Opini Pos Kupang

Desain Ulang NTT, Mengapa Tidak?

Mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul: Desain Ulang NTT, Mengapa Tidak?

Editor: Kanis Jehola
zoom-inlihat foto Desain Ulang NTT, Mengapa Tidak?
Dok
Logo Pos Kupang

Mari membaca dan simak isi Opini Pos Kupang berjudul: Desain Ulang NTT, Mengapa Tidak?

Oleh Alex Dungkal, Jurnalis Senior, Chairman Flores Abdi Bangsa Foundation

POS-KUPANG.COM - PROVINSI Nusa Tenggara Timur telah memasuki usia 61 tahun pada 20 Desember 2019 lalu. Untuk ukuran umur manusia, biasanya di usia-usia itulah seseorang mestinya tinggal menikmati masa tua atau masa pensiun seraya menimang cucu, berjalan-jalan ke tempat wisata elok, atau berkunjung dan bersenda-gurau dengan teman-teman zaman old.

Namun, inilah kondisi Bumi Flobamora yang sesungguhnya pada hari ini. NTT masih harus bekerja super-keras dan super-cerdas untuk bisa mengejar ketertinggalan dari sesama anak bangsanya sendiri di Tanah Air. Faktanya, hingga saat ini, provinsi kepulauan itu masih jauh dari kata maju, sejahtera, apalagi makmur. NTT masih begulat dengan kemiskinan.

Perkara Korupsi Dana Desa Weulun Malaka, Penasehat: Perubahan Tuntutan oleh Jaksa Tidak Prosedural

Data Badan Pusat Statistik tahun 2018 menunjukkan, penduduk miskin NTT mencapai 21,35 persen, bandingkan dengan penduduk miskin nasional 11,4 persen. Tingkat kemiskinan ini menempatkan NTT masih berada pada urutan ketiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi, setelah Provinsi Papua sebesar 27,74 persen dan Papua Barat 23,0 persen.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) NTT pada 2016, berdasarkan metodologi baru, 63,73. Bandingkan dengan rata-rata IPM nasional 70,81. Angka IPM NTT hanya lebih baik dari Papua dan Papua Barat. Rendahnya IPM ini tercermin pula pada kondisi pendidikan dan kesehatan. Soal mutu pendidikan, NTT berada di peringkat bawah bersama Papua dan Papua Barat.

Kelola Uang Negara, Bupati Malaka Stefanus Bria Seran Ingatkan Ini Kepada Para Pejabat

Sementara di bidang kesehatan, usia harapan hidup masyarakat NTT berada pada kisaran 65-68 tahun. Bandingkan dengan usia harapan hidup secara nasional, yakni 72 tahun. Angka kematian ibu dan bayi saat kelahiran juga terbilang tinggi. Di seluruh NTT, masih terdapat lebih dari 300 ibu dari 100 ribu ibu yang melahirkan meninggal dan 1.300 bayi dari 100 ribu kelahiran meninggal dunia.

Kondisi minus tersebut masih diperparah lagi oleh ketersediaan infrastruktur pendukung utama yang masih amat terbatas, baik infrastruktur listrik maupun jalan.

Rasio elektrifikasi listrik di NTT tercatat baru mencapai 71 persen, padahal elektrifikasi secara nasional sudah mencapai 98,3 persen pada 2018 lalu. Begitu pula kondisi jalan di NTT umumnya masih bersifat tambal sulam. Setidaknya, sepanjang total 1000 kilometer jalan provinsi dalam kondisi rusak parah. Jangan bicara soal jalan kabupaten, apalagi jalan antarkecamatan atau antardesa.

Bukannya tak ada langkah strategis yang telah dilakukan oleh para gubernur NTT, mulai dari El Tari (1966-1978) hingga Frans Lebu Raya (1998-2018), guna memajukan wilayah ini. "Tanam 5K" El Tari, "Nusa Makmur" Ben Mboi, Hendrik Fernandez dengan "Gerakan Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar)", "Tujuh Program Strategis" Herman Musakabe, "Tiga Tungku Batu" Piet A. Tallo, dan "Anggur Merah" Frans Lebu Raya, adalah program-program yang cukup bergaung di masanya.

Namun, itu semua terbukti tak cukup mampu mengangkat kehidupan sosial-ekonomi masyarakat NTT ke arah yang lebih baik. Ini karena, kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, rendahnya pendapatan per kapita serta buruknya kondisi kesehatan masyarakat di NTT sudah merupakan persoalan kronis dan sistemik.

Di sisi lain, para gubernur yang memimpin NTT selama ini nyaris tak berdaya dalam lingkaran-lingkaran persoalan tersebut. Bahkan sebagaimana umumnya rakyat, mereka pun ikutan pasrah, karena toh "Nanti Tuhan Tolong".

Restrukturisasi dan Restorasi

Melihat kondisi NTT hingga sejauh ini, tampaknya pemerintah harus segera meninggalkan pola-pola lama dengan program-program yang bersifat rutin belaka. Pemerintah, baik Pusat maupun Provinsi NTT, harus mendorong, menginisiasi, atau bahkan berani mengambil langkah-langkah perubahan secara mendasar pada aspek-aspek struktural, pada tatanan kelembagaan (organisasi pemerintahaan), struktur ekonomi, maupun struktur sosial masyarakat.

Restrukturisasi atau desain ulang NTT, dengan pemecahan wilayah ini ke dalam tiga provinsi berbasis pulau, adalah langkah yang harus dilakukan pemerintah.

Sesungghnya ini bukan sebuah gagasan baru. Pemikiran ini sudah berkembang lama, bahkan menyertai kisah pembentukan Provinsi NTT pada 61 tahun silam. Saat itu, ada aspirasi agar ketiga pulau besar yang kini membentuk Provinsi NTT -Timor bagian Barat, Flores, dan Sumba -masing-masing berdiri sebagai provinsi mandiri. Namun, atas pertimbangan saat itu, gagasan pembentukan provinsi sendiri-sendiri pun ikut terkubur.

Dalam beberapa waktu belakangan, sempat gencar munculnya aspirasi pembentukan Provinsi Flores, terutama ketika Frans Lebu Raya menjadi gubernur. Sayangnya, gagasan itu lagi-lagi tenggelam begitu saja. Kabarnya, surat rekomendasi gubernur yang menjadi salah satu persyaratan pembentukan provinsi baru, mentok di meja FLR karena sang gubernur tak mau menandatanganinya.

Melihat kondisi saat ini, serta ditinjau dari sudut pandang manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien, pembentukan provinsi berbasis tiga pulau besar itu kini menjadi sangat relevan. Dari sudut geografis, provinsi ini didominasi oleh kepulauan. Ada sekitar 600-an pulau yang membentuk wilayah ini, dengan tiga pula utamanya, yaitu Pulau Timor (bagian barat), Sumba dan Flores.

Luas keseluruhan wilayah NTT mencapai 47.246 kilometer persegi. Ada 21 kabupaten dan satu kota yang berada di bawah koordinasi provinsi ini. Jumlah penduduk yang mendiami wilayah ini sebanyak 4, 683 juta, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010. Jumlah itu sudah bertambah menjadi 5,4 juta jiwa (Data SUPAS 2015).

Kawasan seluas itu dan dengan jumlah penduduk yang besar tentu saja menuntut energi yang besar dan kebijakan-kebijakan yang terfokus guna mengatasi masalah-masalah di atas.

Gubernur NTT bersama para bupati kerap harus menghabiskan banyak waktu dan biaya "percuma" untuk mondar-mandir menggelar rapat koordinasi. Ini tentu saja tidak sehat jika dipandang dari sisi manajemen pemerintahan yang efektif dan efisien.

Walaupun kebijakan otonomi meletakkan tanggung jawab pada kabupaten, tanggung jawab provinsi sebagai pengendali terdekat dan wakil pemerintah pusat tetaplah penting. Dalam hal ini, pemikiran tentang pemecahan wilayah NTT menjadi dua atau tiga provinsi merupakan hal yang mendesak dan harus dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah.

Harus ditempatkan pada pertimbangan pertama dan utama bahwa pemecahan wilayah adalah demi percepatan pembangunan ekonomi dan pembangunan masyarakat secara keseluruhan. Singkirkan sejauh-jauhnya aroma dan nuansa politik sempit. Gunakan kacamata kesejahteraan dengan kemajuan ekonomi sebagai ukuran.

Dalam teori dan praktik ekonomi, efisiensi, efektivitas, dan fokus adalah kata-kata ampuh yang selalu menyertai kisah sukses jalannya roda pemerintahan dan pelayanan publik, kegiatan dunia usaha, perdagangan, dan lain-lainnya. Bagaimana NTT bisa maju dan sejahtera, bila wilayah yang diurus begitu luas dan besar, sementara persoalannya demikian banyak, dan "penyakit" yang diderita pun sudah demikian kronis dan menumpuk?

Memulihkan Identitas

Pemecahan NTT ke dalam dua atau tiga provinsi, selain penting untuk solusi percepatan pembangunan, juga sekaligus untuk memulihkan tuntutan "keadilan historis". Tanpa mengurangi rasa hormat dan rasa bangga kita kepada para Founding Fathers NTT di masa lalu, kita harus akui adanya kesan "salah kaprah" dalam pembentukan provinsi ini. Sebagaimana diketahui, secara historis dan geopolitik, sejak awal pembentukan wilayah-wilayah di Indonesia itu berbasis kepulauan (archipelago base).

Hampir semua provinsi yang dibentuk pada masa awal kemerdekaan mengambil nama-nama pulau. Aneh, di seluruh Indonesia, hanya nama Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang "dibungkus" dengan nama lain. Jadi, sejak awal NTT sesungguhnya nyaris tanpa identitas.

Anehya lagi, yang memberi nama Nusa Tenggara Timur pun seorang ahli bahasa, bukan ahli geografi atau pakar etnolinguistik, misalnya. Dialah Prof. Muhammad Yamin. Mungkin karena itulah orang NTT dikenal piawai dalam berkata-kata atau berargumen, tapi tidak cukup pandai berbisnis atau menggeluti dunia ekonomi. Jangan dilupakan bahwa awal pembentukan provinsi ini juga diwarnai oleh perdebatan sengit -lebih tepat pertengkaran -- antarinisiator dengan membawa-bawa label agama. Jadi, ada kesan, bikin provinsi itu sama seperti bikin paroki.

Karena itu, sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para pendiri NTT di masa lalu, Bumi Flobamora (Flores, Sumbar, Timor, dan Alor) ke depan harus bertransformasi. Sudah saatnya Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Provinsi serta para pemangku kepentingan lainnya di NTT untuk berani mengambil jalan lain guna mengakhiri kisah-kisah buram tentang kawasan ini. Menata ulang NTT dengan mengedepankan basis geopolitik, geo-ekonomi, dan geo-kultural adalah solusi tepat untuk kesejahteraan masyarakat lokal.

Hal yang disebutkan terakhir ini -geo-kultural -adalah penting agar tatanan sosial masyarakat NTT yang kaya dengan kearifan-kearifan lokal dan tersebar di ketiga pulau besar itu serta pulau-pulau lainnya, dapat direstorasi, direvitalisasi, dan dikembangkan secara lebih terfokus. Bagaimana pun semua ini merupakan identitas sekaligus modal sosial, yang, bila ditangani secara baik, bisa membantu mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan.*

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved