Ratusan Babi di NTT Mati Maxs Sanam Sebut Upaya Penyidikan Penyakit Hewan di NTT Lemah
perlu dilakukan surveilance untuk mendeteksi keberadaan dini virus ASF di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Penulis: Laus Markus Goti | Editor: Rosalina Woso
Ratusan Babi di NTT Mati Maxs Sanam Sebut Upaya Penyidikan Penyakit Hewan di NTT Lemah
POS-KUPANG.COM | KUPANG -- Ratusan Babi di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) khususnya di daratan Timor mendadak mati, dalam dua bulan terakhir ini.
Dany Suhadi kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT mengatakan setelah dilakukan identifikasi ratusan babi yang mati tersebut akibat terkena Hog Cholera dan virus African Swine Fever (ASF) atau flu Afrika.
Menanggapi peristiwa langka tersebut Dekan Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana Kupang, Dr. drh. Maxs U.E. Sanam, M.Sc kepada POS-KUPANG.COM, Sabtu (22/2/2020) menjelaskan, kematian hewan atau ternak dengan jumlah besar di suatu wilayah disebabkan oleh virus atau penyakit tertentu yang masuk dari wilayah lain.
Menurutnya surveilance atau upaya-upaya penyidikan penyakit ternak atau hewan di Provinsi NTT tidak berjalan dengan baik.
"Sehingga deteksi dini sumber perjalanan virus dari daerah asal penularan tidak dapat diketahui dengan baik. Konsekuensinya kita seolah-olah bekerja memadamkan api saja. Seharusnya sumber api sudah diketahui dan dikendalikan," ungkapnya.
Dia jelaskan, asal atau sumber virus dari suatu wilayah bisa diketahui dengan analisis urutan materi genetik virus. Adanya kesamaan materi genetik, lanjutnya, mengindikasikan mereka berasal dari sumber atau wilayah penularan yang sama.
"Lantas apakah virus yang di Kefa dan sekitarnya berasal dari Timor Leste atau Sumatera Utara atau dari Bali maka bisa dilakukan dengan analisis dimaksud," ungkapnya.
Pada Oktober 2019 lalu, ketika ASF menyerang Timor Leste, negara yang berbatasan langsung dengan NTT, Maxs sudah menyarankan Pemda NTT melakukan, pertama, penyuluhan kepada masyarakat terutama masyatakat perbatasan Indonesia dan Timor Leste agar tidak membawa masuk babi, maupun produk-produk nya (daging baik segar maupun awetan) ke dalam wilayah NTT.
Kedua, berkoordinasi dengan Kementan via instansi teknisnya (Balai Karantina Pertanian/Hewan) untuk mencegah pemasukan/pelintasan hewan babi dan produk-produk daging masuk ke dalam wilayah NTT.
Ketiga, perlu dilakukan surveilance untuk mendeteksi keberadaan dini virus ASF di daerah perbatasan Indonesia-Timor Leste.
Sehubungan dengan tidak adanya vaksin maupun obat untuk penyakit ASF, kata Maxs, maka yang bisa dilakukan peternak adalah menerapkan Biosekuriti secara ketat.
Langkah yang yang bisa dilakukan lanjutnya, antara lain, tidak memberikan makanan-makanan sisa kepada babi makanan sisa bisa saja sudah mengandung virus dari luar, tidak mengijinkan semua orang bebas memasuki peternakannya, menahan diri tidak memasukkan ternak babi baru ke peternakannya.
"Apalagi ketika situasi penyakit masih berkecamuk perlu menjaga kebersihan dan sanitasi kandang. Ternak babi agar diberika pakan yang bergizi agar kondisi tubuh dan kekebalannya terjaga," ungkapnya.
Menurutnya babi yang sakit tidak boleh diperjualbelikan, babi yang mati agar dikubur dan tidak dibuang sembarang ke pekarangan ataupun sungai/kali.
• Mata Air Poco Likang Manggarai Ditanami 1.000 Anakan Pohon
• Pemda Ngada akan Kembangkan Kawasan Wisata Riung
• Jan Ethes Dapat Penghargaan, Begini Komentar Gibran Rakabuming Raka dan Selvi Ananda
Maxs mengatakan, secara etik, konsumen hanya membeli atau memakan daging babi yang berasal dari ternak babi yang sehat.
"Penjualan daging babi dari babi yang sakit sesungguhnya tidak membahayakan bagi kesehatan manusia tetapi berpotensi untuk semakin melebarkan penularan penyakit," ungkapnya.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Laus Markus Goti)