Pemkot Kupang Lakukan Penataan di 3 Lokasi, Ini Komentar Ketua IAI NTT
berpindah tangan (dijual atau disewakan) kepada pengusaha sektor formal dan selanjutnya sektor informal akan tergusur/berpindah ke tempat lainnya.
Penulis: Gecio Viana | Editor: Rosalina Woso

Pemkot Kupang Lakukan Penataan di 3 Lokasi, Ini Komentar Ketua IAI NTT
POS-KUPANG.COM | KUPANG - Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang penataan pada 3 lokasi di Kota Kupang.
Penataan tersebut yakni penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di depan Hotel Aston Kupang, penataan Kupang Square di depan terminal lama Kelurahan LLBK, Kota Kupang dan penataan Koridor III Jalan Frans Seda Kota Kupang.
Menanggapi hal tersebut, Ir. Robertus M.Rayawulan, MT selaku Dosen Arsitektur Unwira sekaligus Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Provinsi NTT memberikan komentar.
Menurutnya, apapun yang dilakukan oleh Pemkot Kupang terkait penataan tersebut harus memperhatikan sebanyak 4 hal.
Hal pertama bahwa persoalan Sektor Informa di manapun tidak terletak pada keinformalannya, tetapi keinformalan yang tumbuh sebagai upaya kaum papa mempertahankan hidup.
Kedua, lanjut Robertus, sektor informa jangan semata-mata dilihat sebagai masalah, tapi harus dilihat sebagai bagian dari pemecahan masalah perekonomian kota.
"Bahkan dalam situasi krisis sektor informal justru hadir sebaga katup pengaman," jelasnya.
Hal ketiga yang harus diingat adalah di dalam perekonomian kota yang dualistis saat ini, kehadiran sektor informal merupakan kebutuhan nyata yang tidak dapat dihindari.
Terakhir, hal keempat adalah perilaku sektor informal kota seringkali sulit diramalkan
Karena itu, kata Robertus, penataan kegiatan sektor informal dimanapun harus dimulai dengan pengakuan sosial tentang eksistensinya.
Terminologi ‘penataan’ dalam konteks ini tidak boleh diterjemahkan sebagai upaya penertiban dalam arti menggusur atau ‘memformalkan’.
"Tidak mudah memang, tidak saja karena pertumbuhan sektor informal seringkali sulit diramalkan, tetapi juga karena tuntutan keruangan sektor informal, seringali di luar kemampuan pemerintah kota," jelasnya.
Lebih lanjut, sebagai komponen kegiatan bersifat parasit, alias hanya dapat hidup dalam ketergantungan terhadap kekuatan sektor formal, sektor informal menuntut alokasi ruang sedekat mungkin dengan pusat kegaiatan kota. Pada sisi lain, kemampuan membayar yang rendah, malahirkan tuntutan harga sewa serendah mungkin.
"Karena itu dibutuhkan kemauan politik dari pemerintah kota untuk mewadahi kembali pedagang informal yang ada di depan Aston maupun di depan Terminal Kupang Kota harga sewa terjangkau," katanya
"Pertanyaannya adalah: mungkinkah pemerintah kota mau menyediakan ruang dengan harga sewa murah pada lahan strategis di pusat kegaiatan kota seperti di depan Hotel Aston atau didepan Teminal Kupang Kota? Andaikata pertanyaan tersebut dibingkai dengan endekatan konforntatif, di mana absolutisme menjadi faktor penentu maka jawabannya sudah jelas, tidak mungkin. Namun dapat menjadi mungkin, jika dikerangkakan pada pendekatan kooperetif. Dalam pendekatan kooperatif ditawarkan solusi finansial berupa ‘subsidi silang’," jelasnya.
Sektor ekonomi kuat (formal), lanjut Robertus, diharapkan bersedia memberikan subsidi ruang; di atas mana sektor informal diharapkan hadir sebagai kekuatan simbiotis.
Sedangkan pemerintah kota akan dapat berperan menyediakan infrastruktur teknis dan berbagai kemudahan sebagai bonus atau insentif bagi sektor formal pemberi subsidi ruang.
Kalau tidak demikian maka Robertus sangat yakin bahwa yang akan terjadi adalah fasilitas yang dibangun oleh pemerintah kota untuk sektor informal akan berpindah tangan (dijual atau disewakan) kepada pengusaha sektor formal dan selanjutnya sektor informal akan tergusur/berpindah ke tempat lainnya.
"Jika hal ini mau diterapkan maka yang perlu segera disiapkan oleh pemerintah kota adalah Aspek kepranatannya, kelembagaan dan mekanisme dan prosedur pengawasan yang ketat. Harus ada regulasi yang mengatur tentang ini," paparnya.
Lebih lanjut, harus ada kelembagaan yang diberi kewenangan tertentu untuk mengendalikan pelaksanaan program tersebut dengan mekanisme dan prosedur yang baku.
Diakuinya, Konsep ini memang bukan hal baru di Indonesia, walaupun juga tidak mudah diterapkan. Namun pelajaran universal yang dapat diadopsi adalah pengakuan sosial dan kemauan politik pemerintah kota, serta kesediaan sektor ekonomi kuat untuk hidup berdampingan dalam suatu iklim simbiose mutualistis.
• Digosip Suami Selingkuh, IisIis Dahlia Buktikan Rumah Tangganya Tetap Romantis dan Harmonis
• Simak Karaktermu Lewat Golongan Darah, B Suka Kepoan dan AB Melankolis, lainnya?
"Di atas semua itu ternaya jauh lebih mudah mewadahi kegaiatan sektor informal (dengan demikian memudahkan pembinaan dan pungutan retribusi) daripada menghindari pertumbuhannya yang liar dan cenderung merepotkan pemerintah Kota," katanya.(Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Gecio Viana)