Renungan Kristen Protestan
Renungan Kristen Protestan, 10 Desember 2019: Karya Tuhan tak Bisa Dihambat
Thomas Hobbes, Filsuf abad 17 mengatakan bahwa dalam diri manusia ada self-interest (kepentingan diri) yang selalu ingin dilindungi.
Penulis: Ferry Jahang | Editor: Ferry Jahang
Keempat strategi ini, mulai dari upaya menghambat persetubuhan antara suami-isteri dari umat Israel hingga pembunuhan terhadap bayi-bayi Ibrani, ternyata selalu mendapat hambatan.
Hal itu terjadi karena karya Allah tak bisa dibendung. Allah adalah maha kuasa.
Bacaan ini menunjukan bahwa upaya membatasi kehadiran suatu umat tak pernah bisa berhasil.Di abad 20, bangsa Jerman di bawah kekuasaan Hitler, merasa terancam dengan keberadaan Bangsa Yahudi di Jerman yang makin banyak jumlahnya.
Hitler lalu sangat membenci orang-orang Yahudi dan membasmi mereka secara massal dengan gas dalam kamp konsentrasi.
Ada kamp yang berisi gas, lalu ribuan orang dimasukan di dalamnya lalu mati dalam waktu beberapa menit. Sebagian yang lain dibunuh dengan dibiarkan lapar, ditembak, disiksa, ditindas, dan lain-lain.
Terhitung Hitler membunuh sekitar 6 juta orang Yahudi selama perang dunia kedua, dari tahun 1933-1940-an.Sikap Hitler berawal dari rasa terancam akan kehadiran orang lain.
Tindakan Hitler itu seakan mengulangi apa yang pernah dilakukan raja Mesir terhadap umat Allah, dengan tujuan melenyapkan mereka secara tidak manusiawi.
Bacaan ini memberi sejumlah pelajaran.
Pertama, manusia tak punya kuasa untuk membatasi karya Tuhan.
Bila Tuhan sudah memilih seseorang menjadi hamba-Nya, apapun kata dunia, apapun upaya orang lain menghambatnya, pasti gagal karena Allah sendiri yang menyertai orang yang dipilih untuk menjadi hamba-Nyaitu.
Allah berkuasa atas segala sesuatu. Kuasa manusia itu terbatas. Karena itu pula, sebagai manusia, hendaklah kuasa yang kita miliki tidak digunakan untuk menghambat perkembangan dan kemajuan diri seseorang,
apalagi merencanakan kejahatan atasnya. Tuhan tidak berkenan atas penyalahgunaan kekuasaan untuk mematikan orang lain.
Kedua, kita harus belajar untuk menerima keberadaan orang lain, apa pun pikirannya, sifatnya, karakternya, identitasnya, sukunya, agamanya, budayanya, kelas sosialnya.
Kesanggupan kita menerima perbedaan, akan menolong kita untuk tidak membangun permusuhan dengannya.
Sebaliknya, apabila kita tidak sanggup menerima orang yang berbeda, maka pasti kita selalu curiga karena merasa terancam oleh mereka.
Hidup damai sejahtera tak mungkin terbangun kalau kita tidak siap menerima orang lain dengan karakter dan identitasnya yang berbeda dengan kita.