Tanggapan Guru Tentang UN Diganti Dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter

di sekolah tidak hanya memperhatikan perkembangan aspek kognitif para peserta didik, tetapi mencakupi berbagai aspek yang lain.

Penulis: Servan Mammilianus | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG/SERVATINUS MAMMILIANUS
Guru - guru turut hadir dalam launching Pilkada Mabar di aula SMAK Santu Ignatius Loyola Labuan Bajo, Jumat (13/12/2019) 

Tanggapan Guru di Labuan Bajo Tentang UN Diganti Dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter

POS-KUPANG.COM | LABUAN BAJO--Beberapa orang guru di Labuan Bajo memberikan komentarnya tentang UN yang akan diganti dengan asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.

"Pada dasarnya, pelaksanaan UN pada tingkat pendidikan dasar, menengah pertama dan menengah atas adalah baik adanya. Dalam arti bahwa dengan terlaksananya UN dapat terbaca sejauh mana peserta didik memahami secara baik setiap materi pembelajaran yang telah berlangsung selama proses pendidikan dalam tingkatannya masing-masing. Namun amat perlu dipertimbangkan secara bijaksana bahwa hendaknya hasil UN tidak menjadi indikator utama dalam menentukan keberhasilan siswa selama mendalami proses pembelanjaran," kata Wilhelmina Natalia Ndajung.

Disampaikannya, berdasarkan pengalaman bersama anak-anak didik, UN telah menjadi momok yang menakutkan bagi mereka.

Menurutnya phobia UN menjadikan anak didik tidak kosentrasi dalam mempersiapkan materi yang akan dievaluasi tersebut.

"Saya berpihak terhadap rancangan program Menteri Pendidikan yang berencana untuk menghapus UN sebagai metode evaluasi penentu keberhasilan siswa-siswi dalam proses belajar," kata Wihelmina.

Menurutnya, dalam proses pendidikan di sekolah tidak hanya memperhatikan perkembangan aspek kognitif para peserta didik, tetapi mencakupi berbagai aspek yang lain.

"Ironisnya bahwa dalam UN yang dievaluasi hanya aspek kognitif, sedangkan aspek lainnya tidak dijadikan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan keberhasilan peserta didik. Oleh karena itu, saya mendukung jika UN ditiadakan dan penentuan keberhasilan siswa dalam proses belajar berdasarkan tingakatannya harus dikembalikan kepada pihak sekolah," kata Wihelmina.

Terpisah guru lainnya Hendrikus Harfon, menyampaikan bahwa kebijakan baru itu bisa membuat lembaga pendidikan kehilangan orientasi.

"Kebijakan itu ibarat pedang bermata ganda. Di satu sisi, dengan penghapusan UN, aspek keadilan ditegakan dan sekolah tidak dibebani dengan pencapaian akademik yang bersifat numerik-statistikal. Tetapi, kebijakan itu bisa membuat lembaga pendidikan kehilangan arah atau orientasi," kata Hendrikus.

Menurutnya, kebijakan itu bisa membuat sekolah tidak mempunyai alat ukur yang obyektif perihal mutu pendidikan secara nasional.

Bikin Heboh, Inilah 5 Pasangan Artis yang Hubungannya Kandas di 2019, ada Prilly Latuconsina

Kombinasi Duet Dadakan Bikin Persib Bandung Pecahkan Rekor Buruk 10 Tahun, Maung Bandung

"Karena itu, jika sistem UN dihapus, maka perlu ada instrumen alternatif yang bisa dijadikan panduan dalam dunia pendidikan formal," kata Hendrikus. (Laporan Reporter POS--KUPANG.COM, Servatinus Mammilinuas).

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved