak lama kabupaten ini tak terusik oleh pemberitaan negatif seputar kasus dugaan korupsi. Kini, seperti petir di siang bolong. Daerah yang dinakhodai Bupati Stef Bria Seran itu diguncang pusaran kasus korupsi pengadaan benih bawang merah.
'Asap' korupsi mengepul dari Dinas Tanaman Pangan, Holtikultura dan Perkebunan Kabupaten Malaka. Aroma tak sedap kasus yang terjadi tahun 2018 itu sepertinya tak pernah lekang oleh waktu hingga polisi mengeksekusi oknum-oknum yang terlibat di balik jeruji besi.
• Politik Incognito: Pencitraan atau Keberpihakan?
Polisi tak tanggung-tanggung menciduk sang kepala dinas, Ir. Yustinus Nahak, serta enam orang lainnya. Semuanya pun menjadi terang benderang, siapa yang sakunya padat dan menggelembung oleh uang haram itu.
Benar, pengadaan barang dan jasa selalu membelalakkan mata ketika dana yang dikucurkan pun bernilai miliaran, bahkan triliunan rupiah. Jika tak mampu membetengi diri untuk tidak melihat pelelangan itu sebgai sumber rezeki tambahan, maka kita menjerumuskan diri dalam percobaan, bahkan tenggelam dan berubah status menjadi tersangka korupsi.
• Lama Tak Disorot Ternyata Lucinta Luna Pindah Rutan, Polisi Beberkan Reaksi Pacar Abash, Teriak?
Hanya nikmat sesaat, namun stigma yang terpatri sebagai pelaku korupsi tak tergerus waktu yang membuat kita menjadi manusia yang tak bernilai. Suatu konsekwensi yang harus dipikul seumur hidup. Bahkan terus dibawa sampai ke liang lahat.
Tak hanya sang kepala dinas sebagai pribadi yang kena getahnya dicap sebagai koruptor, keluarga pun dibawa-bawa. Sang istri, anak dan keluargapun terseret. Dicap turut menikmati uang hasil kejahatan, uang panas, uang tak halal. Itulah risiko sosial dari sebuah perbuatan melawan hukum. Tidur tak nyenyak, di atas kasur semewah apapun. Makan tak enak, menu senikmat apapun, ke mana-mana dicibir, bahkan sebagai topik diskusi, obrolan, di warung kopi.
Namun bagi yang sudah nekat, konsekwensi sosial ini tak dipikirkannya, tak berarti apa-apa, yang penting meraup miliaran rupiah, rekening menggelembung dan hidup tak berkekurangan.
Karenanya peluang sekecil apapun untuk melakukan tindakan melawan hukum, korupsi, pasti dilakukannya. Apalagi kalau ada peluang. Penggelembungan harga (mark-up) adalah modus yang selalu dimainkan pelaku korupsi untuk meraup keuntungan. Ada lagi kwitansi fiktif serta modus lainnya yang dilakukan dengan rapi untuk menguras rupiah.
Tapi hukum alam selalu berbicara dan mengabarkannya kepada publik. Aroma tak sedap perbuatan melawan hukum selalu tercium, entah dibungkus rapi secanggih apapun. Detik ini kita melakukannya, namun kita tak sadar bahwa detik berikutnya pun kita sudah menjadi tersangka.
Detik ini kita masih menjadi kepala dinas, detik berikutnya kita sudah menjadi pesakitan pengadilan. Itulah hukum alam yang seharusnya dicamkam oleh orang-orang yang menjadi penguasa. Jangan bangga dengan apa yang dimiliki saat ini karena semua itu hanya hiasan belaka. Dan, tak menjadi berarti kalau kita tidak menghayati makna pelayanan untuk orang banyak. Tempatmu bukan di kursi empuk tapi di kamar satu kali satu meter yang penuh dengan nyamuk. Itu sebagai tempat yang pas untuk merefleksi agar kembali ke jalan yang benar.
Kasus korupsi di Malaka 'menggebrak' ke permukaan saat momentum hiruk-pikuk pelaksanaan pilkada. Apa maksud semua ini. Para politisi melihatnya dari sisi yang lain karena berkorelasi dengan birokrat yang juga ikut 'berperang' dalam kontestasi itu. Berbagai wacana pasti terus bergulir, namun bagi penyidik kepolisian, pengungkapan kasus korupsi ini tak berkorelasi dengan pilkada karena sudah diendus sejak lama. Kita dukung polisi, tuntaskan. *